Oleh, Dalem Tehang
SEPENINGGALNYA, baru kami bisa bernafas lega. Meski dengan penerimaan yang berbeda-beda atas perkataan-perkataan penjaga tahanan tadi.
“Mestinya, yang ditugasin jaga tahanan itu harus tes psikologi dulu, selain dipelajari bener latar belakangnya. Jadi nggak bakal kejadian yang aneh-aneh kayak tadi,” tiba-tiba Asnawi buka suara.
“Maksudnya yang punya trauma pada kasus-kasus kriminal jangan ditugasin jaga tahanan, gitu kan simpelnya?” ucap Aris. Menegaskan.
“Iya, maksudku gitu, Ris. Jadi kalaupun ada tahanan yang disanksi, itu murni kesalahannya di dalem sini. Bukan karena kasus yang bawa dia masuk sini,” lanjut Asnawi.
“Bener itu. Kemarin ada petugas yang trauma dengan kasus curanmor, ketemu tahanan curanmor, dia gebukin. Hari ini petugasnya trauma kasus asusila, ngehantemin yang kasus asusila. Lha, kalau besok-besok ada petugas yang traumanya dengan penipuan, penggelapan, kasus tanah atau tipikor, semua yang kena kasus itu bakal jadi sasaran mereka juga. Lama-lama, ruang tahanan ini jadi tempat pelampiasan dendam,” kata Ijal, menyahuti.
Mayoritas kami hanya menganggukkan kepala. Menyepakati alur bicara Ijal.
“Atau jangan-jangan, justru mereka yang punya trauma dengan kasus kriminal emang sengaja ditugasin jaga tahanan,” mendadak Joko menyela.
“Maksudnya emang sengaja nugasin yang punya trauma itu biar tahanan jadi pelampiasannya, gitu Joko?” tanggap Aris.
“Ya bisa aja gitukan? Biar kita-kita yang masuk sini jadi kapok, karena trauma dengan aksi-aksi kekerasan petugas jaga dalam lampiasin traumanya,” sambung Joko.
“Akhirnya, kita semua disini terjebak pada kehidupan trauma ketemu trauma ya,” ucap Edi sambil tertawa ngakak. Disambut tawa kami semua.
“Yang jelas, penjara itu dunia dalam dunia. Kan gitu kata petugas waktu itu. Ya, nikmati aja takdir kita ini,” Joko menyambung pembicaraan.
“Bukan takdir ini mah, om. Kita lagi kena sial aja,” ujar Ijal. Sambil tertawa.
“Ini takdir kita, Ijal. Kalau dirasa sekarang ini kita tertimpa takdir buruk atau kesialan, sebenernya bukan takdir itu yang buruk. Tapi sudut pandang kita yang belum sampai buat ngeliat hikmah dibalik takdir kita sekarang ini,” Joko mengurai pendapatnya.
Aku hanya diam. Mendengarkan kajian-kajian kawan satu sel yang ternyata begitu dalam. Terbukalah pikiranku, ternyata pelajaran kehidupan itu bisa didapat dari berbagai tempat dan situasi.
“Dari tadi Babe cuma dengerin obrolan kita aja nih. Coba apa pendapatnya, ayo kita denger,” kata Aris tiba-tiba sambil memandangku.
Aku hanya angkat bahu dan menggelengkan kepala. Tidak tahu harus berpendapat apa. Sebab, yang mereka sampaikan pada hakekatnya sarat dengan kebaikan.
Ditambah tetap tumbuh suburnya suasana berdemokrasi dalam menyampaikan pendapat. Sebuah suasana yang lepas dari segala atribut kepentingan dan ewuh pakewuh. Satu perilaku yang tidak bakal bisa diekspresikan di dunia luar.
“Ayo Babe, kasih komentar dong,” pinta Edi.
“Prinsipnya aku sepakat dengan apa yang kawan-kawan obrolin tadi. Yang berpendapat, baiknya petugas jaga itu orang-orang yang nggak punya trauma dengan kasus kriminal, ada bagusnya. Yang menilai, bisa aja emang disengaja mereka yang punya trauma kasus kriminal yang ditugasin jaga kita, ada benernya juga. Jadi semuanya bener dan bagus. Tapi seperti kata Joko, kita ada disini karena emang sudah takdir kita. Penerimaan atas ketakdiran itu yang lebih penting,” kataku kemudian.
“Aku tambahi ya. Nurutku, kita mesti nguatin sabar dan ikhlas kita. Jadi takdir ini bisa kita terima dengan lapang dada. Apapun yang ada disini, ya kita syukuri aja. Jangan ngebuat kita malah down. Inget, masa depan kita yang cerah itu masih ada. Dan itu yang harus kita rebut,” Aris menambahkan.
“Nah, kalau om Aris yang orang hebat sudah bilang begini, kita ikuti. Siapa tahu nanti kita bisa ditampung kerja di perusahaannya,” ucap Ijal sambil melepas senyum. Aris pun terbahak.
Perbincangan spontan berhenti begitu terdengar suara adzan Ashar dari masjid di samping mapolres. Semua penghuni kamar 10 bergegas ke kamar mandi. Untuk wudhu.
“Waduh, airnya nggak ngalir. Gimana ini, Jal,” kata Arya dari kamar mandi.
Ijal buru-buru ke kamar mandi. Mengutak-atik keran. Air tetap tidak mengalir.
Dari pintu kamar, Ijal bertanya ke penghuni kamar 9. Ternyata air di kamar sebelah juga tidak mengalir.
Ijal berteriak-teriak. Memanggil tamping. Seorang tamping bernama Deni, datang.
“Kok airnya nggak ngalir, kenapa?” tanya Ijal.
“Mesin airnya rusak. Tadi sudah dibenerin sama tahanan di kamar 7, tetep nggak bisa,” kata Deni.
“Jadi kayak mana jalan keluarnya?” tanya Ijal lagi.
“Ambil air dari keran yang ada di depan kamar 1. Bawa ember masing-masing. Kamar-kamar lain juga gitu dari tadi. Itu lagi antri disana,” ujar Deni.
Ijal memandang ke arah Edi yang tengah asyik mengisi teka teki silang.
“Yang muda-muda, ayo angkat air. Siapin embernya, Jal. Pakaian yang direndem, keluarin aja dulu,” kata Edi.
Ijal mengajak Tomy, Irfan, dan Arya untuk mengangkat air bergantian. Mereka yang masih muda-muda. Usia dibawah 40 tahunan. Pintu sel dibukakan oleh Deni, dengan pesan: “satu-satu saja yang keluar kamar.”
Satu-persatu kami bergantian wudhu. Sesuai dengan hasil angkatan air dalam ember. Dan petang itu, kami tidak solat berjamaah. Karena keterbatasan air. (bersambung)