Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 8)

INILAMPUNG
Sabtu, 08 Januari 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


MEREKA menyalamiku dari balik jeruji besi. Menyatakan prihatin atas kondisiku. 


“Saya mewakili teman-teman di kantor menyatakan prihatin atas musibah yang bapak alami ini. Kami doakan bapak sabar dan tabah,” kata Agus, mewakili teman-teman. 


Aku hanya mengangguk sambil mencoba tersenyum. Menegarkan jiwa di saat raga terpenjara. 


Tidak lama mereka menemuiku. Karena tak lebih dari sekadar basa-basi berbalut silaturahmi. Mata hatiku berprasangka jika mereka hanya ingin melihat seruntuh apa mentalku setelah ditahan. 


Saat akan kembali ke sel, ku lihat adik istriku, Laksa, sedang berjalan ke arah pos penjagaan. Ku sampaikan ke petugas jaga jika itu adikku. Ia memberiku waktu.


Laksa menyalamiku dengan kencang. Matanya memerah. Menahan kesedihan. Kepalanya berulangkali menggeleng. Menempel di teralis besi yang menjadi pembatas. Ada sebuah ketidakpercayaan atas kenyataan. 


“Maaf ya, kak. Aku nggak bisa banyak nolong sampai kakak harus masuk begini,” kata dia dengan suara tercekat.


“Santai aja, dek. Itu yang diajari kawan-kawan disini. Kamu sudah berbuat yang terbaik selama ini. Sudah nggak kurang-kurang. Tapi Sang Pengatur Kehidupan sudah punya skenario, dan itu pasti berjalan. Jadi ya, kita ikuti aja alur skenario yang ada ini,” ucapku. Menenangkan kegundahan dahsyat yang mendera jiwa Laksa.


Ku tepuk-tepuk bahu Laksa. Wajahnya menunduk. Terus menempel di jeruji besi. Kegundahannya begitu dahsyat. Jiwanya memberontak. Meneriakkan tembang ketidakterimaan. Jemari tangannya menggenggam erat terali besi. Seakan ingin merontokkannya. 


“Yakin aja, kakakmu ini bisa bawa dan jaga diri dengan baik. Nggak bakal ada ujian diatas kemampuan kita ngatasinya. Ikuti dan nikmati aja alurnya,” kataku setengah berbisik.  


Perlahan, Laksa bisa mengendalikan dirinya. Nafasnya mulai tertata. Keeratan batin kami memang sudah terbangun sejak lama. Dan amat kokoh.         


“Omongan orang diluaran yang buat sering emosi, kak. Ditambah berita-berita di media online maupun cetak,” ucapnya sambil menatapku tajam.


“Biarin aja. Nggak usah didenger yang nggak perlu didenger. Juga nggak usah dilihat, yang nggak perlu dilihat,” kataku. Terus mencoba menenangkan jiwa Laksa.


Laksa menghapus air yang mengambang di matanya. Ia lepas tangannya dari tanganku.


“Kak, aku cuma bisa bawain rokok sama sedikit uang. Aku nggak tahu apa yang kakak perluin disini,” kata dia, membuka tasnya. Dikeluarkannya dua bungkus rokok dan amplop berisi uang.


“Masyaallah, dek. Nggak usah repot-repot gini. Tadi pagi-pagi ayuk sudah kesini. Sudah bawain kakak sarapan dan rokok juga,” ujarku. 


“Ini nggak ada artinya dibanding beratnya beban kakak di dalem sini. Kalau perlu apa-apa, bilang ya. Inshaallah aku bisa bantu,” kata Laksa sambil memberikan rokok dan amplop ke tanganku.


Petugas jaga yang terus mengawasi, sempat mengernyitkan dahinya. Melihat gerakan tangan Laksa menyerahkan sesuatu ke tanganku.


“Maaf, pak. Itu apa?” kata petugas sambil mendekat.


Ku tunjukkan tiga bungkus rokok dan amplop yang diberikan Laksa. Ia ambil satu bungkus rokoknya.


Mendadak Laksa menarik sesuatu dari kantong celananya. Ia selipkan ke tangan petugas jaga.


“Saya sudah siapin buat bapak beli rokok. Mohon jangan ambil yang buat kakak saya,” kata Laksa. Setengah menghiba.


Petugas itu mengangguk. Rokok yang sempat diambilnya dari tanganku, dikembalikan.


Laksa pun pamitan. Ku pandangi langkahnya dari balik terali besi pos penjagaan. Lunglai. Seakan tercerabut sebagian kekuatannya.


“Ayo om, balik ke kamar,” sebuah suara mengejutkanku.


Tamping yang tadi menyusul, mengajakku kembali ke sel. Sepanjang lorong menuju kamar 10, aku berjalan sambil menunduk. Menatap lantai berplester kasar itu.


“Itu nasimu,” kata Joko saat aku masuk kamar. 


Ku lihat sebungkus nasi cadong ditaruh di dekat tas kecilku.


Aku ke kamar mandi. Ku buka pelan-pelan amplop dari Laksa. Kuhitung. Ada uang Rp 650.000. Ku tarik nafas panjang.


Ungkapkan rasa syukur. “Alhamdulillah,” desahku.


Ku dekati Edi yang sedang memotong kuku dengan menggigit-gigit pakai giginya.


“Ini rokok tiga bungkus sebagai tanda persahabatan dan uang bulanan Rp 600.000,” kataku. Edi menerimanya sambil tersenyum.


“Iyos, catet ini. Mario sudah bayar,” kata dia, menyerahkan uangnya ke Iyos.

Dua bungkus rokok dia lemparkan ke posisi kawan-kawan yang sedang mengobrol di lantai bawah. 


“Itu dari Mario. Jangan boros-boros. Bagi rata,” kata Edi. 


Sebungkus lainnya dia masukkan ke bantalnya. Jatah kepala kamar. (bersambung)


LIPSUS