Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 5)

INILAMPUNG
Rabu, 05 Januari 2022
Views

 

Oleh, Dalem Tehang


“OM, kalau perlu apa-apa bilang ya?” Ijal tiba-tiba membelah keterdiamanku.


“O iya, pasti itu, Jal. Terimakasih kopinya ya,” sahutku.


“Nggak usah terimakasih terus-lah, om. Memang sudah tugas Ijal ladeni  kebutuhan kawan-kawan di kamar ini,” kata dia.


“Kamu kenapa sampai bisa disini, Jal?” tanyaku.


“Berantem, om. Ya, nasib orang nggak punya, om. Walau sebenernya bukan salah Ijal, tapi ya ginilah akhirnya,” kata dia. Ada nada pedih pada suaranya.


“Emang kayak mana kejadiannya?” tanyaku lagi. Penasaran.


Ijal diam. Matanya menatap plafon. Nafasnya tertahan. Matanya mendadak berkaca-kaca.


“Maaf, Jal. Kalau om buatmu sedih,” kataku. Mencoba memahami rasa yang berkecamuk pada dirinya.


“Nggak kok, om. Nggak ada yang salah dari om. Ijal aja yang terlalu baper,” kata dia. Sambil tetap menebar senyum.  


Tampak ada usaha untuk menenangkan gejolak hati dan pikirannya. Sebuah upaya terus menjaga keseimbangan sisi kemanusiaan.  


Lama kami sama-sama diam. Mataku memandangi kawan-kawan yang kembali lelap dalam tidurnya, selepas subuhan berjamaah tadi. 


Aku tidak tahu. Masih adakah tidur berisi mimpi di penjara ini. Karena aku belum sempat sekejap pun mengatupkan mata. 


“Jadi Ijal berantem itu karena mertahanin cinta, om,” kata Ijal tiba-tiba.


“O gitu. Kok bisa masuk penjara gini gara-gara mertahanin cinta?” ucapku. Menimpali.


“Waktu itu Ijal lagi di kampus, om. Baru selesai ujian. Pas keluar ruangan, lihat pacar Ijal lagi diganggu orang. Mahasiswa juga. Sama-sama kuliah dengan Ijal. Terus Ijal tegor mereka. Eh, malah ngajak berantem. Akhirnya kejadianlah. Yang ganggu pacar Ijal itu pecah kepalanya karena Ijal hantem pakai batu. Dia lapor polisi. Jadilah sekarang Ijal disini,” kata dia dengan suara berat. Menahan amarah berbalut penyesalan. 


“Kamu smester berapa sekarang?” tanyaku. Mengalihkan suasana melankolis dramatis ini.


“Sudah smester akhir, om. Lagi nyusun skripsi. Kalau nggak ada kejadian ini, bulan depan Ijal sudah ujian dan akhir tahun wisuda,” lanjutnya. Sorot matanya kosong. Seakan sudah hilang harapan masa depan.


“Nanti kan bisa diuber, Jal. Yang penting kamu tetep optimis dan semangat,” kataku. Mencoba membangkitkan semangatnya.


“Nggak sesederhana itu, om. Ijal sudah dikeluarin dari kampus. Karena yang Ijal pecahin kepalanya itu keponakan kandung ketua yayasan tempat Ijal kuliah,” lanjut Ijal. Kali ini suaranya datar. Tanpa getaran. Tanpa penekanan.


“Oalah, apes itu namanya, Jal. Tapi kamu tetep bisa lanjut kuliah di tempat lain setelah semua ini selesai,” tanggapku. Terus mencoba menebar serpihan harapan.


Sesaat kami terdiam. Sampai sebuah suara keras sambil memukuli jeruji besi terdengar dari ujung dan semakin mendekat. 


“Apel, apel. Ayo bangun. Apel,” kata suara keras itu.


“Kita apel dulu, om. Cuma sebentar kok. Nanti kita lanjut lagi obrolannya ya,” kata Ijal, langsung bergerak membangunkan kawan-kawan yang masih tidur.


Kami berdiri. Berjejer. Tiga petugas berseragam lengkap, berdiri tegap di depan pintu sel. Satu demi satu, kami berhitung. Lengkap 12 orang.


“Yang baru masuk semalem mana?” tanya salah satu petugas.


Aku mengangkat tangan. Petugas itu, juga dua lainnya menatap tajam. Salah satu petugas bergeser. Melihat papan daftar tahanan yang dipasang di samping pintu sel. Di papan itu terdapat nama dan pasal yang disangkakan.


“Pak Mario, baik-baik disini ya. Jangan buat keributan atau berulah macem-macem. Ikuti aja aturan apapun itu. Dan apa yang terjadi disini, jangan sampai keluar. Kalau melanggar, kami bisa keras dan kasar,” kata petugas yang membaca papan daftar tahanan.


Aku mengangguk. Mulai terbiasa dengan ancaman atau pun hinaan, walau belum 24 jam tinggal di ruang tahanan.


Setelah petugas pergi, Edi kepala kamar mengingatkanku untuk adaptasi dan menjaga kerahasiaan apapun yang terjadi.


“Ikuti aja apa maunya petugas jaga. Sebab, walau cuma satu orang yang melanggar, semua yang ada di kamar ini kena hukuman juga,” kata Edi. 


“Kalau dia macem-macem, kita gebukin ramai-ramai aja,” tiba-tiba Doni menyela.


Ku pandangi wajahnya. Sangar memang. Badannya tinggi besar. Penuh tato. Belum apa-apa, sudah tiga kali dia menebar hujatan padaku.


Joko menarik tanganku. Mengajak duduk di tempat kami. Dia keluarkan sebungkus rokok dari kaos kaki yang diikatnya pada botol air mineral yang jadi bantalnya.


“Santai aja, Mario. Ngerokok aja dulu. Dia nggak selevel sama kamu,” kata Joko. Membuka bungkus rokoknya dan menyuruhku mengambil rokok langsung dari bungkusnya. 


“Terimakasih rokoknya, Joko. Jadi nggak enak hati, ambil rokokmu terus,” kataku.


“Santai aja. Sebenernya seperti yang kamu bilang tadi: terimakasih. Hidup ini intinya ya nerima dan ngasih, Mario. Nggak ada yang cuma nerima tanpa ngasih. Juga, nggak ada yang ngasih aja tanpa nerima. Dibuat enteng aja. Anggep-anggep lagi tinggal di kontrakan,” ucap Joko sambil tersenyum. Enteng sekali. (bersambung)


LIPSUS