Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 4)

INILAMPUNG
Selasa, 04 Januari 2022
Views

Oleh, Dalem Tehang


SAMPAI suara adzan Subuh terdengar bersahutan dari masjid yang ada di sekitar mapolres, tak sekejap pun aku bisa memejamkan mata. Beribu pikiran saling bersimpangan dengan alunan perasaan.


“Pak, jamaahan ya,” sebuah suara mengejutkanku. Seorang pria muda berdiri di ujung kakiku. Aku mengangguk.


Aku turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Wudhu. Saat keluar dari kamar mandi tak berpintu itu, aku terkejut. Ada sembilan orang yang berjejer. Menunggu giliran ke kamar mandi.


“Mario, kamu jadi imam ya. Sarungnya cuma ada empat, jadi gantian solatnya,” kata Edi.


Tidak terbayang sebelumnya, jika di sel tahanan aku didaulat menjadi imam solat. Selama ini, aku hanya imam solat di rumah. Istri dan anak-anakku sebagai makmumnya. 


Solat Subuh yang ku jalani kali ini, penuh dengan beragam rasa. Ketidakberdayaan dalam keterbatasan. Kenyataan yang tak pernah ada dalam angan. Juga, keterpurukan yang jauh dari keikhlasan.


Pria muda yang tadi mengajakku jamaahan, mengambil dua tempat air minum dari plastik. Ia berdiri di balik terali besi.


“Arpan. Arpan. Kamar 10,” teriaknya. Berkali-kali ia berteriak. 


Aku yang bersandar di dinding kamar mandi, menatap anak muda itu. Terbayang anak sulungku. Mereka seumuran. 


Tiba-tiba pria muda itu membalikkan badannya. Menatapku, tersenyum. Menghampiriku.


“Nama saya Ijal, om. Lengkapnya Rizal Ahmadi. Saya yang nyiapin semua kebutuhan disini. Istilahnya OD, orang dapur,” kata dia. Juga sambil tersenyum. 


Dia menjulurkan kedua tangannya sambil membungkuk. Beretika. Kami bersalaman.


“Maksudnya orang dapur itu apa?” tanyaku. Pelan.


“Karena nggak bisa bayar iuran kamar, saya yang urus semua kebutuhan kawan-kawan, om. Nyiapin minum dan menata makanan. Juga cuci pakaian dan pastinya bersih-bersih kamar. Nyapu ngepel. Orang kayak saya ini istilahnya OD alias orang dapur. Dan setiap kamar, pasti ada OD-nya, om,” urai Ijal dengan enteng. 


Wajah anak muda ini penuh simpatik. Senyum tak pernah lepas dari sudut bibirnya.   


“O gitu. Jadi kamu orang tersibuk di kamar inilah ya. Ngomong-ngomong, kamu tadi manggil siapa?” ucapku.


“O, arpan maksudnya ya, om?!” jawabnya. Aku mengangguk.


“Arpan itu maksudnya air panas, om. Bukan manggil orang,” kata Ijal sambil tersenyum. Aku juga tersenyum. Menutup malu. 


Santun sekali. Ketidaktahuanku tidak ditimpali dengan sikap mempermalukan. Sebuah perilaku berkesopanan dari orang terdidik.


“Memangnya siapa yang siapin arpan?” tanyaku lagi.


“Ada om. Namanya tamping. Ini juga bukan nama orang. Itu singkatan dari tahanan pendamping. Mereka yang jadi penyambung kita sama penjaga. Merekalah yang ngatur semua urusan kita dengan luar kamar, om,” kata Ijal lagi.


“Ijal, mana tempat arpannya? Cepetan, kamar lain juga nunggu,” mendadak seorang pria muncul di depan terali besi sambil membawa termos.


Buru-buru Ijal menyodorkan tempat air yang sudah disiapkannya. Setelah kedua tempat air penuh, ia ke depan kamar mandi. 


Dibukanya ember kecil yang ada di sudut. Ternyata, itu tempat peralatan makan dan minum. Ada gelas, piring, dan cangkir. Juga gula, kopi, teh, dan mie instan.


“Om ngopi apa ngeteh?” tanya dia.


“Kopi, Jal!” jawabku sambil memandangi ia melakukan tugasnya. Cekatan dan tampak terbiasa ringan tangan.


“Om bawa gelas nggak? Apa pakai yang ada aja dulu,” lanjut dia.


“Belum bawa gelas, Jal. Ya udah, pakai yang ada aja ya,” kataku. Ijal mengangguk.


“Kopinya manis apa pahit, om!” katanya.


“Jal, nggak usah banyak tanya. Buat-buatin aja. Kalau nggak diminum, siramin ke mukanya,” tiba-tiba sebuah suara keras menggema di kamar yang sebelumnya sunyi, karena penghuninya kembali lelap dalam tidurnya. 


Aku menengok ke asal suara. Ternyata Doni yang berteriak. Ia bicara keras tanpa bangun dari tempat tidurnya. 


“Biar aja om, nggak usah didengerin. Om Doni emang gitu. Semua salah di mata dia,” kata Ijal dengan suara setengah berbisik.


“Jangan banyak omong kamu, Ijal. Gua pake baru tahu kamu nanti,” kata Doni lagi. Tetap dengan suara keras. 


Ijal hanya tersenyum. Dia terus melakukan tugasnya. Menyiapkan kopi dan teh hangat buat penghuni kamar. Tak lama kemudian, ia sodorkan segelas kopi buatku.


“Terimakasih ya, Jal,” kataku, dan menyeruput kopi yang diberikannya. Ijal hanya mengangguk.


“Ini rokok, Mario. Biar enak ngopinya,” tiba-tiba Joko bangun dari tidurnya. Dia ulurkan bungkus rokok, tapi isinya tinggal satu batang.


“Sudah, rokok aja. Santai ajalah,” kata Joko. Seakan mengerti keraguanku. 


“Mario, disini kita belajar menikmati dan mensyukuri apa yang ada. Semua keterbatasan ini jangan buatmu mati rasa, mati hati, mati keyakinan, mati kesabaran, dan mati harapan ya,” ujar Joko. Berfalsafah.


Aku terdiam. Kata-kata Joko memang tampak amat sederhana, namun menyimpan nilai untuk tetap menjaga keseimbangan jiwa. Jauh melewati ungkapan bijak para motivator di dunia luar. 


“Terimakasih rokoknya ya, Joko!” kataku sambil menyulut rokok pemberiannya. Joko hanya acungkan jempolnya dan kembali tidur.


Ku hisap rokok. Dalam. Ku hembuskan asapnya perlahan. Bertebaran diterpa angin pagi nan deras masuk ke kamar tahanan. 


Ku pejamkan mata. Mencoba menyatukan alam pikir dan khalwat batin pada senandung yang seirama. Mensyukuri yang ada. Betapapun terpuruknya. (bersambung)

LIPSUS