Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 34)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 03 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


ARIS memanggil tamping. Meminta pintu kamar 10 dibuka. Baru kemudian aku keluar. Kami jalan menuju pos penjagaan. Beriringan.


Sesampai di pos penjagaan, ku lihat dua pria berpenampilan perlente dan berdasi, tengah berbincang dengan petugas jaga tahanan. Saat melihat kami datang, kedua pria itu mendekat ke jeruji besi tempat kami berdiri.


“Jadi bagaimana, pak Aris? Apa bisa sekarang tandatangan?” tanya salah satu dari pria itu.


Aris menengok ke arahku berdiri. Aku paham maksudnya.


“Mohon maaf, apa benar anda berdua ini pengacara istri sahabat saya Aris?” tanyaku. Mereka mengangguk. 


“Bisa melihat surat kuasanya?” tanyaku lagi. 


Salah satu diantara mereka membuka tas. Mengeluarkan map warna biru. Menunjukkan selembar surat kuasa. Aku tunjukkan surat kuasa itu pada Aris. Setelah selintas membacanya, ia menganggukkan kepala.


“Jadi begini. Pak Aris masih membutuhkan waktu dua atau tiga hari ke depan untuk memutuskan menyetujui atau tidak ajuan permohonan gugat cerai ini. Nah, bersamaan dengan itu, pak Aris ingin bertemu anak-anaknya lebih dulu,” kataku kemudian. Sambil menyerahkan kembali surat kuasa ke tangan pengacara istri Aris.


Nggak bisa begitu, pak. Anak-anak pak Aris nggak mau ketemu lagi dengan bapaknya. Lagian, disetujui atau tidak, gugatan ini tetap akan kami sampaikan ke Pengadilan Agama,” ucap salah satu pengacara itu. Ada nada mengancam dalam suaranya. 


“Mohon maaf. Jangan terburu-buru mengklaim anak-anak pak Aris nggak mau ketemu lagi dengan bapaknya. Coba ditanya dulu anak-anaknya dengan baik-baik. Dan kalau memang menurut anda disetujui atau tidak, surat permohonan gugat cerai ini tetap akan dilanjutkan ke Pengadilan Agama, buat apa susah-susah mencari pak Aris?” kataku, agak meninggi.


Kedua pengacara itu terdiam. Aku tahu, mereka mencoba beradu mental dengan kami. 


“Apa pendapat anda ini disetujui pak Aris?” tiba-tiba salah satu pengacara bertanya. Menohok. 


Ku tengok Aris yang sejak tadi hanya menunduk. Menempelkan kepalanya di jeruji besi. 


“Iya, apa yang dia katakan itu mewakili saya. Dia pengacara saya di penjara ini,” kata Aris. Dengan tegas. 


“Oke kalau begitu. Nanti kami bicarakan dengan klien soal permintaan pak Aris. Dua atau tiga hari lagi kami kemari,” ujar salah satu pengacara itu. 


Mereka kemudian berpamitan dengan menyalami Aris. Namun tidak menyalamiku. 


Sambil berjalan beriringan kembali menuju sel, Aris menepuk-nepuk bahuku.


“Untung ada kamu, Be. Aku bener-bener sudah nggak bisa mikir tadi,” kata Aris.


“Itu lumrah aja, Ris. Sehebat-hebatnya tukang cukur, nggak bakal bisa nyukur rambutnya sendiri. Kan gitu fatsunnya. Maka hidup ini perlu sahabat, buat saling melengkapi,” sahutku sambil tersenyum.  


“Jadi kayak mana? Sudah tandatangan, Ris?” tanya Edi, begitu kami masuk kamar.


“Belum, Kap. Aku minta ketemu anak-anak dulu. Dua atau tiga hari lagi mereka kemari,” jelas Aris. Apa adanya.


“Itu namanya manjang-manjangin tali kolor, Ris. Kalau perempuan sudah nggak mau lagi alias pengen pisah, lepasin aja. Ngapain kamu tahan-tahan,” sambung Edi. Masih dengan matanya terfokus pada buku teka-teki silangnya.


“Bukan nahan-nahan, Kap. Biar aku bisa ngobrol dulu sama anak-anak. Mereka perlu tahu sikapku soal ini sebelum ku tandatangan surat itu. Mau kayak mana juga hidup ini, nggak ada namanya bekas anak, kalau istri, iya jadi mantan,” kata Aris lagi.


“Sepakat aku kalau alasanmu itu, Ris. Ya sudah, nanti malem lanjutin aja istikharohmu itu. Tapi jangan minta istrimu berubah pikiran ya, minta aja anak-anakmu lebih kuat dan tetep tegar ke depannya,” ucap Edi.


“Kenapa nggak boleh minta istri Aris berubah pikiran, Kap? Kan yang ngebolak-balikin hati kita semua itu Allah,” tiba-tiba Asnawi buka suara.     


“Bukan gitu maksudnya, Asnawi. Kalian perlu tahu ya, kalau perempuan sudah minta cerai, berarti dia sudah mantep dengan keputusannya. Jarang yang akhirnya berubah. Ya emang bener sih, Allah yang bisa ngerubah semuanya. Tapi nurut aku, saat ini lebih penting doain anak-anak ketimbang istri yang sudah minta cerai,” ucap Edi lagi. 


“Emang nurut Kap, istriku nggak bakal berubah lagi sikapnya?” tanya Aris. Edi menggelengkan kepalanya. Penuh keyakinan. 


“Kok Kap seyakin itu, apa alasannya?” lanjut Aris. Penasaran.


“Sederhana aja sebenernya, Ris. Dia ngegugat cerai karena apa? Karena kamu bermasalah hukum dan masuk penjara kan? Karena kamu sekarang dianggep malu-maluin keluarga kan? Jadi intinya, istrimu itu nggak bisa terima kenyataan yang ada ini. Kalau sudah kayak gitu, nggak bakal dia ngerubah sikapnya. Aku yakin seribu persen soal ini,” ujar Edi dengan menggebu-gebu. 


Aris menundukkan kepalanya. Sesekali kepalanya menggeleng. Seakan masih tidak percaya dengan kenyataan yang tengah dihadapinya. 


Di saat ia terkungkung semacam ini. Hidup dalam keterbatasan dan penuh segala kemungkinan yang tidak mengenakkan. Tercerabut dari sekadar bernafas dalam kenyamanan. Kini ia akan begitu saja dihempaskan. Seakan tiada makna cerita indah yang pernah terajut berbelas tahun sebelumnya.


Adzan Ashar menggema dari masjid di samping mapolres. Aku bergegas ke kamar mandi. Wudhu. Aris dan kawan-kawan yang lain pun mengikuti. Selepas mengimami, aku buru-buru mandi. 


Aku yakin, istriku akan datang. Aku terus berdoa untuk dia. Bagi kesehatannya, ketegarannya, keselamatannya, banyak berkah rejekinya, dan tetap istiqomah dalam menjalani kehidupan sesuai takdir-Nya. 


Dan benar saja. Berbelas menit kemudian, Adit tamping membuka pintu sel sambil tersenyum ke arahku. Spontan aku berdiri dan bergegas keluar kamar. Berjalan cepat menuju pos penjagaan.


Istriku tersenyum sumringah. Alhamdulillah. Ku ciumi dia dari balik jeruji besi. Ku peluk. Ku elus punggungnya. Ia terus tersenyum.


“Maaf kemarin bunda nggak besuk. Ndadak sakit perut. Melilit gitu. Jadi langsung pulang. Kirain malemnya ayah mau telepon, rupanya nggak. Sampai bunda nggak setiduran nungguin telepon ayah,” ucap istriku.


“Sekarang sudah enakan perutnya?” tanyaku. Penuh rasa was-was.


“Alhamdulillah sudah enakan. Lambungnya naik aja kali ya. Kebanyakan pikiran dan perasaan nggak tenang,” kata istriku, Laksmi. Ia terus mencoba mengurai senyum manisnya. Menyamankan hatiku.


“Ayah sebenernya pengen bener telepon, cuma pak Aris lagi ada masalah. Mau pinjem hp rasanya nggak enak aja,” ujarku.   


“Emang ada masalah apa sama pak Aris? Ketahuan petugas lagi telepon ya?” tanya istriku.


“Istrinya ngegugat cerai!” sahutku. Pendek. 


“Astaghfirullah. Yang bener? Suami lagi di penjara gini malah ngegugat cerai?” ucap istriku dengan mulut ternganga. Tidak menduga. 


Aku mengangguk. Ku ceritakan, tadi pengacara istri Aris datang dan juga sikap Aris.


“Masyaallah, alangkah berat ujiannya pak Aris ya, ayah. Inshaallah kita tetep diberi kekuatan lahir batin ya. Emang berat bener ujian ini, tapi kita harus yakin Allah nggak akan kasih ujian di atas kemampuan kita ngadepinnya,” kata istriku lagi. Bersemangat. Menyemangatiku, juga dirinya.


Istriku, Laksmi, menyampaikan, besok petang selama tiga hari ia bersama beberapa kawannya mendapat tugas kantor ke luar kota. Ia tunjukkan surat perintah tugasnya. 


“Tapi, kalau ayah nggak izinin, ya nggak apa-apa, tinggal bunda sampein besok pagi ke kepala dinas. Bunda nggak apa-apa nggak berangkat kalau ayah keberatan,” kata istriku dengan sungguh-sungguh. 


Nggak apa-apa. Itu tugas kantor. Bunda harus tetep jalan. Dalam situasi apapun, kita harus profesional jalani tugas pekerjaan. Ayah izinin bunda berangkat. Doa ayah selalu dampingi bunda dimanapun, yang penting tetep tenang dan jangan tinggal solat,” ujarku dengan serius.


Ku peluk istriku. Aku tahu persis, sesungguhnya ia sangat berat menjalankan tugas dinas luar kantornya kali ini. Karena posisiku tengah di dalam penjara. 


Namun aku juga tahu, betapapun juga, aku harus tetap mendukung karier istriku. Yang ia tapaki dari tangga paling bawah dengan tertatih-tatih sejak belasan tahun silam. Yang akan menjadi amat naif jika terpotong hanya karena statusku saat ini. (bersambung)


LIPSUS