Cari Berita

Breaking News

Bertahan Menjaga Kewarasan, Sebuah Ulasan Novelet Ons Untoro

Jumat, 07 Januari 2022
Views

Kurnia Effendi bersama novelet "Penyair di Tengah Pandemi" Ons Untoro. -foto ist-


Oleh Kurnia Effendi


Judul: Penyair di Tengah Pandemi 
Penulis: Ons Untoro
Genre: novel
Penyunting: Indro Suprobo
Perancang kover: Orang Kampung Design
Ilustrasi: Vincentius Dwimawan
Penerbit: Tonggak Pustaka – Sastra Bulan Purnama, Yogyakarta
ISBN: 978-623-6517-12-3
Tebal: 156 halaman
Ukuran: 12,5 x 19 cm
Harga: Rp75.000 (di luar ongkir)



Keinginan seorang seniman—cabang seni apa pun—menjadi saksi zaman itu sudah berlangsung sejak masa lalu. Setiap peristiwa besar yang menyangkut politik, sosial, budaya, pun idealogi, meninggalkan jejak kuat karena peran para seniman (selain sejarahwan). Gelombang seni klasik, zaman Rainesance, Baroc, Rococo, Art Nuveau, Art Deco …. Dalam sastra ada angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 (terkait kemerdekaan bangsa kita dan aliran puisi modern), Angkatan 66 (menandai pascarevolusi 65), dan ternyata rezim pengganti Orde Lama juga ditumbangkan oleh gerakan reformasi. Apa hasilnya? Pembaruan yang dilekati balas dendam, ingin giliran mendapatkan jatah: korupsi mengggila dalam jangka pendek (dibanding cara strategis yang disusun hingga 32 tahun era Orde Baru). Dinamika politik malah melahirkan pasca-kebenaran (post truth) setelah masing-masing kubu merasa paling benar untuk atau demi berebut (pengaruh) kekuasaan. Ini belum bicara soal komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, dan paduan antarunsur yang ramuannya akan menghasilkan isme berbeda, menjarah ke seluruh daerah.

Memang tidak segigantik gelombang Art Deco yang melanda bukan hanya seni lukis, melainkan juga arsitektur, seni grafis, bahkan busana (fesyen), film, musik … namun, kehadiran virus Corona berpengaruh global dan tanpa basa-basi, membuat kita kehilangan persiapan/konsep untuk mengatasi. “Untung” para saintis dan teknokrat telah menemukan teknologi informasi yang menandai dua revolusi industri mutakhir dengan percepatan yang mengagumkan. Bayangkan bila terjadinya seratus tahun yang lalu ….

Internet dan teknologi digital menjadi penemuan yang mulia. Begitu kita dirumahkan, keterperangahan kita segera tertolong oleh jaringan yang mampu menghubungkan setiap orang dan lokasi tanpa perlu beranjak dari rumah. Namun, apa daya, sendi ekonomi yang memerlukan kegiatan fisik dan operasional massal, hancur seketika. Budaya berubah dengan lekas, dunia kedokteran belajar dari flu Spanyol dengan penanganan yang lebih modern. Di samping masyarakat yang beroleh kesadaran untuk saling bahu-membahu, selalu ada oportunis yang tega mengambil kesempatan dalam derita sesama manusia. 

Lagi-lagi saya terlalu ngalar-alar bicara padahal sejatinya ingin menyampaikan bahwa di antara buku-buku yang banyak terbit untuk menandai era Covid-19, ada novelet karya Ons Untoro hadir tak ketinggalan dengan tujuan serupa. Ons yang dikenal sebagai perawat kegiatan Sastra Bulan Purnama selama lebih 10 tahun (yang baru saja diperingati pada November 2021 adalah SBP ke-121), juga mengaku mendekam di rumah saja selama hampir dua tahun. Namun, bukan berarti dia berdiam diri, seperti juga para penulis lainnya. Terbukti selama dua tahun berjalan, Sastra Bulan Purnama yang berganti dengan pembacaan puisi dari rumah masing-masing (saya menyebutnya “poetry reading from home”), tanpa perlu hadir di Tembi Rumah Budaya seperti biasanya, tetap berlangsung. Benar, Ons Untoro salah satu inisiator Sastra Bulan Purnama dan gigih setia mengelola Rumah Budaya Tembi di Yogyakarta.

Banyak buku kesaksian yang diterbitkan oleh berbagai komunitas, lembaga, bahkan atas nama departemen yang terkait dengan kementerian bertema Corona. Tak ada yang hendak luput dengan alasan apa pun, apaagi ketidakpedulian. Pasti jauh lebih banyak yang secara tunggal ingin mengukir jejak kepenulisannya dengan fokus mengangkat topik Covid-19. Saya sendiri mengalami, mula-mula diminta menjadi juri lomba cerpen dengan tema “Preman dan Corona” bersama Damhuri Muhammad dan Yetti A.KA (diselenggarakan Aris Nugraha Praya) melalui Melvi Yendra,  dilanjutkan dengan undangan sejumlah kawan untuk menulis: puisi, esai, catatan pengalaman … setidaknya sekitar 8 buku dengan karakter masing-masing. Esai saya—yang relatif dibuat serius—dihimpun oleh Satupena (dengan 110 penulis) dan Labrak.co (sebuah media online di Lampung) melalui Udo Z Karzi. 

Mengapa saya ingin berbagi ulasan atas novelet “Penyair di Tengah Pandemi”? Sebab penulisnya, Ons Untoro, tidak berupaya berdakwah, mengajukan plot dan gagasan yang rumit, atau sok-sokan bersastra. Justru (atau bahkan) karya ini semacam buku harian selama satu setengah tahun yang dikemas dengan sederhana apa adanya. Sesekali melompat jauh ke belakang demi menjelaskan siapa para tokohnya dalam hubungan persahabatan dengan sang penulis. “Penyair di Tengah Pandemi” menjadi teman leyeh-leyeh mengenang perjalanan kehidupan kepenyairan sepanjang pandemi (yang semoga hanya 2 tahun saja) ini. 

Bimo Wisanggeni—yang saya duga kuat sebagai representasi pengarangnya, dengan menyertakan jalan kaki sore sekitaran Yogya—mengungkap seluruh kebiasaan baru sejak wabah mendera seluruh Indonesia dari satu sisi pandang, yakni Yogyakarta sebagai tempat tinggalnya. Bagaimana ia (berserta teman-teman lain) menyikapi Covid-19 diceritakan tanpa polesan diksi yang canggih. Mengalir dengan segenap “kutipan” percakapan nyata yang terjadi di antara mereka. Mblandang saja.

Saya ungkap di sini bahwa para tokoh yang bermain semua nyata, hidup, dan berkarier sebagai penyair (sesuai judul novel pendek ini). Ons tidak mengada-ada, misalnya berusaha meraih orang-orang yang di awang-awang jauh dari jangkauan. Justru dengan mencatat semua kejadian interaksi sesuai karakter para sahabatnya, cerita ini seolah-olah menjadi milik “kita” (yang terlibat) bersama. Di sana ada Dedet Setiadi, Kurniawan Junaedhie (disebut Wali Kota Negeri Poci), Adri Darmadji Woko, Handrawan Nadesul, Profesor Prijono Tjiptoherijanto, Bambang Widiatmoko, Yudhistira Massardi, Sutirman Eka Ardhana, Wanto Tirtatirta, Isbedy Stiawan Z S, dan banyak lagi. Saat mengenang masa lalu, tak luput menyebut Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi. Mengenai Bali merembet kepada Ni Putu Putri Suastini (istri Gubernur Bali) dan kiriman buku penyair Pulau Dewata lainnya seperti Wayan Jengki Sunarta, Gde Artawan, Dewa Putu Sadewa. Mengenai sahabat yang menjadi korban digigit Covid (istilah Ons) tersebutalah: Juli Nugroho, Mawardi Dedy, Bambang Iswantoro, Sugeng Wiyono, Aries Margono, Tri Wintolo. 

Ada dua sahabat Bimo yang kini berusia menjelang atau sekitar 70-an tahun dibahas dalam satu bab khusus, yakni Marjuddin dan Fauzie Absal. Kedua penyair ini dikisahkan lengkap dengan kehidupannya yang tidak makmur, tetapi tetap menulis puisi sembari terus tertawa gembira dengan ke-ndeso-an mereka. Kedua penyair ini didorong kembali menulis dan menumpulkan puisi-puisi sebelumnya sampai berhasil terbit, turut menghiasi karya di masa pandemi. Ada juga kisah lucu antara Joshua Igho dan Krishna Mihardja. Bab khusus lainnya bicara mengenai para penyair perempuan, di sana muncul nama Rinno Arna Putri (Dian Kartika Sari), Lely, Sulis (Bambang), Yanti S Sastro Prayitno, Yuliani Kumudaswari, Rini Intama, Puspita, Julia Utami, Seruni Unie, Sus (Hardjono), Ardi Susanti, dan Pipie Egbert. 

Sungguh seru. Memicu senyum. Kelak buku ini bakal menjadi klangenan. Itulah kecerdikan seorang penulis yang tak harus neko-neko. Saya kutipkan narasi dan dialog yang berhasil “menertawakan” diri sendiri:

-----------‐----------

Bimo lelah, pandemi terus melaju. Kembali ke Yogya, pandemi tak juga berkurang. Bulan Juli hampir habis, pandemi masih kuat mengitari. Pusat kota sepi, tapi dari pinggiran kendaraan masih melaju. Ada nama-nama perempuan penyair yang sering bertemu. Untuk Yogya, Bimo tak perlu menyebut nama-bama. Biarkan saja mereka terus berkarya bersama obsesinya masing-masing. Bimo malah teringat perempuan penyair yang sejak awal mengenal puisi dan menikah dengan penyair. Akhirnya malah berhenti menulis puisi. 

“Masih menulis puisi?” tanya Bimo ketika bertemu di Pasar Ngasem bersama suaminya.

Ia tersipu malu, sambil menjauh masuk pasar, belanja.

“Puisi sekilo berapa?” tanyanya sambil tangannya mengaduk-aduk beras. 

“Yang ini C-4, yang di sebelahnya rajalele,” kata penjual beras.

Bimo tertawa. Ya, tertawa saja sampai lapar. 

--------------------

Kritik saya terhadap novelet ini, Mas Indro Suprobo sebagai penyunting tidak tega mengoreksi, sehingga sejumlah aturan dalam PUEBI dilanggar. Paling terasa dalam dialog, kalimat percakapan langsung yang tidak menggunakan tanda koma atau titik sebelum tanda petik. 

Baiklah, tulisan terkait Covid-19 yang mendalam dan berpengaruh kepada segala lini kehidupan, menjadi tugas ilmuwan plus cendekiawan. Ons Untoro telah menyumbangkan hiburan yang membuat kita tidak “gila” menghadapi wabah Corona. Sebagaimana saya dan Jauza Imani menyikapi wabah dalam bentuk himpunan puisi dari mantra (“Piknikita”), saya sampaikan di Perpussip Banjarmasin pada 30 November 2021 dalam tema: “Aspek Penghiburan pada Puisi Saat Pandemi”. Kita harus survive, bertahan, menyintas, seoptimal mungkin dengan menjaga kewarasan. Terima kasih, Mas Ons Untoro. *


*) Kurnia Efendi adalah sastrawan Insonesia.

LIPSUS