Oleh, Dalem Tehang
“MESTINYA, keluargamu nggak bisa juga langsung bersikap begitu, Aris. Siapa sih yang mau kena kasus, apalagi sampai masuk penjara,” kata Edi.
“Itu kan nurut kita, Kap. Keluarga besarku punya pandangan sendiri. Dan pendapat mereka sangat mempengaruhi istri juga anak-anakku,” sahut Aris.
“Emang apa pandangan keluargamu?” tanya Edi dengan wajah serius.
“Kalau sudah masuk penjara itu berarti tamat semuanya. Nama baik dan sebagainya. Bahkan ekstrimnya, dianggep sudah nggak punya masa depan lagi,” jelas Aris. Juga dengan suara serius.
“Maaf ini, nurut aku, nggak bener pandangan keluargamu itu. Masuk penjara itu bukan berarti habis masa depannya. Bukan juga nggak bisa perbaiki kehidupan. Keluargamu sudah melewati batas dalam ngenilai kehidupan seseorang. Ini semua takdir. Tuhan sudah tentuinnya kayak gini. Nggak bisa cuma dilihat dari kacamata lahiriyah aja,” ujar Edi. Panjang lebar.
Aris menunduk. Tampak ada pergulatan dibatinnya. Di satu sisi mengakui kebenaran pernyataan Edi, di sisi lain ia lebih paham bagaimana sikap keluarganya. Ia berdiri bak di persimpangan jalan.
“Terus gimana sikapmu dengan ini semua?” tanya Joko tiba-tiba. Langsung ke pokok masalahnya.
Aris tidak langsung menjawab. Ia hisap kembali rokok ditangannya. Ia taburkan asap tebal dari mulutnya dengan dorongan kuat. Seakan ekpresi dari hentakan demi hentakan tak beraturan yang ada di jiwanya.
Lama kami sama-sama diam. Hanya pikiran masing-masing yang berbicara. Ku pandangi Aris. Pria seumuranku dengan tampilan gagah bahkan keren ini, tidak disangka, menyimpan sebuah persoalan pelik tersendiri.
Selama ini ia tutup lewat pembawaannya yang selalu ceria, sikapnya yang bijak, mengayomi sesama, dan terus istiqomah dalam membangun kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
“Ya udah, nggak semua hal mesti dituntasin saat ini juga. Baiknya kamu solat istikharoh aja dulu, Ris. Minta Allah beri sinyal keberkahan-Nya,” kataku. Memecah keheningan, sekaligus mencairkan suasana yang menjadi mencekam.
Aris menganggukkan kepalanya. Ia bangun dari tempat duduknya. Memeluk kami bergantian.
“Kalian orang-orang yang paham dengan situasi yang sedang ku alami. Tolong jangan segan untuk terus berbagi. Berbagi masalah, berbagi cerita, dan tentu berbagi ilmu untuk kebaikan kita semua ke depannya,” ucap Aris dengan suara bergetar.
Ada keharuan mendalam di jiwanya yang tengah bergoncang. Raganya yang terkungkung menambah kuat goncangan itu.
Aku, Joko, dan Edi mengangguk. Kami mengerti betul, di saat semacam inilah makna kehadiran seorang sahabat sejati itu sangat diperlukan. Tidak peduli berbeda status sosial apalagi pangkat dan jabatan. Karena semua hiasan dunia itu adalah fana. Ada akhirnya.
“Babe, tolong nanti ajari aku solat istikharoh ya,” kata Aris kemudian. Aku terkaget.
“Aku juga belum tahu gimana caranya, Ris. Coba nanti kita cari tahu ya,” jawabku. Apa adanya.
Joko berdiri. Menuju sudut kamar. Ada tumpukan buku disana. Ia pilah-pilih. Dan kemudian ia berbalik. Membawa sebuah buku bertuliskan: tata cara solat sunah.
“Coba kamu cari di buku ini, Ris. Kayaknya sih ada cara solat istikharoh,” kata Joko sambil menyerahkan buku ke tangan Aris. (bersambung)