Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 9)

INILAMPUNG
Minggu, 09 Januari 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang


AKU buka bungkusan nasi cadong. Lama ku tatap nasi berwarna kusam itu. Ijal mendekat. Menaruhkan segelas air minum. 


“Makanlah, Mario. Bismillah aja,” kata Joko yang memperhatikan kebimbanganku.


“Bismillah,” ucapku sambil menyuapkan nasi ke mulut. Dan benar saja. Tiga kali suapan, ludes sudah makanan itu. 


“Alhamdulillah,” kataku. Pelan. Ku lihat Joko dan kawan-kawan yang lain memperhatikanku.


“Ada yang aneh ya?” tanyaku. Mereka hanya tersenyum.

 

Ku rebahkan badan. Mulai terasa lelah. Lahir batin. Tak terasa, aku tertidur. Sampai kemudian tanganku ada yang menarik.


“Bangun, Mario. Ada pemeriksaan provos,” Joko yang berucap sambil menarik tanganku.


Buru-buru aku duduk. Ku lihat dua orang berpakaian provos berdiri di pintu. Penghuni kamar disuruh keluar. Berbaris rapih di depan kamar.


Satu demi satu barang yang ada di kamar diperiksa. Semua isi tas dikeluarkan. Berserakan di lantai. Rokok yang bungkusnya belum dibuka, disita. 


Salah satu petugas masuk ke kamar mandi. Matanya nanar melihat ember penuh berisi rendaman pakaian. 


Sambil menutup hidungnya, ia berkata keras: “Siapa yang ngerendem baju ini?”


Kami berpandangan. Edi memberi isyarat pada Ijal. Pria muda itu mengangkat tangannya.


“Habis ini, langsung dibilas dan jemur ya. Kalau nanti malem saya cek masih kayak gini juga, saya suruh minum air rendeman ini,” kata petugas itu sambil keluar kamar. Ijal mengangguk.


Selepas petugas provos pergi, kami masuk kamar lagi. Masing-masing merapihkan barang pribadi yang bertaburan di lantai. Hanya Edi kepala kamar yang duduk anteng di tempatnya. Semua barang miliknya dirapihkan Ijal.


Suara adzan Ashar menggema. Aku beranjak ke kamar mandi. Wudhu. Usai solat, ku rebahkan badanku. Mataku menatap plafon. Menembus genteng. Menyapa langit. Pikiran dan perasaan bergelayutan tanpa pegangan. Mengawang.


Sorot mentari yang sejak pagi merayapi kamar, mulai meredup. Bergeser dalam pergerakan pelan namun berkepastian. Angin senja mulai menyapa. 


Satu demi satu penghuni kamar, mandi bergantian. Percikan air dari gayung beberapa kali menimpa wajahku. 


Tembok pembatas kamar mandi dengan tempatku, memang sangat rendah. Dan jika ada yang buang air besar, bau semerbaknya menjelajah. Memaksaku harus menutup hidung atau beringsut ke sudut dekat pintu sel.

     

“Om Mario, istrinya dateng,” kata Adit. Tamping itu langsung membuka pintu kamar. Aku mengangguk pada Edi. Meminta izin. Ia hanya mengangguk.


Ku peluk istriku dari balik jeruji besi di pos penjagaan. Wajahnya tampak kuyu. Lelah bekerja seharian ditambah beban perasaan dan pikiran yang tak bisa dilukiskan.


Ku sampaikan jika tadi kawan-kawan dari kantorku, koperasi simpan pinjam, datang membesuk. 


Juga adiknya, Laksa, yang memberiku uang dan ku pakai untuk membayar uang bulanan kamar. 


Istriku menunduk. Menangis. Haru dan pilu berpadu.  


“Kita terus saling doa dan nguatin aja ya. Inshaallah bunda dan anak-anak kuat,” kata dia dengan suara pelan. 


Aku mengangguk. Ku hapus air mata yang menempel di pipinya. 


“Bunda bawa rawon tiga bungkus dan nasi enam bungkus. Juga ada telor asinnya enam butir. Biar bisa makan malem bareng kawan-kawan di kamar,” ucap istriku kemudian. Suaranya parau. 


Aku lihat ada dua kantong plastik besar di meja penjaga. Ku yakini, itu bawaan istriku. Aku tak bisa berucap apapun. Hanya ku peluki istriku. Kami tak berkata-kata. Hanya jiwa yang saling bersuara.


Saat suara mengaji menandakan waktu Maghrib akan menjelang dari masjid dekat mapolres mulai terdengar, istriku pamitan. 


Kami berpelukan. Lama. Tetap tidak ada kata. Hanya terdengar detak jiwa yang membahana. Menyeruak hingga tulang sumsum dan mengendap keras dalam pikiran.


Gontai sekali tapak demi tapak istriku saat meninggalkan kompleks ruang penahanan. Ia terus menunduk. Menghujamkan pandangannya ke bumi. Hingga sosoknya hilang dibalik bangunan di depan, menuju parkiran mapolres.


Saat waktu solat Maghrib tiba, aku kembali didaulat menjadi imam. Hanya Edi dan Doni yang tidak solat. Ku keluarkan buku yasin yang pagi tadi diberi istriku.


Dengan suara pelan, ku baca rangkaian kalimat-kalimat Tuhan. Sang Pengatur Kehidupan. Ku rasakan, ada yang duduk mendekat. Mencoba mendengarkan. Ku tengokkan wajah. Ternyata Aris.


“Aku pengen ngaji yasin juga. Baca bareng, ya?!” kata dia. Ditangannya ada buku yasin. Mirip punyaku.


Aku mengangguk. Kami membaca yasin bersamaan. Joko yang semula rebahan, ikut duduk disamping Aris. Ijal yang sebelumnya bermain kartu, mendekat. Pun Asnawi dan Iyos. 


Mereka seakan paham, mendengarkan bacaan ayat-ayat Tuhan adalah tali temali pahala untuk melepas titik demi titik gumpalan dosa yang mengendap pada lelakon kehidupan selama ini.


Bacaan yasin selesai tepat saat adzan Isya berkumandang. Aris mengajak langsung solat jamaahan. Saat kami tengah solat, petugas jaga melakukan apel.


“O, lagi pada solat. Ini kenapa kamu berdua nggak solat?” terdengar suara petugas ditujukan ke Edi dan Doni.


“Habis apel ini kami solat, pak. Tempatnya nggak cukup kalau barengan,” kata Edi. Beralasan.


Tak lama kemudian, terdengar langkah petugas yang didampingi tamping, menjauh. Apel malam adalah penanda pergantian petugas jaga tahanan. (bersambung)

LIPSUS