Oleh, Dalem Tehang
MALAM itu, kami penghuni kamar 10 kompleks rumah tahanan, makan bersama seperti biasa. Hanya lauknya yang berbeda.
Kali ini, nasi cadong yang disimpan Ijal sejak siang, berlauk mie instan setengah matang.
“Maaf, kita makan malem ini nggak ada lauk seperti biasanya. Nggak tahu kenapa, istriku sore tadi nggak dateng dan nggak ada kabar,” kataku. Saat kami memulai makan malam.
“Santai aja, Be. Sebelum ada Babe, kami malahan sering nggak makan malem. Paling ngopi sama beli gorengan aja. Itu juga kalau masih ada stok uang bulanan,” kata Edi, kepala kamar. Enteng.
“Iya, aku paham. Namanya kita di penjara, harus siap dengan kondisi apa pun juga. Tapi aku ngerasa kurang pas aja malem ini,” ucapku lagi.
Edi bercerita. Selama ini, penghuni kamar 10 setiap hari bisa dikatakan hanya makan satu kali. Sarapan saja. Itu pun harus membeli dan satu bungkus dimakan berdua, bahkan terkadang bertiga.
Mereka bisa makan siang apabila masih kebagian nasi cadong. Jika nasi jatah tahanan itu sudah habis untuk penghuni kamar lain, terpaksa gigit jari. Karena posisi kamar 10 berada di paling ujung kompleks tahanan. Sehingga sering dianaktirikan.
Mereka akan makan siang layaknya lebaran, jika hari besukan tiba. Yaitu Selasa dan Jum’at. Dan yang selama ini jarang makan siang, terjadi pada hari Rabu, Sabtu, dan Minggu.
“Makanya, kami sepakat kalau hari Senin dan Kamis lebih baik puasa. Sebenernya puasa itu buat ngehindarin makan siang, sekalian dapat pahala,” kata Edi. Sambil melepas senyum pahit.
“Jangan melo gitulah, Kap. Namanya di penjara ya ginilah. Nggak bakal ada enaknya. Yang jelas, besok aku pelimpahan. Untuk sementara aku berpisah sama kawan-kawan semua. Nanti kita ketemu lagi di rutan,” Joko menyela.
Kami semua baru tersadar. Besok siang Joko akan pelimpahan berkas tahap kedua. Dari tahanan titipan di mapolres, ia akan kembali dititipkan oleh kejaksaan di rumah tahanan negara alias rutan. Hingga persidangannya putus.
“Sudah pasti besok pelimpahan ya, Joko?” tanyaku. Ia mengangguk. Memastikan.
“Joko berangkat, tempatnya yang gantiin si Aris. Tempatnya Aris buat Arya,” kata Edi. Mengatur posisi penghuni kamar 10.
“Sabar sih, Kap. Belum lagi aku berangkat, sudah ngatur posisi. Kayaknya emang sudah nunggu bener aku pergi,” kata Joko. Bercanda.
Kami semua tertawa. Meski begitu, tidak bisa ditutupi bila ada kesedihan, karena besok salah satu penghuni kamar akan pergi. Walau sebenarnya hal yang lumrah terjadi. Bertemu untuk berpisah. Alamiah.
Deni tamping datang. Memberi isyarat pada Edi. Mereka berbincang pelan di dekat jendela berjeruji besi. Cukup lama. Sampai kemudian Edi memanggil Iyos dan Doni.
Deni membukakan pintu kamar. Tapi Edi diikuti Iyos dan Doni justru kembali ke tempatnya masing-masing.
“Nggak jadi beneran ini,” kata Deni. Edi mengangguk. Tegas.
Deni mengunci kembali kamar sel. Dan menghilang dari depan kamar kami. Menuju ke tempat tamping. Di samping pos penjagaan rumah tahanan.
“Nggak jadi keluar, Kap?” tanya Joko. Edi menggelengkan kepalanya.
Pria setengah baya yang sudah beberapa kali keluar masuk bui itu, duduk santai sambil menyulut rokoknya. Ia memberi kode pada Ijal untuk dibuatkan minuman khasnya. Kopi pahit.
“Enak kamu, Joko. Besok sudah pelimpahan. Lha aku sampai sekarang masih belum jelas,” kata Edi sambil melihat ke arah Joko.
“Semua kan ada waktunya, Kap. Dan yang pasti nggak bakal lebih dari tiga bulan kita di mapolres ini,” sahut Joko.
“Iya juga ya. Aku emang baru mau dua bulan disini. Kalau bisa sih lebih cepet pelimpahannya, jadi nggak terus-terusan stres,” sambung Edi.
“Emang pak Edi ngerasain stres ya disini?” tanyaku, tiba-tiba.
“Ya iya-lah, Be. Emangnya nggak abis-abisan tiap malem diajak hiburan sama petugas dengan tahanan perempuan itu,” katanya. Keceplos.
“Besar ya biaya kelakuan di penjara itu, Kap,” kata Joko. Memancing.
“Berlipet-lipet dari kita cari hiburan di luar pastinya, Joko. Belum lagi kalau kita dikerjain. Pesenan tuak, misalnya enam kantong. Paling dibeliin tiga kantong aja, terus dicampur air sama mereka. Tapi yang ditunjukin sama kita ya enam kantong. Akhirnya bukannya happy, malah sakit perut karena kembung,” ucap Edi sambil tersenyum kecut.
“Sudah tahu gitu kenapa diikutin terus,” Arya menyela.
“Kamu masih anak kecil, Arya. Belum waktunya untuk tahu,” sahut Edi dengan ketus.
“Justru karena masih kecil maka pengen tahu, Kap. Biar nanti kalau sudah besar, nggak salah langkah,” kata Arya.
“Nggak salah langkah apa. Sekarang aja kamu sudah masuk penjara. Keluar nanti kamu metik lagi, ya masuk lagi. Kecuali kamu bener-bener mau ngerubah diri dan jauhi lingkungan yang nggak bener,” Edi menimpali dengan suara tinggi.
Kami semua diam. Tidak biasanya Edi sang kepala kamar bicara dengan nada tinggi. Joko memberi isyarat pada Arya untuk tidak bicara lagi.
Mendadak, mataku menatap ke tempat Aris. Ia tampak sudah tidur. Atau tepatnya memaksakan diri untuk tidur.
Menyelimuti sekujur tubuhnya dengan kain sarung. Bagian wajah ia tutup dengan kopiahnya.
Aku berpandangan dengan Joko, yang juga sedang menatap posisi Aris tidur.
“Kasihan sahabat kita itu,” ucap Joko dengan pelan. Aku menganggukkan kepala.
“Dulu aku diajari sama bapakku. Jangan pernah menyerah oleh keadaan separah apapun. Tapi taklukkan dengan keyakinan, bahwa Allah takkan biarkan kita kalah, karena kita hamba kesayangan. Gitu kata bapakku,” kata Joko.
“Luar biasa apa yang diajarkan bapakmu itu, Joko. Pantes kamu punya mental tangguh dan nggak kenal patah semangat. Sepantasnya kamu bangga pada bapakmu,” ujarku sambil acungkan kedua jempol kepadanya.
“Bapak nyampein itu karena aku milih pergi dari rumah setelah dia mutusin mau nikah lagi, pas setahun ibuku wafat. Waktu itu, aku nggak setuju dengan keputusan dia. Jadi konsekuensinya, aku harus pergi dari rumah. Sejak itu aku merantau. Cari kehidupan disana-sini. Terakhir jadi sopir truk itu. Ujung-ujungnya aku tinggal di penjara,” urai Joko. Suaranya parau. Menahan kesedihan.
“Namanya juga jalan kehidupan, Joko. Kita nggak pernah tahu alurnya dan memang penuh misteri tikungan-tikungannya. Seperti katamu, ya jalani aja takdir ini. Yang pasti, sekelam apapun masa lalu kita, masa depan kita belum ternoda. Tetep masih ada waktu buat perbaiki diri dan meraih mimpi-mimpi kita,” kataku. Membesarkan hatinya. Juga menyemangati diriku sendiri.
Tiba-tiba Aris terbangun. Langsung duduk. Nafasnya ngos-ngosan. Wajahnya pucat.
“Kamu mimpi jelek, Ris?” sapa Joko.
Aris menatap Joko. Juga memandangku. Diambilnya botol air mineral disamping tempat tidurnya. Diminum airnya dengan terburu-buru. Ia sulut puntung rokok yang disimpan dibalik kantong plastik tempat bajunya.
“Iya, aku mimpi nggak bagus. Aku mau dibacok orang,” ucap Aris setelah menenangkan diri sambil menghisap rokoknya.
Edi mendekat. Mengajak Aris duduk didekat aku dan Joko. Ia sandarkan badannya ke tembok kamar mandi. Nafasnya masih belum tertata.
“Mimpimu itu cuma kembang tidur, Ris. Karena pikiran dan perasaanmu lagi nggak karu-karuan. Yang kamu perlu tahu, bukan hanya kamu yang digugat cerai saat lagi di penjara gini,” kata Edi dengan suara pelan.
“Emang Kap pernah ngalami?” tanya Aris. Matanya memandang tajam ke arah Edi.
“Iya, aku pernah ngalaminya. Bahkan dua kali,” ucap Edi. Tanpa ekspresi.
“Maksudnya dua kali digugat cerai, gitu ya Kap?” sela Joko. Edi mengangguk.
“Kok bisa gitu?” kata Aris lagi.
“Di penjara gini kita baru bener-bener sadari kalau isi dunia ini sebenernya penuh dengan serba kemungkinan, Ris. Buat orang yang sudah rasain penjara, dia nggak bakal takut ngadepin situasi sesulit apapun atau berbangga diri berlebihan saat jalani hidup penuh kesuksesan sehebat apapun. Dia akan slow-slow aja,” kata Edi.
“Kenapa bisa gitu, pak Edi?” tanyaku, penasaran.
“Karena hidup di penjara itu penuh dengan segala kemungkinan. Contohnya aja gini. Kita baru ngerasain nyaman malem ini beberapa jam, nggak terganggu sama maunya petugas yang aneh-aneh. Jangan dikira sampai pagi kita tetep nyaman. Bisa aja nanti pas kita lagi lelep-lelepnya tidur, petugas ngegedor kamar. Mau ini mau itulah. Dari yang sederhana itu aja kita bisa belajar, kalau sebenernya hakekat kehidupan ya penuh dengan kemungkinan alias nggak ada yang namanya kepastian, apalagi keabadian,” urai Edi. Panjang lebar.
“Jadi kalau kita sudah disini terus terjadi apa-apa yang diluar dugaan kita, ditanggapi biasa-biasa aja, gitu maksudnya?” sela Aris.
“Ya nggak ada pilihan, Ris. Sebenernya, sebagai manusia, kita emang punya pilihan. Bahkan banyak pilihan. Tapi jangan lupa, keadaan punya kenyataan. Dan kita nggak akan berdaya buat ngelawan kenyataan itu,” lanjut Edi. (bersambung)