Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 25)

INILAMPUNG
Selasa, 25 Januari 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS apel malam, Adit tamping datang. Menanyakan siapa yang akan membeli rokok. Karena semua masih memiliki rokok, tidak ada yang memesan. 


Nggak bisa gitu. Kata petugas jaga, setiap kamar wajib pesen rokok, minimal tiga bungkus,” kata Adit. 


“Gimana kalau kami semua masih punya rokok, Adit? Buat apa nyetok juga, kalau ada razia malahan diambil,” kata Ijal. Menimpali.


“Aku sih ngerti, tapi petugas jaga kan nggak mau tahu. Semua kamar wajib pesen rokok, itu perintahnya,” lanjut Adit. 


Kami semua diam. Ku lihat Edi kepala kamar seakan tidak mendengar pembicaraan. Merasa tidak mendapat tanggapan, Adit pun pergi. Sambil memukul pintu kamar dengan kesal.


“Emang kalau mau beli rokok wajib lewat petugas gini ya?” tanyaku pada Ijal.


“Iyalah, Be. Tapi emang nggak semua petugas. Tim yang jaga malem ini kebiasaannya kayak gini. Istilahnya ini cas-casan. Kalau tim lain dengan cara ngangin. Ya pokoknya, banyak cara mereka buat dapetin duit dari kita-kita tahanan disini,” jelas Ijal.  


“Terus kalau kita nggak beli rokok sesuai maunya penjaga gimana?” tanyaku lagi.


“Ada aja cara mereka nanti. Intinya ya tetep keluar uang itulah,” sambung Ijal.


Aku terdiam. Banyak hal tidak terduga yang menyelimuti dunia tahanan. Tinggal setangguh apa mental yang dimiliki. Karena seringkali, yang terjadi jauh dari alur nalar. Bahkan terlintas dalam angan pun tidak. 


Mendadak hujan turun dengan derasnya saat malam belum lagi larut. Suara petir bersahutan di langit. Angin kencang melengkapinya. Tak ayal, butiran air hujan pun masuk ke kamar. 


Buru-buru Doni, Asnawi, Iyos dan Edi menggeser badan dari posisinya. Tempat mereka terpercik air hujan karena dekat dengan jeruji besi.


Buntelan dalam kantong plastik berisi pakaian mereka, diamankan Ijal. Ditaruh di bagian bawah tempatku. Agar tidak terkena tampias air hujan yang masuk kamar akibat dibawa angin.


Aku berbisik ke Aris. Meminjam hp-nya. Ia memberi isyarat pada Ijal. Aku dan Ijal ke kamar mandi. Mulailah aku telepon istriku.


“Assalamualaikum. Bunda dan anak-anak sehat semua kan,” ucapku begitu tersambung.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah, kami semua sehat. Ayah harus selalu sehat ya. Gimana tadi buka puasanya,” sahut istriku.


“Alhamdulillah, ayah selalu sehat berkat doa bunda dan anak-anak. Buka puasanya enak bener. Kalau kata temen-temen, ini buka puasa yang paling luar biasa selama di sel. Lauknya enak dan banyak. Kayak buka puasa di rumah, bukan di penjara. Alhamdulillah. Inshaallah berkah bantuan bunda ya,” kataku.


“Alhamdulillah. Allah yang ngatur semuanya. Berterimakasih sama Allah aja. Karena Dia pemberi rejeki dan nitipin ke bunda buat ayah dan kawan-kawan,” ucap istriku.


“O iya, mana Adek, katanya mau ngomong sama ayah,” kataku. 


Ku dengar istriku memanggil Halilintar. Anak bungsuku yang biasa dipanggil Adek.


“Halo, ayah. Ini adek,” kata Halilintar tak lama kemudian.


“Alhamdulillah. Kamu sehat-sehat ajakan, le!” sahutku.


“Iya sehat, ayah. Alhamdulillah. Adek kepilih jadi ketua OSIS, ayah,” kata Halilintar dengan suara penuh ceria.


“Oh ya? Alhamdulillah. Selamat yo, le. Bangga ayah dengarnya. Yang amanah ya. Rangkul semua kawan dengan baik dan lakukan apapun yang nurut kamu dibutuhin oleh kawan-kawan serta harumin nama sekolah,” ucapku panjang lebar. 


“Siap, ayah. Doain ya, ayah. Inshaallah adek bisa mimpin OSIS dengan baik dan buktiin walau ayah lagi di penjara, kami semua tetep tegak berdiri dengan kokoh,” kata Halilintar. 


Kali ini suaranya seakan menggelegar. Semangat yang tercuat dari jiwanya begitu menggelora. Penuh obsesi berbalut amarah yang tersimpan rapih. Sesuai namanya; Halilintar. 


“Bismillah ya. Yakin Allah akan selalu beri kemudahan. Jadiin kepercayaan ini sebagai bagian dari ibadah. Jangan sombong, apalagi angkuh dan ngecilin orang lain,” ucapku. Berpesan. 


“Iya, ayah. Adek inget dan lakuin pesen ayah. Terus doain kami ya, ayah. Kami juga terus doain ayah,” sambung Halilintar dan kemudian menyerahkan hp ke istriku lagi.


“Alhamdulillah ya, ayah. Anak-anak tetep bisa survive meski ayah lagi kena masalah. Hanya karena kehendak Allah aja, kami masih bisa berdiri tegak ini,” kata istriku.


“Allah sudah ngatur cerita hidup kita. Berat emang, bahkan sangat-sangat berat ujian ini. Kita sama-sama perkuat ibadah, sabar dan ikhlas aja ya, sayang. Dan yang jelas, bojoku emang luar biasa. Terimakasih yo, selalu menjadi kuat dan terus nguatin anak-anak. Ayah bangga sama bunda,” kataku dengan sungguh-sungguh.


“Inshaallah kami semua kuat. Bener emang, berat sekali ujian ini. Kadang bunda bahkan ngerasa nggak kuat lagi. Tapi Allah masih terus kasih iman dan keyakinan, itulah yang buat bunda masih bisa bertahan sampai saat ini. Alhamdulillah,” kata istriku. Suaranya pelan dan parau.


Aku tahu, sesungguhnya betapa remuk redamnya jiwa dan pikiran istri dan anak-anak dengan kasus yang melilitku ini. Sebagai makhluk sosial yang mesti bergaul dengan sesama, tentu beban batin itu kian mendera. Cibiran dimana-mana. Ghibah di kiri kanan mereka. Seakan dunia tidak mau bersahabat lagi dengan mereka. 


Aku bersyukur, secepat musibah ini terjadi, saat itu pula Allah menguatkan istri dan anak-anakku. Sehingga yang tampak diluar, mereka tetap tegar. Tetap tersenyum. Tetap bisa bercanda. Dan terus mengukir nama mereka dengan huruf-huruf besar dalam kiprahnya. (bersambung)


LIPSUS