Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 24)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 24 Januari 2022



Oleh, Dalem Tehang


USAI solat Dhuhur jamaahan, kawan-kawan mengajak membaca surat yasin. Mereka ingin bisa hafal surat keramat dalam Alqur’an tersebut. Meski badan lemas karena belum terbiasa puasa sunah, ku penuhi permintaan kawan-kawan.  


Tanpa terasa, adzan Ashar menggema. Pengajian dilanjutkan dengan solat berjamaah. Badanku terasa makin lemas. Buru-buru aku mandi. Agak segaran. 


“Kelihatannya loyo bener, Babe,” kata Ijal. Mencandaiku.


“Bukan kelihatannya lagi, Jal. Tapi hari ini Babe kita emang loyo berat,” sela Aris sambil tertawa ngakak. Aku pun ikut tertawa.


“Apa yang paling dirasa berat kalau puasa, Be?” tanya Ijal.


“Yang pasti, ya karena nggak makan nasi dan nggak ngerokok, Jal,” sahutku. Sekenanya. 


“Emangnya kalau nggak makan nasi, rasanya kayak belum makan, gitu ya, Be?!” lanjut Ijal. Aku menganggukkan kepala sambil tertawa.


Suara gembok pintu sel menyudahi obrolan kami. Adit tamping membawa dua kantong plastik berisi makanan.


“Om, ada tante di pos jaga,” kata Adit sambil mengajakku mengikuti langkahnya ke pos penjagaan.


Ku peluk istriku dari balik jeruji besi. Dia tidak sendiri. Tapi bersama Laksa, adiknya. Aku pun memeluk Laksa. Lama dia memelukku. Seribu keharuan menyatu dalam rengkuhan kuatnya ke tubuhku.


“Bunda bawain makanan untuk ayah buka puasa sama kawan-kawan. Ada kue-kue jajanan pasar. Ditambah suplemen dan mie instan. Juga ada rokok dari Laksa,” kata istriku.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya sayangku,” sahutku sambil kembali memeluk istriku.


Ku cium istriku. Ekspresi dari bongkahan kasih sayang berselimutkan kesedihan. 


Ku ceritakan, tadi Rudolf sang pengacara datang dan ku minta untuk mengambil langkah-langkah sesuai kenyataan yang ada. 


“Syukur kalau dia sudah datang dan bisa diskusi. Inshaallah, dia tetep bisa profesional,” ucap istriku. Ada nada pesimis dalam ucapannya.


Istriku, Laksmi, meminta bila memungkinkan nanti malam telepon anak bungsuku, Halilintar. 


“Memangnya ada apa?” tanyaku. Agak was-was.


Nggak ada apa-apa sih. Tadi pagi dia pesen, kalau bunda ketemu ayah, sampein kalau bisa telepon adek,” kata istriku, menirukan pesan Halilintar.


“Inshaallah ya. Kalau ada kesempatannya pasti ayah telepon,” kataku.


Banyak hal yang disampaikan istriku. Mulai dari menjauhnya orang-orang yang selama ini dekat dengan keluarga kami. Mulai tidak bersahabatnya orang-orang yang dulu selalu hadir dalam kehidupan kami. 


Sampai kepada media-media yang terus memberitakan kasus yang menimpaku dengan melakukan pengembangan pemberitaan yang keluar dari kaidah-kaidah jurnalistik, dengan menyebut-nyebut nama istri dan dimana sekolahnya anak-anakku.


“Ya sudah, sabar aja ya. Dalam kondisi beginilah kita tahu siapa kawan dan siapa pecundang. Ini proses seleksi alamiah kemanusiaan yang diatur Tuhan,” kataku menenangkan. 


Istriku mengangguk sambil tersenyum. Tipis. Aku tahu, ia tengah mencoba berdamai dengan kenyataan yang ada.  


Laksa menyampaikan ia dan keluarganya akan keluar kota beberapa hari, sehingga tidak bisa menengok aku.


“Iya, dek. Nggak apa-apa. Hati-hati aja di jalan ya. Inshaallah kita semua tetap dalam perlindungan Yang Maha Pemberi Perlindungan dimana pun kita berada,” kataku sambil menepuk-nepuk bahu Laksa.


Menjelang adzan Maghrib, istriku dan Laksa pamitan. Lama ku peluk istriku. Juga Laksa. 


Aku sangat bersyukur, dalam kondisi yang penuh keterbatasan, setiap petang masih bisa bertemu istriku. Hanya berbeda tempat pertemuan. Biasanya di rumah, sekarang di kompleks tahanan. 


Saat adzan Maghrib menggema, kami semua penghuni kamar 10 buka puasa. Setelah meneguk air putih, ku lanjutkan dengan menikmati kopi setengah manis dan merokok. 


Setiap hembusan asap rokok, selalu ku sertai dengan ungkapan rasa syukur pada Gusti Allah. Sing Gawe Urip. 


Selepas solat Maghrib berjamaah, baru makan nasi ayam bakar yang dibawakan istriku. 


Kawan-kawan sesama penghuni sel berkali-kali mengucap syukur pada Allah Yang Maha Kuasa dan terimakasih pada istriku yang telah menyediakan makanan untuk buka puasa.


“Kalau buka puasanya gini, rasanya kita seperti di rumah aja ya? Nggak kayak di penjara,” kata Edi. Kami semua tersenyum. (bersambung)


LIPSUS