Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI apel pagi, Gustav berdiri di depan jeruji besi. Ia memberi isyarat ke arah Edi yang kembali tidur. Asnawi membangunkan Edi.
“Sebentar lagi nambah penghuni ya. Dari kamar 7. Pepen namanya. Kasus lakalantas,” kata Gustav.
Edi menganggukkan kepalanya. Dan kembali meneruskan tidurnya.
Sesaat selesai mandi, ku lihat Adit tamping membuka pintu sel. Membawa dua kantong plastik besar.
“Kiriman dari rumah, om. Yang nganter langsung balik karena di pos lagi ada provos,” kata Adit sambil memandang ke arahku.
“O gitu. Terimakasih ya, Adit,” sahutku.
Sebenarnya, aku ingin bertemu Rayhan. Menanyakan kenapa istriku kemarin petang tidak datang. Namun kondisi tidak memungkinkan.
Ijal menerima kiriman makanan untuk sarapan dari tangan Adit. Ada sebuah buku dan pulpen di dalamnya. Sesuai yang aku pesankan.
“Bangunin semua, Jal. Kita sarapan dulu,” kataku pada Ijal. Pagi itu, kami sarapan nasi uduk kiriman istriku. Nikmat.
Tiba-tiba Adit kembali berdiri di balik jeruji. Ia menyampaikan pesan petugas yang selama ini usaha sampingan menjajakan sarapan untuk tahanan, agar kami penghuni kamar 10 membeli makanannya.
“Beli sarapan itu kan kalau belum ada, Adit. Kalau sudah ada, ya nggak beli-lah,” kata Edi. Sambil terus menikmati nasi uduk di hadapannya.
“Petugas itu bilang sudah hampir 20 hari ini kamar 10 nggak pernah lagi beli sarapan jualan dia, walau cuma sebungkus aja. Jadi hari ini wajib beli. Minimal tiga bungkus katanya. Terserah mau apa aja,” ucap Adit. Menyampaikan pesan.
“Kalau kami nggak beli terus kayak mana?” sela Aris.
Adit hanya angkat bahu dan meninggalkan kamar kami.
Baru selesai kami sarapan, seorang petugas jaga berdiri di depan kamar. Dari sela-sela jeruji ia memasukkan tiga bungkus makanan.
“Apa itu, Dan?” tanya Edi. Yang masih membersihkan mulutnya selepas sarapan.
“Nasi kuning. Cepetan bayar. Cepek aja,” kata petugas itu sambil tangannya menadah. Menunggu uang bayaran.
Tidak ada pilihan. Edi memandang Iyos. Bendahara kamar itu mengambil uang dari lipatan buku kecilnya. Edi menyerahkannya ke petugas. Yang langsung pergi setelah bayaran nasi kuning, ditangannya.
“Anggep-anggep nasi kuning ini buat syukuran aja ya, kan Joko siang nanti mau pelimpahan,” kata Edi. Ada senyum kecut dibibirnya.
Ijal memasukkan dua bungkus nasi kuning ke ember tempat menyimpan makanan. Satunya ia berikan kepada Joko.
“Kenapa dikasih ke aku, Jal?” tanya Joko.
“Buat bekal nanti pelimpahan. Kan belum tahu berapa lama di kejaksaan dan pas masuk rutan emang nggak laper,” kata Ijal.
Joko menganggukkan kepalanya. Memahami semua kemungkinan yang terjadi.
Aku terharu dengan kebersamaan yang terbangun begitu kuatnya. Lahir berkat keterpaksaan yang terkelupas untuk hidup dalam satu sel. Yang membiaskan semua status kemanusiaan sebelumnya.
Joko minta dia yang menjadi imam solat Dhuhur. Kami semua menjadi makmum dengan kekhusu’an. Karena menyadari, sebentar lagi kami akan berpisah. Sebuah siklus alamiah. Dan akan bertemu lagi di tempat berbeda, meski masih sama-sama menjadi tahanan.
Seorang petugas jaga membuka pintu sel. Menyampaikan sepucuk surat. Joko menerimanya. Surat pemberitahuan pelimpahan.
“Sudah siap,” kata penjaga itu. Joko mengangguk.
Kami semua menyalami dan berpelukan dengan Joko. Ada keharuan yang begitu mendalam. Tak terasa, air mengembang di sudut mata.
Kebersamaan yang hanya sesaat itu, ternyata, begitu dalam mengendap di relung jiwa. Kebersamaan yang berbalut senasib pada seberkas lelakon kehidupan.
“Ada yang kelupaan, Joko. Mestinya tadi aku potong pendek dulu rambutmu. Nanti mau masuk sel di rutan, semua digunduli. Dan tamping disana semaunya aja mangkasnya,” ucap Edi, tiba-tiba.
“O gitu, ya sudahlah, Kap. Mau kayak mana lagi. Yang penting bukan kepalaku aja yang dipotong,” sahut Joko. Masih sempat bercanda. Sedikit mencairkan suasana.
Joko keluar kamar sambil menenteng kantong plastik. Berisi pakaian dan alat mandi. Juga sebungkus nasi kuning sebagai bekalnya.
Kami hanya bisa memandang langkahnya lewat jeruji besi. Dan tak tampak lagi sosoknya saat berbelok ke arah pos penjagaan.
Baru saja Aris menaruhkan barangnya di sampingku menggantikan tempat Joko, pintu sel kembali dibuka. Gustav yang datang disertai seorang pria berusia sekitar 35 tahunan.
“Ini Pepen yang masuk sini. Silakan diatur tempatnya,” kata Gustav sambil memandang Edi yang tengah membuka-buka buku teka-teki silangnya.
“Di bagian paling ujung sana ya kamu,” kata Edi.
Menunjuk tempat paling sudut di bagian bawah dekat ember-ember. Hanya beberapa meter dari kamar mandi yang tidak berpintu.
Pepen menuju tempat yang ditunjuk Edi. Ditaruh tas kecil bawaannya. Kemudian ia bergerak, untuk menyalami kami satu-persatu, sambil memperkenalkan dirinya.
“Nanti dulu salam-salaman itu. Disini ada tradisi sendiri buat yang baru masuk, nggak peduli sudah lama ada di kompleks tahanan ini,” kata Edi, tiba-tiba.
Pepen menghentikan langkahnya. Dia berdiri. Mematung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Ijal memberi isyarat agar Pepen duduk di tempat yang sudah ditentukan Edi.
Kami semua diam. Menunggu apa perintah Edi si kepala kamar selanjutnya. Namun, Edi tampak mulai asyik mengisi teka-teki silang. Hobi yang acapkali membuatnya tidak peduli dengan lingkungannya.
Tanpa diberitahu, kami semua seakan begitu saja memahami. Mendapatkan secercah kebahagiaan di dalam sel sangatlah sulit. Itu sebabnya, saat ada yang tengah happy dengan kegiatannya, tidak ada yang mau mengganggu.
Seperti Tomy dan Irfan yang hobi bermain catur hingga berjam-jam lamanya. Mulut mereka hanya diam, namun otak yang bergerak. Tanpa suara tapi terus mengasah otak untuk menjaga keseimbangan dan kesadaran sisi kemanusiaannya.
Arya yang punya kegiatan membuat kerajinan tangan dari serpihan bungkus rokok, tampak sangat bahagia ketika apa yang diimpikannya terwujud. Hingga terkadang tanpa sadar ia berteriak. Kegirangan. Yang mengagetkan sekitar.
Siang itu, sorot mentari amat menyengat. Ditambah tidak ada sedikit pun angin yang semilir. Membuat lantai sel ikut menjadi hangat.
Semua penghuni kamar tidak ada yang memakai baju. Bertelanjang dada. Itu pun keringat masih bercucuran.
Ku paksa menaruhkan badan. Lantai yang hangat akibat sengatan mentari dari luar kamar, membuat kurang nyaman. Tapi tidak mengalahkan kegalauan hati karena memikirkan istriku yang tidak ada kabarnya.
Tanpa terasa, aku terlelap dalam tidur. Sampai tiba-tiba pintu sel digedor dengan kencangnya.
“Aris mana. Keluar sekarang. Ada yang mau ketemu,” suara nyaring terdengar bersamaan dengan dibukanya pintu kamar sel.
Aris menaruhkan buku berisi doa-doa dan tatacara solat sunah yang sedang dibacanya. Ia bangun dan beranjak menuju pintu sambil memakai kaosnya. Langkahnya gontai. Seakan tidak bertulang lagi tubuh gagahnya itu.
Aku kembali mencoba memejamkan mata. Meski pikiran terus melayang. Mencari sosok istriku, Laksmi. Mencoba menemukan jawaban atas ketidakdatangannya kemarin petang.
“Babe, tolong temeni aku,” sebuah suara menyapaku. Suara Aris. Aku membuka mata. Aris berdiri di depan jeruji besi.
“Memangnya ada apa?” tanyaku sambil mendekat ke jeruji besi.
“Yang dateng itu pengacara istriku. Dia minta aku tandatangan persetujuan gugat cerai itu. Kayak manalah ini,” ucap Aris. Suaranya penuh kegalauan. Bingung.
“Bilang aja kamu minta waktu dulu. Barang dua tiga hari. Biar mereka nanti dateng lagi. Sama apa kamu mau minta yang lain,” kataku. Mencoba memberi saran, meski dadakan.
“Maksudnya aku minta yang lain itu apa, Be?” sela Aris. Sesaat aku berpikir.
“Minta anak-anakmu ketemu dulu sama kamu kali, Ris. Jadi sebelum kamu tandatangan, ada juga persetujuan dari anak-anakmu,” ucapku kemudian.
“Nggak mungkin boleh anak-anak ketemu aku, Be. Mereka bener-bener dijauhin dari aku sekarang ini. Tolonglah Babe keluar dulu, temeni aku bilang ke pengacara istriku itu,” kata Aris lagi. Penuh pengharapan.
“Gimana mau keluar kalau pintunya dikunci? Kalau aku bisa keluar kondisi kayak gini, heboh nanti penjara ini,” ujarku, berseloroh. (bersambung)