Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 6)

INILAMPUNG
Kamis, 06 Januari 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang

 

KU hisap rokok sambil menyelami kata-kata Joko. Pria seumuranku ini tampak sangat enjoy. Juga mempunyai kecerdasan diatas rata-rata dalam memaknai kehidupan dengan bahasa-bahasa yang sederhana.


“Kalau boleh tahu, kamu kena kasus apa?” tanyaku. 


Sambil menghembuskan asap rokoknya, pria berkepala plontos itu menatapku. Tajam. Seakan ingin membongkar suara hati lewat tatapan mataku. 


“Nurut kamu, aku tersangkut kasus apa?” ujarnya. Balik bertanya. Aku hanya mengangkat bahu. 


Joko tertawa. Tanpa makna. Lirih. Mendadak raut wajahnya berubah. Yang biasanya teduh, menjadi mengencang. Keras. Ekspresi dari jiwa yang mendadak tersulut.


“Aku kena kasus ban, Mario. Aku ini sopir truk perusahaan pengangkut barang. Karena nggak tahan sama beratnya beban  pekerjaan, ditambah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, akhirnya aku nggak bisa ngontrol diri,” kata Joko kemudian.    


“Terus, apa yang kamu lakuin?” tanyaku. Setengah tidak percaya. Joko yang tampak berpendidikan dan matang dalam mengontrol keadaan, ternyata berprofesi sebagai sopir truk.


“Waktu itu, aku dapet tugas nganter barang ke Jakarta. Aku kontak kawan yang mau beli ban sama peleknya sekaligus. Kebetulan emang baru ganti semua ban truk bawaanku. Kawan itu mau ngebelinya. Kami janjian ketemu di salah satu rest area di wilayah Cirebon. Ternyata, pas aku kesana, dia nggak muncul-muncul. Hp-nya juga nggak aktif lagi,” Joko melanjutkan ceritanya.


“Terus kayak mana?” selaku. Tertarik  dengan kelanjutan kisahnya.


“Aku tawarin ban sama peleknya ke sopir truk lain, yang lagi istirahat di rest area itu juga. Dapetlah aku uang Rp 8 juta. Aku langsung naik bus. Pulang ke Sragen,” lanjutnya.


“Memangnya kamu ketangkep dimana?” kataku lagi. 


“Setelah dua hari di Sragen nemuin istri dan anak yang lagi pulang kampung, aku niat cari kerjaan di Surabaya. Pas bus yang ku tumpangi masuk Terminal Nganjuk dan nurunin penumpang, muncul enam orang. Rupanya polisi. Nangkep aku. Ya sudah, aku pasrah aja. Akhirnya aku disini inilah, ketemu kamu,” katanya lagi. Seulas senyum tersungging di bibir tebalnya. 


“Kok bisa begitu seriusnya aparat ngejer kamu? Kan cuma mretelin ban sama pelek aja? Nggak jual truknya?!” ucapku.


“Bos tempatku kerja itu berduit, Mario. Pengusaha ekspedisi besar. Banyak kawannya pejabat tinggi. Nggak heran kalau siapa yang macem-macem sama urusan kerjaannya, pasti bakal dihabisi,” ungkap Joko. 


“Yang namanya Mario mana?” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami. 


Seorang petugas jaga berdiri di luar sel, tangannya yang kekar memegang terali besi. Mencengkeram.


Spontan aku berdiri. Petugas itu menatapku. Kepalanya mengangguk-angguk. 


“Ada yang mau ketemu,” lanjut dia sambil membuka gembok pintu sel.


“Sana, cepet keluar,” kata Joko. Menyuruhku cepat bergerak.


Ku ikuti langkah petugas itu. Melewati sel demi sel, sampai akhirnya sampai ke ruang penjagaan tahanan.


Ku lihat istriku. Duduk sendirian di kursi kayu panjang yang sudah reyot. Melihatku datang, ia bergegas mendekat. Ku peluk istriku dari balik terali besi. Matanya kuyu. Nyaris tanpa sinar. 


“Pak, bisa saya ngobrol dengan istri di ruangan ini?” tanyaku pada petugas jaga yang tadi menjemputku. Sambil menunjuk pos jaga.


“Nggak bisa, pak. Ya cukup begini aja. Lagian hari ini bukan waktu besukan. Selasa dan Jum’at waktu besukannya. Tapi, karena pak Mario baru semalem masuk, kami kasih toleransi,” kata petugas itu.


“O iya, pak. Terimakasih,” kataku sambil menundukkan wajah. Menghargai toleransi yang diberi.


Dari balik jeruji besi yang menjadi pemisah, tangan istriku menepuk-nepuk pundakku. 


“Yo wes, yang sabar. Nerimo aja yo!” ucapnya. 


Sebuah senyum ia tunjukkan. Senyum penuh ketulusan berbalut kepedihan.     


“Bunda bawain sarapan, nasi uduk. Juga rokok. Tapi cuma dua bungkus yang boleh dibawa masuk. Yang dua lagi, bunda kasih ke petugas,” kata istriku. 


Aku mengangguk. Pelan. Nyaris tanpa kekuatan. Ku genggam tangannya. Dingin. 


“Bisa tidur semalem?” tanya dia. Aku menggeleng. Dia tersenyum.


“Ada berapa orang di sel ayah? Gimana mereka, baik nggak?” tanya dia lagi.


“Ada 12 orang. Alhamdulillah, semua nyambut ayah dengan baik. Ayah tadi jadi imam solat Subuh,” kataku.


“Oh ya? Ayah jadi imam solat Subuh? Alhamdulillah,” ucap istriku. 


Wajahnya berubah. Semringah. Tangannya mengelus-elus punggungku. Ada rasa bangga dan bahagia disentuhannya.          


Istriku membuka tasnya. Ia keluarkan sebuah buku kecil. Buku surah yasin. Ia berikan padaku. 


“Sering-sering dibaca ya. Allah yang ngatur semuanya. Kita ikuti aja alur kisah kehidupan ini,” kata istriku sambil menatapku dengan pandangan teduh.


“Nanti sore, inshaallah pulang kerja bunda kesini lagi. Ini buru-buru, harus apel di kantor, jadi nggak bisa lama,” lanjut istriku.


Aku mengangguk. Ia cium keningku. Ku kecup keningnya. Ia cium tanganku. Hangat. Ada sebulir air mata singgah di tanganku.    


Istriku berpamitan pada petugas jaga. Respon mereka pun baik. Menunjukkan sikap hormat. 


Beda jauh saat berhadapan dengan tahanan. Mungkin, karena saat itu istriku memakai pakaian dinas kantornya. (bersambung)

LIPSUS