Oleh, Dalem Tehang
SAMPAI suara adzan Maghrib menggema, tidak ada panggilan buatku. Biasanya, menjelang petang istriku bertandang. Ada ketidaktenangan di hatiku. Kenapa dan ada apa istriku tidak datang.
Seusai mengimami solat Maghrib, aku mengaji bersama kawan-kawan. Ijal masih sibuk mengangkat air. Memasukkannya ke bak besar di kamar mandi. Ia bergantian dengan Tomy, Irfan, dan Arya.
Baru saja kami selesai solat Isya berjamaah, Deni tamping datang. Memanggil Aris. Mereka berbicara pelan dibatasi jeruji besi.
Deni tamping menyerahkan sebuah amplop tertutup. Aris membukanya. Membaca kertas di dalamnya. Sebentar saja. Ia masukkan kembali kertas itu ke dalam amplop.
Saat berbalik dari berbincang dengan Deni, wajah Aris tampak murung. Pria gagah yang selalu tampil perlente dan wangi ini, duduk di tempat tidurnya dengan mata menerawang. Ku beri isyarat pada Joko.
Joko memanggil Aris. Memintanya ke tempatku. Memang, tempatku adalah posisi paling strategis di kamar untuk berbincang terbatas. Karena ada di pojok dan berbatasan langsung dengan tembok penutup kamar mandi.
“Kamu kenapa?” tanya Joko begitu Aris duduk di depan kami.
“Ada kabar kurang enak aja. Nggak serius-serius amat sih, cuma nggak nyangka bakal secepet ini,” ucap Aris. Suaranya bergetar. Antara haru dan menahan emosi.
“Kalau boleh tahu, apa kabar itu?” tanyaku. Penasaran.
Aris tidak menjawab. Tangannya bergerak. Ke kantong celana pendeknya. Diambilnya sebuah amplop. Diserahkannya padaku.
“Boleh aku buka dan baca isinya?” ucapku meminta izin. Aris mengangguk.
Mataku terbelalak dan hatiku berdebar kencang saat membaca surat itu. Ku berikan surat dalam amplop ke Joko.
“Subhanallah, kenapa bisa gini, Ris? Ini beneran?” kata Joko dengan nada terkejut.
Suaranya yang cukup keras, menarik perhatian kawan-kawan yang lain. Mereka semua menengokkan wajah ke arah kami bertiga.
“Ada apa, Aris? Dapet surat tanah ya,” kata Edi. Sambil ia berdiri dari tempatnya dan mendekat ke tempat kami duduk.
“Maksudnya surat tanah itu apa, Kap?” tanya Joko.
“Surat permohonan persetujuan perceraian. Surat tanah itu bahasa orang-orang penjara yang digugat cerai istrinya,” kata Edi dengan suara pelan.
Aku terkaget. Bagaimana Edi bisa mengetahui bila surat yang diterima Aris adalah surat permohonan persetujuan istrinya mengajukan gugatan perceraian.
“Kok pak Edi tahu kalau surat ini soal perceraian?” tanyaku. Juga dengan suara perlahan.
“Feeling aja, Be. Biasanya, kita yang lagi ditahan gini jarang dapet surat. Apalagi yang beramplop. Yang paling sering, ya surat tanah itu yang dateng,” jawab Edi. Tanpa beban.
Surat itu ku masukkan ke amplopnya lagi dan ku serahkan ke Aris. Buru-buru ia memasukkannya ke kantong celananya.
“Yang sabar ya, Ris. Kamu ditambah ujian ini karena kamu orang pilihan,” kata Joko membesarkan hati Aris.
Ditepuk-tepuknya bahu pengusaha besar mantan anggota Dewan yang terhormat itu. Aris hanya menunduk. Terlihat ia begitu terpuruk. Batinnya runtuh. Mentalnya yang tangguh dan pengendalian dirinya yang matang, mendadak hilang. Tercerabut begitu saja. Seakan dihempaskan angin semilir yang melewati jeruji besi.
“Maaf ini, Aris. Emang selama ini rumah tanggamu bermasalah ya? Dan setahuku, sejak kamu masuk emang nggak pernah istri atau anak-anakmu ngebesuk. Paling juga beberapa temen kamu aja,” kata Edi.
Aris tampak masih menata hatinya. Nafasnya tidak beraturan. Naik turun. Mewujud dalam gerak tanpa irama di dadanya yang bidang.
Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Mencoba mengembalikan ketenangan.
Joko menyulut sebatang rokok, diberikannya pada Aris. Perlahan, ia hisap rokok itu. Ia hembuskan asapnya dengan penuh penghayatan. Matanya mengikuti gerakan asap yang tak beraturan. Menjauh dibawa semilir angin. Dan menghilang melalui jendela kecil berjeruji besi di ujung kamar tahanan.
“Sebenernya nggak ada masalah selama ini. Keluargaku baik-baik aja. Bahkan bisa dibilang kami keluarga yang harmonis. Timbul masalah, ya karena aku masuk ini,” ucap Aris, setelah berhasil menenangkan dirinya.
“Kenapa gitu?” selaku.
“Jujur, istri dan anak-anakku, juga keluarga besar, nggak bisa terima aku masuk penjara. Aku dianggep sudah maluin dan ngerusak nama baik keluarga besar. Makanya, sejak aku masuk, istri dan anak-anakku, juga keluarga, nggak ada yang pernah besuk. Bener kata Edi, cuma beberapa kawan aja yang dateng ngeliat aku. Itu pun nggak lebih dari hitungan jari di satu tangan,” urai Aris kemudian.
Aku, Joko, dan Edi terdiam. Membayangkan betapa berat beban batin Aris selama ini. Orang-orang terdekatnya, yang disayanginya, justru meninggalkannya di saat ia tengah tenggelam dalam sumur keterpurukan.
Bahkan, kini kapal besar yang sudah dibangunnya dengan perjuangan selama ini, akan karam begitu saja. Hanya karena kini ia tengah terkungkung dalam pusaran badai yang diluar perkiraannya. (bersambung)