Oleh, Dalem Tehang
SAAT aku kembali ke kamar, ada Gustav sedang mengobrol dengan Edi dan Iyos.
“Babe sini. Ada yang mau kita bicarain,” kata Edi, kepala kamar.
Aku mendekat. Bergabung. Kami duduk melingkar.
“Gustav bilang nanti malam ada tiga tahanan baru. Yang dua orang kasus narkoba, seorang lagi curanmor. Penjaga minta yang kasus curanmor masuk sini. Sikap kita gimana?” kata Edi, menjelaskan obrolannya dengan Gustav.
“Kita kan sudah sepakat, nggak mau terima tahanan curanmor, ya konsisten aja,” ucapku. Enteng.
“Persoalannya, kamar ini aja yang sekarang isinya paling sedikit, bang. Yang lain rata-rata diatas 15 orang perkamar,” kata Gustav.
“Coba Babe putusin deh, aku sama Iyos ikut aja,” ujar Edi. Pasrah.
“Jadi gini, di kamar ini kan sudah ada tahanan curanmor, si Arya. Jangan ditambah lagi. Jalan keluarnya, pindahin tahanan dari kamar lain kesini. Yang baru masuk, nanti ngisi kamar yang ditinggalin. Kan klop,” kataku. Mencari solusi.
“Nah, boleh gitu aja ya. Nanti ku sampein ke petugas jaga. Ada kriteria lain nggak, bang?” kata Gustav sambil memandangku.
“Yang pasti mau solat. Kalau nggak solat, kami gebukin,” sela Edi. Tegas. Gustav tertawa sambil acungkan jempol, dan keluar kamar.
Terdengar suara adzan solat Jum’at dari masjid di samping mapolres. Kegiatan ngangin pun dihentikan. Semua tahanan kembali masuk selnya masing-masing.
Aku wudhu dan duduk di sajadah. Niat mendengarkan khutbah dari pengeras suara masjid.
Di kompleks ruang tahanan titipan mapolres ini tidak ada masjid. Dan tidak diperbolehkan dilakukan solat Jum’at berjamaah bagi para tahanan.
Edi mengaku, pernah bersama dengan semua kepala kamar di kompleks ruang tahanan mengajukan surat permohonan untuk bisa dilaksanakan solat Jum’at berjamaah. Namun tidak ditanggapi.
Setelah solat Dhuhur berjamaah, ku rebahkan badan. Mencoba tidur siang. Badan juga agak meriang. Belum lagi memejamkan mata, mendadak terdengar suara gaduh di luar kamar.
Semua penghuni kamar bergegas ke jeruji besi. Ingin tahu apa yang terjadi. Aku hanya memandangi mereka dari tempatku sambil tetap rebahan.
“Astaghfirullah.. astaghfirullah,” kata Joko berulangkali, sambil matanya terus melihat ke arah suara yang gaduh itu.
Terdengar jerit kesakitan. Teriakan minta ampun. Seiring suara tendangan dan pukulan. Gedebak-gedebuk.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ada yang lagi digebukin,” sahut Joko, pendek.
“Siapa dan kenapa?” tanyaku lagi.
“Belum tahu siapa dan kenapa? Tapi biasanya kalau petugas ini yang gebukin, pasti kasus asusila,” ucap Joko.
Ternyata, pengalaman tidak mengenakkan acapkali membuat seseorang begitu mudah kehilangan kendali dan melampiaskannya begitu saja. Tidak peduli apakah ekspresi kemarahannya salah sasaran ataukah tidak.
Tak selang lama, suara gaduh berhenti. Terdengar teriakan dari pos jaga: “semua tahanan kembali ke tempatnya, jangan ada yang berdiri di dekat jeruji besi.”
Spontan Joko dan kawan-kawan kembali ke tempatnya. Mereka paham, bila teriakan petugas tadi adalah perintah dan pasti akan diawasi. Bila tidak mematuhi, bakalan disanksi.
Benar saja. Beberapa menit kemudian, seorang petugas jaga berkeliling. Mengecek setiap kamar dan penghuninya.
Tepat di depan kamar kami, petugas itu berhenti. Matanya menelisik kami satu-persatu. Dengan isyarat, ia meminta sebatang rokok pada Edi.
“Aku pesen sama kalian semua ya. Selepas dari hukuman nanti, berbuat dan berkata yang jujur. Karena Tuhan pasti melindungi orang yang jujur,” kata petugas itu sambil menghisap rokok pemberian Edi.
Kami semua menganggukkan kepala. Menyahuti apa yang dikatakannya.
“Dan satu lagi, jalani hukuman dengan hati senang. Hanya dengan itu, Tuhan akan kasih kesempatan hidup lebih baik di hari depan,” sambung petugas jaga itu.
Kembali kami semua mengangguk-anggukkan kepala. Mengapresiasi apa yang disampaikannya.
“Oh ya, disini ada nggak yang kasus asusila?” tanya dia kemudian.
Bersamaan, kami semua penghuni kamar menggelengkan kepala.
“Syukur kalau gitu. Jadi nggak buatku nambah dosa karena ngegebukin orang lagi,” ucap dia.
Kami semua terhenyak. Kaget. Tidak semua kami tahu jika petugas ini yang tadi melampiaskan amarahnya dengan menganiaya salah satu tahanan yang terlilit kasus asusila.
“Sorry kalau tadi aku buat kegaduhan ya? Aku pasti lepas kontrol kalau ketemu orang yang kena kasus asusila,” lanjut petugas itu. Dengan sesekali menghisap rokok ditangannya.
Tangannya masih bergetaran. Menandakan masih ada letupan amarah tersimpan dalam jiwanya.
Kami semua hanya diam. Terus memandangi petugas jaga yang berdiri di dekat jeruji besi dengan gaya pongahnya.
“Aku punya trauma tersendiri kalau ketemu orang kasus asusila. Adik kandungku pernah jadi korban perbuatan asusila. Dan karena malu, akhirnya dia bunuh diri. Sejak itu, kalau ketemu tahanan kasus asusila, aku jadi kesetanan,” petugas itu mengurai traumatiknya.
Terkejut kami semua dengan pengakuan jujur petugas jaga itu. Membuat mulut kami membungkam.
“Ya udah, gitu aja. Baik-baik kalian semua, jaga kesehatan ya. Terimakasih rokoknya Edi,” sambung petugas jaga itu dan beranjak pergi. Dengan santainya. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa. (bersambung)