Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 7)

INILAMPUNG
Jumat, 07 Januari 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


“PAK, ini bawaan istrinya tadi. Maaf, rokok maksimal dua bungkus yang boleh masuk. Tadi yang dua lagi dikasih ibu ke kami. Terimakasih pengertiannya ya, pak,” kata petugas itu sambil menyerahkan kantong plastik berisi bawaan istriku.


“Sama-sama, pak. Terimakasih juga,” kataku. Membungkukkan badan. Menghormati. 


Seorang pria muda mendekatiku. Ia julurkan tangannya.


“Nama saya Adit, om. Saya tamping disini. Om sudah mau balik ke sel?” kata dia dengan sopan.


“Iya, om balik ke sel aja,” ucapku. Mencoba menyatu dengan memakai kata yang ia ucapkan saat memanggilku. 


Bergegas Adit mengambil gepokan kunci gembok sel di kompleks tahanan mapolres dari ruang penjagaan.   


Ia mengiringi langkahku menuju sel paling ujung. Saat melewati ruangan sel-sel lain, banyak yang menyapa. Meski hanya anggukan dan seulas senyuman.


“Disini tahanannya kompak, om. Nggak ada yang sok jadi jagger. Pinter-pinter aja bawa diri,” kata Adit saat kami berjalan. Berdampingan. 


Aku mengangguk. Ku perhati sosoknya. Masih sangat muda. Usia dibawah 30 tahun. 


“Saya ini masih muda, om. Baru 26 tahun. Baru dua hari lalu ulang tahun,” ujar Adit. Seakan paham yang tengah aku pikirkan.


“Kamu masih kuliah, apa sudah kerja?” tanyaku.


“Kuliah sudah selesai, om. Sudah kerja juga. Di perusahaan leasing,” sahut dia.


“Kamu kena kasus apa?” tanyaku lagi.


“Narkoba, om. Ketangkep bareng kawan. Kami sepaket ada empat orang. Disini juga, satu sel,” jelasnya. Enteng.


Sampailah kami di depan selku. Dengan gerakan terlatih, Adit membuka gembok besar yang sudah karatan itu. 


“Terimakasih ya, Adit,” kataku sambil menepuk bahunya. Ia mengangguk dan tersenyum. 


“Siapa yang dateng?” tanya Joko begitu aku duduk di tempatku.


“Istriku. Dia bawa sarapan dan rokok. Tapi cuma dua bungkus yang boleh masuk. Gimana biasanya kawan-kawan disini sarapannya?” tanyaku.


“Nanti jam 10-an dianter nasi cadong. Biasanya kami tambah mie instan. Tapi yang rutin, beli sarapan sendiri. Ada yang dagang dateng kesini. Nasi uduk telor Rp 20.000. Kalau nasi goreng Rp 25.000. Ada juga nasi kuning, Rp 25.000,” kata Joko.


“Mahal juga ya?” ucapku, menyela.


“Ini penjara, Mario. Semua mahal. Nggak ada yang murah. Sebentar lagi kan ganti petugas jaga, kamu pasti diminta uang kopelan Rp 20.000 sama tamping,” lanjutnya.


“O gitu, karena tadi istriku dateng itu ya? Gimana ya. Aku nggak pegang uang?” jawabku. Kebingungan. 


“Pakai uang kas kamar aja dulu. Kalau kamu sudah punya uang, ganti. Gitu aturan disini. Nggak usah ribet-ribet mikirinnya,” kata Joko lagi. Aku mengangguk. Memahami aturan main di kamar. 


“Mario, kita sarapannya bareng-bareng ya. Di kamar ini nggak ada istilah makan sendirian,” kata Edi, kepala kamar.


“Siap!” sahutku pendek. 


Ku serahkan bungkusan nasi uduk bawaan istriku ke Ijal. Tahanan yang mengurus semua keperluan di kamar 10. 


“Jal, ambil itu nasi cadongnya,” kata Edi, saat melihat tamping membawa plastik besar berisi belasan bungkus makanan.


Ijal bergerak cepat. Bungkusan makanan cadong dimasukkan lewat sela-sela jeruji besi.


Semua penghuni kamar duduk di bawah. Ijal sibuk membuka satu demi satu bungkusan nasi cadong. 


Mataku terbelalak. Setiap bungkus berisi nasi paling banyak tiga kali suap. Lauk pun hanya bihun sejumput dan tiga potong tempe goreng kecil-kecil. Tak ada yang lain.


“Ini namanya nasi cadong, Mario. Inilah jatah makan tahanan disini dan sehari semalem cuma sekali,” kata Edi. Aku buru-buru mengangguk. Menutupi keterkejutanku. 


“Jangan ngomong soal berapa anggaran biaya makan tahanan yang sebenernya ya, Mario. Karena nggak bakal ketemu logikanya. Syukuri aja, kita masih dikasih cadong begini. Kalaupun nggak dikasih, kita juga nggak bisa protes,” kata pria seumuranku yang sejak tadi malam tidak pernah bicara apapun.


Ku pandangi pria itu. Wajahnya bersih. Kulitnya juga terawat. Nampak perlente. Tampak jika ia berpendidikan dan berpengalaman.


“Itu namanya pak Aris. Bekas anggota Dewan yang terhormat. Sebelumnya pemborong besar. Bahkan dia yang ngebangun kompleks tahanan ini. Nasib membawanya hidup disini,” kata Edi.        


Ku anggukkan kepala ke arah pria perlente tadi. Yang ternyata bernama Aris. Ia tersenyum. Juga menganggukkan kepalanya. 


“Kamu kerja dimana?” tanya Aris padaku.


“Aku kerja di koperasi simpan pinjam, pak,” sahutku.


Nggak usah pakai pak-lah. Panggil nama aja kita disini. Biar lebih menyatu, apalagi umur nggak beda-beda jauh,” ucap Aris sambil tersenyum. Aku mengangguk.               


“Kamu nggak buat mie goreng ya, Jal?” tanya Edi tiba-tiba ke Ijal. Pemuda itu menggeleng.


“Buat dulu, tiga bungkus sekalian,” perintah Edi. 


Buru-buru Ijal membuka ember tempat menyimpan bahan makanan. Dibukanya ujung bungkus mie instan dengan hati-hati. 


Dituangkan air panas ke dalamnya. Ia ikat ujung bungkusnya dengan karet. Agar airnya tidak bertaburan. Diputar berulangkali. Sampai mie itu matang. Atau tepatnya setengah matang.


Mie goreng ditaruh di piring. Kami duduk berhadapan. Di depan masing-masing ada sebungkus nasi cadong. Kami siap sarapan. Tiba-tiba Ijal berbisik. 


“Om, nasi uduknya buat pak Edi ya. Biasanya begitu, kalau ada makanan paling bagus, ya dikasih ke kap kamar,” ucapnya. Pelan. Aku mengangguk.


Ijal mengambil nasi uduk dari depan tempat dudukku dan ditaruh di tempat Edi. Bungkusan nasi cadong di depan Edi, ditaruh di depanku.


“Ikhlas ini, Mario?” kata Edi sambil menatapku. Aku mengangguk.


Baru saja aku membuka bungkus nasi cadong, seorang tamping berdiri dari balik terali besi.


“Yang namanya Mario mana ya? Ada yang dateng. Disuruh penjaga, cepetan,” kata dia. 


Aku berdiri. Meninggalkan nasi cadong yang sudah akan ku makan. Edi mengisyaratkan agar aku cepat keluar kamar sel. Tamping itu membuka gembok pintu. Aku pun jalan menuju pos penjagaan.


Ku lihat ada empat laki-laki duduk di kursi panjang di ruang penjagaan. Ternyata, teman-teman kerja di kantor koperasi simpan pinjam. (bersambung)


LIPSUS