Oleh, Dalem Tehang
“WAKTU itu, pak Edi digugat cerai pas sudah jalani hukuman, apa baru masuk kayak Aris gini?” tanyaku.
“Waktu itu, hukumanku tinggal tiga bulan lagi. Yang sudah ku jalani selama tiga tahun enam bulan. Tiba-tiba, surat tanah dateng ke tempatku ditahan. Ya udah, mau gimana lagi. Kenyataannya gitu. Jadi, ku tandatangani aja permohonan gugatan cerainya. Itu kasus istriku yang pertama,” ujar Edi. Suaranya tetap tenang.
“Tiga tahun enam bulan istri pak Edi bisa bertahan, pas tinggal tiga bulan lagi bebas, malah minta cerai. Aneh juga ya?” ucapku. Bergumam.
“Itulah ku bilang, hidup ini penuh dengan segala kemungkinan. Misterius. Lha siapa yang nggak kenal dengan Aris ini. Politisi hebat. Pernah jadi anggota Dewan yang terhormat. Pemborong besar. Jaringan pergaulannya sangat luas. Bahkan dia yang ngebangun kompleks rumah tahanan ini. Siapa yang nyangka, kalau akhirnya dia malah masuk ke rumah tahanan yang dia kerjain bangunannya,” Edi melanjutkan.
Mendengar pernyataan Edi yang memang selalu apa adanya, Aris hanya tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan. Menyimpan kepahitan dan kegetiran.
“Jadi kesimpulannya, segala kemungkinan itulah sebenernya yang disebut takdir ya, Kap,” kata Joko.
“Kalau aku emang mandangnya gitu, Joko. Tuhan ngasih segala kemungkinan itu sebagai wujud dari takdir buat hamba-Nya,” kata Edi lagi.
“Saran Kap buat aku apa?” Aris menyela.
“Setujui aja permohonan cerai istrimu itu. Mau apalagi? Bersyukur kamu, karena dia ajuin gugatan cerai sekarang. Coba kalau nanti-nanti, pas kamu sudah mau bebas. Bisa stres berat kamu,” kata Edi dengan entengnya.
“Tapi aku kasihan sama anak-anak, Kap,” ucap Aris. Suaranya pelan. Ada keharuan.
“Anak-anak itu sudah dijamin kehidupan dan rejekinya sama Tuhan, Ris. Nggak usah kamu khawatirin. Mereka punya kehidupannya sendiri, yang beda jauh sama kehidupan kita. Yang penting ikhlas sama takdir ini. Selesai semua urusan,” lanjut Edi.
Aku, Joko, dan Aris hanya terdiam. Pernyataan Edi memang sangat vulgar. Namun pas dan mengena. Ia singkirkan pertimbangan gejolak perasaan demi membawa kami hidup dalam realita.
Obrolan kami terhenti saat seorang petugas jaga berdiri dari balik jeruji besi.
“Lagi ngobrolin apa, kayaknya serius bener,” kata petugas itu. Dengan suara yang ramah.
“Ngalor-ngidul aja, Dan. Ngisi waktu sebelum ngantuk,” sahut Edi.
Petugas itu memberi isyarat. Edi mendekat. Mereka berbincang pelan. Tampak berkali-kali Edi menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahu.
Tidak lama kemudian, Edi bergerak. Menjauh dari jeruji besi. Membangunkan Iyos, bendahara kamar. Meminta sejumlah uang, dan diberikan pada petugas yang masih menunggu dibalik jeruji besi.
“Apalagi urusannya, Kap?” tanya Joko.
“Biasa, alasan pinjem uang buat beli rokok. Padahal dia kehabisan modal main judi online. Mau pinjem banyak tadinya, ku bilang cuma ada paling banyak Rp 30.000,” sahut Edi.
“Emang nanti dibalikin uangnya?” tanyaku. Edi menggeleng.
“Nggak ada ceritanya uang balik, Babe. Yah, anggep-anggep aja kita yang lagi susah justru tetep bisa bersedekah,” Iyos menyela. Sambil nyengir.
“Dunia ini emang kebalik-balik ya. Mestinya kita yang lagi susah gini yang dikasih, ini malah kita yang harus ngasih,” gumam Aris. Kami semua hanya tersenyum.
Masing-masing kembali ke tempatnya. Aku tidak bisa memejamkan mata. Hati dan pikiranku galau. Tak biasanya istriku tidak datang menengok aku sepulang kerja. Beragam pikiran berseliweran. Kian membuat kegalauan.
Ku lihat Aris bangun lagi. Menuju kamar mandi. Wudhu. Aku tahu, ia akan solat istikharoh. Aku pun tergerak. Wudhu juga. Solat malam. Taubat dan hajat.
Baru saja selesai wirid, ku lihat Ijal terbangun dari tidurnya.
“Mau kopi, Be,” kata dia. Sambil mengucek-ucek matanya. Aku mengangguk.
Ijal memanggil tamping. Minta air panas. Sambil terkantuk-kantuk, tamping itu membawakan air panas. Ku beri dia rokok satu batang. Imbalan atas kebaikannya.
Baru sekali seruput kopi panas buatan Ijal, terdengar suara adzan Subuh. Tak terasa, hari demi hari berganti begitu cepat.
Selepas subuhan berjamaah, aku minta tamping membuka pintu kamar. Menggerakkan badan di depan kamar dan berjalan bolak-balik di selasar atau lorong panjang depan jejeran kamar tahanan.
Seorang pria setengah baya keluar dari kamar 6. Dia juga berolahraga. Wajahnya bersih. Badannya gempal. Senyumnya bersahabat.
Aku duduk ndeprok di sudut depan kamar. Sambil melanjutkan menikmati kopi ditemani rokok. Pria itu menghampiri. Mengenalkan diri. Rusdi namanya.
“Saya perhatiin, hampir setiap hari istrinya kesini ya, pak,” kata dia. Memulai obrolan.
“Kalau pas bisa aja. Kemarin nggak dateng. Karena lagi ada kegiatan. Memangnya pak Rusdi jarang dibesuk ya,” kataku. Menanggapi.
“Kalau saya memang kasih tahu keluarga, dateng dua minggu sekali aja. Nggak usah sering-sering,” kata dia.
“Kenapa gitu?” tanyaku.
“Berat dibiaya, pak. Sekali besukan itu kan kita harus bayar kopelan Rp 20.000. Belum lagi kalau bawaan agak banyak, pasti disortir sama petugas. Kalau dihitung-hitung, lebih banyak yang diambil petugas ketimbang yang kita terima,” ucap Rusdi. Blak-blakan. Perhitungannya begitu matang.
Aku terdiam. Terbayang, selama ini istriku rutin mengirim makanan. Mulai dari sarapan hingga untuk makan malam. Berarti selama ini, setiap hari cukup banyak juga uang yang dikeluarkannya. Bukan hanya untuk membeli makanan, tetapi juga mengamankan semua kiriman bisa masuk kamar tanpa sortiran.
“Jangan lama-lama ngobrol sama Rusdi, Be. Nanti dia nawarin narkoba. Dia itu ustad narkoba,” tiba-tiba terdengar suara Joko disertai tawanya.
“Ah, kamu ini Joko. Pagi-pagi sudah memprovokasi,” sahut Rusdi. Juga sambil tertawa.
“Bukan provokasilah, Rusdi. Ngasih tahu Babe aja kalau dia lagi ngobrol sama siapa. Biar dia nggak kebawa kayak kamu,” kata Joko sambil keluar kamar dan bergabung dengan aku dan Rusdi.
“Emang sampeyan ini ustad ya?” tanyaku pada Rusdi, yang kental logat Jawa-nya.
“Guru ngaji dia ini, Be. Sering juga diundang ceramah. Tapi kerjaannya nyabu sebelum ceramah. Akhirnya ya jadi ustad narkoba gini,” kata Joko menjelaskan.
“Yang dibilang Joko itu bener. Saya sehari-hari memang guru mengaji di kampung. Suatu saat, saya kenal sama orang dan dia kasih narkoba. Sabu-sabu. Eh, keterusan. Akhirnya ketangkep,” kata Rusdi. Polos.
Ku perhatikan wajah Rusdi. Tidak sekilas pun tampak ada penyesalan disana. Tetap teduh dan enjoy.
“Jadi bener, kalau mau ceramah, sampeyan nyabu dulu?” tanyaku. Penasaran. Rusdi mengangguk sambil tersenyum.
Tiba-tiba Rusdi menunjuk seorang pemuda yang baru keluar dari kamar 8.
“Itu salah satu santri saya. Hasbi namanya. Pinternya luar biasa. Hafal qur’an juga. Nasibnya aja sial. Sudah dapet beasiswa dan tinggal berangkat ke Kairo untuk kuliah di Al-Azhar, malah kesandung masalah dan akhirnya masuk bui gini,” ucap Rusdi. Ada nada keprihatinan pada suaranya.
Hasbi melihat Rusdi yang sedang ndeprok denganku dan Joko di sudut teras kamar 10. Sel paling ujung. Anak muda itu mendekat. Sambil duduk, ia salami Rusdi dengan kedua tangannya. Penuh hormat. Juga menyalamiku dan Joko.
“Apa ceritanya kamu bisa masuk sini? Kata pak Rusdi, harusnya kamu sudah berangkat ke Kairo untuk kuliah dan dapet beasiswa?” tanyaku pada Hasbi.
Pria muda berusia 25 tahunan itu tersenyum. Sesaat. Setelahnya, wajahnya tampak muram. Ada sorot kemarahan di matanya. Kemarahan yang terpendam karenatidak berdaya melawan kenyataan.
“Belum takdirnya saya kuliah di luar negeri, mau gimana lagi, om,” kata Hasbi.
Suaranya dibuat sebegitu ringannya. Menandakan ia memiliki pengendalian jiwa yang cukup matang.
Beberapa saat, kami semua diam. Menunggu Hasbi melanjutkan pembicaraan. Namun tampaknya, anak muda itu lebih menyukai menyimpan cerita duka dan lukanya.
“Ceritain aja, nggak apa-apa, Hasbi. Ini Babe baru masuk sini tiga mingguan. Aku kan minggu depan pelimpahan, jadi ke depannya kamu masih ada tempat ngobrol, ya Babe ini,” kata Rusdi sambil memandang Hasbi yang menundukkan kepalanya.
“Mohon maaf, pak ustad. Saya malu mau cerita aib saya. Cukup yang sudah tahu saja. Nambah beban batin saya kalau makin banyak yang tahu aib saya,” kata Hasbi kemudian. Wajahnya masih menunduk.
“Ya sudah, nggak usah kamu ceritain masalahmu ya, Hasbi. Memang nggak semua kisah hidup kita sampai ada disini, perlu dikasih tahu ke setiap orang,” kataku. Memotong ketidaknyamanan Hasbi.
Rusdi dan Hasbi mengangguk. Joko meminta Ijal membuatkan kopi untuk kami.
“Aku nggak usah, kopiku masih ada,” kataku.
“Maaf, saya nggak ngopi. Air putih saja, nanti saya ambil sendiri,” ucap Hasbi.
Ijal membuatkan minuman kopi untuk Joko dan Rusdi. Belum lagi kopi yang disuguhkan diminum, seorang petugas jaga berdiri di ujung lorong. Memerintahkan kami kembali masuk ke kamar. Hasbi membawakan cangkir kopi milik Rusdi ke kamarnya. Takdhim seorang santri pada ustadnya. (bersambung)