Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 26)

INILAMPUNG
Rabu, 26 Januari 2022


Oleh, Dalem Tehang


TADI adek nggak cerita ya, kalau waktu debat pemilihan ketua OSIS, ada yang ngomongin soal ayah lagi di penjara,” kata istriku, tiba-tiba. 


Nggak, adek nggak cerita. Emang ada yang tanya soal ayah, apa kaitannya?” sahutku. Setengah terkejut.


“Pinter emang adek sembunyiin hal-hal yang bisa buat ayah nggak nyaman. Jadi, kata dia, waktu debat setelah penyampaian visi misi, ada dua orang yang nanya soal kasus ayah ini,” lanjut istriku.


“Nanyain kayak mana?” selaku. Penasaran.


“Yang pertama bilang, gimana bisa konsentrasi mimpin OSIS kalau ayahnya lagi di penjara. Dan yang kedua lebih ekstrim, apa nggak malu kita punya ketua OSIS yang ayahnya kena kasus pidana dan di penjara. Gitu cerita adek,” urai istriku.


“Subhanallah. Sampai segitunya ya. Terus apa jawaban adek?” ucapku dengan suara tercekat.


“Adek bilang, nggak dijawabnya omongan soal ayah. Alasan dia, karena nggak ada kaitannya dengan posisi dia sebagai calon ketua OSIS. Alhamdulillah, adek bisa kendaliin diri dan nggak kejebak sama omongan yang provokatif itu,” jelas istriku.


“Alhamdulillah. Allah terus membimbing kalian semua, orang-orang yang ayah banggakan,” kataku kemudian. 


Terbayang, bagaimana perasaan anak bungsuku, Halilintar, saat acara debat itu. Yang memunculkan pertanyaan mendiskriditkan tepat menghujam jantungnya. Dan sangat tidak aku duga, ia memiliki pengendalian diri yang amat kokoh dengan mental teruji. 


Setelah berbincang sekitar 30 menit, ku akhiri teleponan malam ini. Kian terasa betapa penjara hanya memisahkan raga, bukan jiwa. Apalagi cinta dan kasih sayang. 


Justru pikiran dan mental semakin terasah dengan beragam dinamika kehidupan yang takkan pernah ditemui pada dunia luar. 


Hujan baru saja reda, saat Adit tamping mengetuk-ngetukkan kayu kecil yang dibawanya ke jeruji besi. Aku yang sudah merebahkan badan, enggan bangun. Kantuk begitu merayap erat di mata ini. 


Dari sudut mata, ku lihat Edi berdiri. Menuju jeruji besi. Berbincang lirih dengan Adit. Tampak ada perdebatan kecil. Edi membalikkan badannya. Memandangi kami satu-persatu.


“Kenapa, Edi?” tanya Aris sambil bangun dari tempat tidurnya.


“Kita diminta uang cepek kalau nggak mau pesen rokok,” kata Edi. 


Tangannya menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Ekspresi spontanitas atas ketidaktahuan mesti bersikap bagaimana.     


“Kita sokongan aja. Tapi tetep beli rokok. Kan sebungkusnya Rp 40.000, kalau tiga bungkus berarti Rp 120.000. Enakan gitu dari pada kasih cepek tapi nggak dapet apa-apa,” saran Iyos.  


Semua sepakat dengan ide Iyos. Jadilah menjelang dinihari itu, masing-masing penghuni kamar mengeluarkan uang Rp 10.000 untuk sokongan guna memenuhi kemauan petugas jaga. 


Adit bergerak meninggalkan kamar kami setelah uang ditangannya. Sambil bersiul-siul. 


Malam itu, aku tidur dengan lelap. Sampai dibangunkan waktu adzan Subuh menggema. Saat kami selesai jamaahan, Adit kembali datang. Mengantar tiga bungkus rokok.


“Om Edi, ini rokoknya ya,” kata dia, menaruhkan tiga bungkus rokok di sela-sela jeruji besi.


“Alangkah lamanya beli rokok ini, Adit. Hampir empat jam,” sahut Edi seraya bangkit dari tempat tidurnya.


Adit tidak menjawab. Anak muda murah senyum itu hanya mengangkat bahunya sambil pergi dari depan kamar sel kami.


Apel pagi baru selesai, saat semua pintu kamar dibuka. Ngangin. Keluar uang lagi, desahku dalam hati. Rp 50.000 perkamar sekali ngangin.


Ku manfaatkan waktu ngangin dengan bertandang ke kamar-kamar lain. Ditemani Joko. Menambah pertemanan. Berbekal rokok, kami mendapat suguhan kopi hangat. 


Joko yang sudah lebih dulu masuk rutan titipan, lebih banyak mengenalkan aku pada penghuni lain. Mayoritas yang masuk sel di mapolres ini anak-anak muda. Berusia 20 tahunan hingga 40 tahunan. Dengan kasus terbanyak aksi curanmor dan narkoba. 


Anjangsanaku dan Joko terpotong dengan datangnya Rayhan mengantar sarapan. Aku ke pos penjagaan. Mengambil langsung kiriman sarapan dari istriku. 


“Maaf, kesiangan nganter sarapannya, bang. Tadi mobil ayuk pecah bannya. Jadi saya ngurus itu dulu baru kesini,” kata Rayhan. 


“O gitu, tapi nggak kenapa-kenapa kan mobil ayuk, cuma bannya aja,” ucapku.


“Nggak kenapa-kenapa, bannya aja bocor halus. Sudah saya bawa ke tukang tambal ban dan ayuk langsung jalan ke kantor,” lanjut Rayhan. 


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, Rayhan. Nitip baju kotor ya,” kataku. 


Ku bawa kantong plastik berisi makanan untuk sarapan ke kamar dan mengambil baju kotor. 


Setelah berbincang beberapa saat, Rayhan pamitan. Ku pesankan untuk besok membawakan buku tulis dan pulpen. (bersambung)

LIPSUS