Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 23)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 23 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


EDI bercerita. Petugas jaga yang tadi menganiaya pelaku curanmor, memang punya pengalaman tidak mengenakkan. Ia pernah kehilangan sepeda motornya sampai tiga kali karena aksi kejahatan itu. Karenanya, setiap bertemu pelaku curanmor, emosinya pasti tidak terkendali.  


“Ya tapi kan nggak bisa juga semua pelaku curanmor yang masuk sini terus digebukin gitu,” ucap Joko. 


“Itu mau kita kan, Joko. Tapi namanya orang kesel, mau gimana juga. Yang penting, gimana caranya jangan sampai kejadian kayak tadi dialami penghuni di kamar kita lagi. Itu yang harus kita pikirin,” kata Edi.


“Coba nanti kita ngobrol sama Gustav. Dia kan kepala blok di kompleks tahanan ini,” sela Aris. Edi acungkan jempol atas ide Aris. Sepakat.


Saat semua kamar dibuka pintunya untuk ngangin, Edi memanggil Gustav. Mengajaknya bicara di kamar 10.  


“Kalau soal itu mah gampang. Nanti ku kondisiin sama petugas. Yang penting ada gimelannya,” kata Gustav setelah mendengar keinginan kami yang disampaikan Edi.


Edi menyerahkan sejumlah uang ke tangan Gustav. “Atur aja, yang penting bukan kasus curanmor yang masuk sini,” pesan Edi. Gustav mengangguk.


Baru saja selesai mandi, seorang tamping datang. Memberitahu aku di-bond petugas. Bergegas aku ke pos jaga. Ternyata penyidik yang datang. Bersama pengacaraku, Rudolf.  


“Ini pengacaranya mau kordinasi, pak. Cukup ngobrol disini atau di ruang pemeriksaan,” kata penyidik. Budi. 


“Disini aja nggak apa-apakan?” ucapku.


Aku enggan jika harus ke ruang penyidikan. Selain jaraknya sekitar 600 meter dari kompleks tahanan, sebagai tahanan aku hanya diperbolehkan memakai celana pendek. Bahkan bila dianggap membahayakan, harus dengan tangan diborgol.   


Penyidik Budi kordinasi dengan petugas jaga kompeks tahanan. Pengacaraku diminta masuk kompleks tahanan. Kami berbincang di teras kecil yang ada di sudut pos penjagaan. 


“Bagaimana kalau kita ajukan penangguhan penahanan, pak,” kata Rudolf, pengacaraku. Membuka pembicaraan.


“Buat apa lagi? Toh, perkaranya terus berjalan. Nanti kalau diputus bersalah pun, aku tetap harus masuk tahanan. Bahkan nggak ada potongan masa tahanan kalau penangguhan dikabulkan,” sahutku. 


“Iya sih, cuma kalau dapat penangguhan, kan bisa di rumah,” lanjut Rudolf. Mencoba menyenangkan hatiku. 


“Nggak penting soal permohonan penangguhan penahanan sekarang ini. Yang utama itu, bagaimana kamu bisa yakinkan penyidik kalau ada orang-orang lain yang juga terlibat dalam masalah ini. Si Anom maupun Yudi juga bisa diseret dalam kasus ini. Mereka semua kan terlibat, tahu dan ikut menikmati uang perusahaan. Bukan aku aja,” ujarku panjang lebar. 


“Iya, pak. Nanti saya pelajari dan perdalam lagi,” kata Rudolf.


“Apanya lagi yang mau dipelajari dan diperdalam? Kamu kan tahu sejauhmana keterlibatan mereka. Janganlah kamu tutup-tutupi begini,” kataku dengan nada ketus.  


“Tapi kalau penyidik nggak mau melanjutkan memeriksa mereka, saya mau bilang apa?” jawab Rudolf.


“Itulah ku bilang tadi, kamu harus bisa yakinkan penyidik kalau mereka juga terlibat. Jangan kamu tutup-tutupi. Bisa nggak kamu lakuinnya?” ucapku lagi.


Setelah diam sesaat, Rudolf mengangguk. Meyakinkan. Dan dia berjanji, dua hari lagi akan menemuiku untuk melaporkan kelanjutan hasil pembicaraan kami.


Saat akan kembali ke kamar, ku hentikan langkah di depan kamar 9. Ku lihat seorang pria usia 45 tahunan, berwajah lebam. Rambutnya acak-acakan usai dipotong sekenanya.


“Kamu yang digebukin petugas tadi?” tanyaku. Pria itu mengangguk.


Dia berdiri dari tempat duduknya. Mendekat ke jeruji besi. Dengan tertatih-tatih. 


Sungguh menyedihkan. Wajah pria yang mengaku bernama Damar ini, babak-belur. Pipi kanan-kiri bengkak. Sudut kedua matanya lebam. Kepala bagian belakangnya benjol besar. Akibat diadu dengan tembok.


“Sabar aja ya. Yang aniaya kamu pasti bakal kena karmanya,” ucapku sambil mengusap bahu Damar dari balik jeruji besi. Mencoba menyatukan rasa yang tengah ia alami.


Pria itu hanya tersenyum. Sesaat. Sambil meringis, menahan sakit. Dia memperlihatkan jari-jari tangannya yang membiru dan bengkak, juga masih tampak bekas tapak sepatu disana. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Diliputi keprihatinan. 


“Kamu berdoa aja, minta Tuhan menyadarkan petugas tadi. Jangan doain yang jelek-jelek,” kataku sambil memberinya sebungkus rokok yang tadi dibawakan pengacaraku. 


“Terimakasih, om. Maaf nama om siapa ya?” ucap Damar.


“Aku Mario, di kamar sebelah. Kalau ada apa-apa, bilang ya,” kataku dan berpamitan untuk kembali masuk ruangan sel.


Damar menganggukkan kepalanya. Lemah. Sebutir air tampak membuncah di matanya. Ada keterharuan dibalik ketersiksaan lahir batinnya. 


Air mata itu bukan pertanda ia lemah. Bukan wujud bermental ringkih. Namun ekspresi jika ia tetap memiliki sisi kemanusiaan yang utuh, jiwanya masih menyala. (bersambung)

LIPSUS