Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 3)

INILAMPUNG
Senin, 03 Januari 2022
Views

Oleh, Dalem Tehang


PIKIRANKU mendadak melayang. Terbayang bagaimana istri dan anak-anakku malam ini. 


“Nggak usah beratin yang di rumah. Yang penting mereka tahu kamu ada dimana. Nanti mereka juga terbiasa. Jangan kamu pikirin terus. Nanti mereka juga terus-terusan mikirin kamu. Jadi berat buatmu, juga buat mereka. Santai aja,” kata Joko lagi. Seakan masuk pada apa yang sedang ku lamunkan.   


“Terimakasih sarannya ya, Joko. Kamu sudah berapa lama disini,” kataku. Mengalihkan pembicaraan.


“Aku sudah dua bulan lebih disini. Minggu depan pelimpahan. Lanjut penahanan di rutan. Sampai selesai pengadilan. Waktu baru masuk sini, dua minggu pertama, pikiranku selalu ke rumah. Ke istri dan anak-anak. Sampai sakit aku waktu itu. Kepala kamar disini yang dulu namanya Andre. Dialah yang nasehatin aku buat ngejauhin pikiran ke rumah. Biar semua tenang. Ternyata bener. Istri dan anak-anakku kalau ngebesuk keliatan ceria, aku juga sehat dan enteng aja jalani hidup disini,” lanjut Joko. Aku mendengarkan dengan serius. 


Mataku menatap ke bagian bawah. Ruang tahanan ini terdiri dari lantai bawah dan atas. Lantai bawah berukuran 1,5 meter, dan bagian atas 2,5 meter. Memanjang 8 meter. Berkeramik murahan dan pecah disana-sini.


“Yang di bawah itu yang baru masuk. Mereka empat orang itu baru kemarin masuk sini. Kamu bernasib baik, bisa langsung tidur di atas gini,” jelas Joko. Mengerti pertanyaan yang muncul dari tatapanku.


“Kenapa aku langsung disuruh tidur di atas?” tanyaku.


“Itu urusannya kepala kamar. Istilahnya kapten kamar, panggilannya kap. Dia yang mutusin semuanya di kamar ini. Kalau ada yang ngebantah keputusannya, bakal dibantai ramai-ramai. Tanya aja nanti sama dia, kenapa kamu langsung dikasih tempat tidur di atas sini,” kata Joko sambil melihat ke arah Edi, sang kapten kamar.


Ku lihat, Edi sedang asyik mengisi teka-teki silang. Sesekali matanya menatap ke atas. Ke sudut depan dan belakang. Ku alihkan pandangan. Mengikuti gerakan mata Edi.


“Edi itu mantau cctv, Mario. Di kamar ini ada dua cctv. Di sudut depan dan belakang. Semua ulah kita dipantau dari pos penjagaan. Kalau mau nganeh-nganeh, jongkok aja di wc, baru nggak kepantau cctv,” kata Joko. Lagi-lagi dia membaca apa yang sedang aku pelajari.


“Terus ngapain dia mandangi cctv terus-terusan?” tanyaku. Penasaran.


“Nanti kamu juga tahu. Santai aja. Kamu baru masuk. Belum lagi dua jam. Banyak kisah kehidupan yang bisa kamu temui disini. Nikmati aja ya. Kamu solat nggak?” ucap Joko dengan entengnya.


“Iya, solat. Tapi malem ini belum solat Isya,” jawabku.


“Asnawi, pinjemi Mario sarung sama sajadah. Biar dia solat,” kata Joko sambil berdiri. 


Pria yang dipanggil Asnawi itu bangun. Dia tidur di tengah-tengah dari delapan orang yang ada di lantai atas.


Dibukanya kantong kresek yang sebelumnya menjadi bantalnya. Disodorkan sarung dan sajadah kecil.           


Aku ke kamar mandi. Tumpukan pakaian kotor berserakan. Yang lainnya tengah direndam di dalam tiga ember. Baunya menyengat. Apek menuju bacin. Menyeruak. Lantainya pun licin. Ditambah bau pesing. Cipratan air seni yang tidak bersih disiram.  


Perlahan, ku ambil gayung yang sudah nyaris terbelah dan kotor berlumut. Airnya juga berbau kurang sedap. Hampir saja aku muntah. Dengan niat wudhu, ku teguhkan sikap. 


Aku solat Isya di tempat tidurku. Tidak memakai sajadah kecil yang tadi dipinjami Asnawi. Tidak tahan dengan bau apeknya. Ku jadikan kaosku sebagai sajadah.


Baru saja ku rebahkan badan, mendadak terdengar gedoran keras di pintu sel.


“Ngangin, ngangin! Ayo, mana kap kamar,” sebuah suara kencang membuat yang sudah tidur, terbangun. 


Ku lihat Edi bangun dari tempatnya. Ia mendekat ke jeruji besi. Menyodorkan uang Rp 50.000. Hanya dalam hitungan detik, pintu sel dibuka.


“Ayo semua keluar. Nikmati sinar bulan itu,” ajak Edi sambil melihat ke semua penghuni kamar 10.


Aku duduk. Bersandar ke dinding yang catnya sudah terkelupas. Hingga tampak batanya. Joko yang ada di sebelah kiriku masih tetap rebahan. 


“Kamu keluar sana, Mario. Kalau ngangin gini, kesempatan keluar kamar. Nongkrong di depan,” kata Joko tetap rebahan.


“Kenapa kamu nggak keluar?” tanyaku.


“Aku ngantuk berat,” sahutnya.


Tiba-tiba seorang petugas jaga berseragam, masuk ke kamar. 


“Kenapa ini nggak keluar? Sudah dikasih kesempatan buat ngirup udara luar, malah nggak mau. Ayo keluar,” katanya dengan nada tinggi.


Joko spontan berdiri. Aku mengikuti. Petugas itu menatapku tajam.


“Kamu yang baru masuk tadi ya?” tanya dia.


“Iya, pak!” jawabku. Singkat.


Petugas berusia sekitar 45 tahunan itu memandangiku dengan serius. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berkali-kali. 


“Ya sudah sana. Gabung dengan yang lain. Kamu perlu tahu, disini ada aturan sendiri. Penjara itu dunia dalam dunia, jadi ikuti aja. Atau kamu jadi bulan-bulanan,” kata petugas itu sambil terus memandangiku tanpa berkedip.


Aku hanya menganggukkan kepala. Tanpa bersuara. Petugas itu balik badan. Meninggalkan aku dan Joko yang bergerak keluar kamar sel. 


Joko mengajakku duduk ndeprok di sudut. Teras kompleks tahanan berukuran 2,5 meter itu memanjang. Dan di sepanjang selasar dinihari itu sesak oleh para tahanan yang ngangin. Yang menurut Joko, jumlahnya sekitar 180 orang.


“Kan cuma 10 kamar,  masak isinya sampai 180 orang, Joko?” ucapku.


“Kamar kita yang isinya paling sedikit sekarang ini, Mario. Seminggu lalu kamar kita ada 15 orang. Kamar-kamar yang lain rata-rata diisi 18 orang sekarang ini,” kata dia.


Aku terbawa pikiran, bagaimana sel sekecil itu diisi sampai 18 orang. 


“Yang di sel narkoba malah ada 20 orang, Mario. Padahal disini ada empat sel khusus narkoba. Kamu lihat ruangan di atas sebelah kiri. Yang terang. Itu tempat tahanan sementara kasus narkoba. Biasanya, mereka dikirim kesini kalau sudah ada yang dilimpahin kasusnya. Jadi gantian ngisi sel disini,” jelas Joko.


Mataku memandang ke bangunan tiga tingkat yang ditunjuk Joko. Berdampingan dengan kompleks tahanan. Di lantai atas memang terang benderang. 


Mendadak terdengar suara gaduh. Para tahanan berlarian sambil menunduk, berebutan masuk selnya lagi.


“Ada apa, Joko?” tanyaku. Terkaget.


“Ada provos kesini, ayo kita masuk,” kata dia sambil menarik tanganku. 


Setelah duduk kembali di tempatku, baru aku tanya lagi ke Joko.


“Memangnya kenapa kalau ada provos?”


“Bahaya kalau sampai provos tahu kita ngangin. Penjaganya bisa kena hukuman. Kita pasti dikerjain juga,” kata Joko.


“Lha, bukannya tadi pak Edi sudah kasih uang ngangin? Lagian belum sampai 30 menit kita diluar tadi,” kataku.


“Ini baru secuil seni hidup di sel, Mario,” kata Joko. Sambil nyengir.


“Maksudnya apa ya?” tanyaku lagi.


“Inget kata petugas jaga tadi kan; penjara itu dunia dalam dunia. Jadi jangan kagetan, dan jangan ngomongin gaya hidup di dunia luar,” sambung Joko sambil tersenyum.  


Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang membuatku menganggukkan kepala. Karena sebenarnya, seringkali anggukan itu tanpa makna. (bersambung)

LIPSUS