Oleh, Dalem Tehang
SEBELUM pamitan, istriku memberi sejumlah uang. Juga bawaannya dalam tiga kantong plastik besar.
“Yang dua kantong plastik itu untuk makan malem. Sate sama gule. Yang satu kantong lagi khusus buat stok ayah. Ada bubur instan, mie instan. Telor asin dan abon. Juga sikat gigi dan odol. Dan alat-alat mandi lainnya. Plus minyak kayu putih dan rokok,” terang istriku.
Ia tahu persis bagaimana menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan karena ia akan pergi beberapa hari untuk tugas kantor di luar kota.
Dan aku yakini, ia juga sudah menyiapkan berbagai kebutuhan harian anak-anak di rumah. Kebiasaan yang sudah ia lakukan selama ini.
Atas izin penjaga, ku bawa terlebih dahulu barang-barang bawaan istriku ke kamar. Sambil ku ambil baju kotor untuk dibawa pulang. Dicuci di rumah.
“O iya, ngomong-ngomong, setiap kali bunda dateng atau anter makanan, kasih uang kopelan juga ya?” tanyaku. Istriku hanya tersenyum.
“Banyak bener keluar uang dong selama ini?” ucapku lagi. Makin merasa bersalah. Terus menjadi beban.
“Ada aja rejekinya, Allah yang ngasih semuanya. Kan emang rejeki itu harus berbagi. Tapi, bunda nggak pernah kasih uang, cuma bawain makanan aja buat petugas. Kan lumrah aja, toh kita saling membantu dan menghargai,” kata istriku. Juga sambil tersenyum.
“Tapi nambah ngerepotin bunda aja jadinya,” ucapku menyela.
“Ayah jangan beratin ya. Yang penting jaga kesehatan, tetep nrimo ing takdir, dan terus berdoa untuk kita sekeluarga,” kata istriku. Tetap dengan tersenyum. Terus berusaha menyejukkan hatiku.
Ku cium istriku. Sambil ku peluk tubuhnya dari balik jeruji besi. Dia elus-elus kepalaku. Haru benar rasa hatiku. Sentuhan ketulusan itu merayapi sekujur tubuhku. Menggetarkan kalbu. Menebar ketenangan.
“Inshaallah, besok sebelum berangkat, bunda kesini dulu. Pamit ayah,” kata istriku, sebelum keluar dari pos penjagaan. Tepat saat kumandang adzan Maghrib menggema.
Selepas apel malam, dan Isyaan berjamaah, semua penghuni kamar 10 makan bersama. Menikmati sate dan gule yang dibawa istriku petang tadi.
“Alhamdulillah, ada aja rejeki kita. Sampein terimakasih kami semua buat istrinya ya, Be. Inshaallah rejeki istri Babe terus mengalir,” kata Edi yang begitu semangat memakan sate kambing.
Aku sahuti perkataan Edi dengan menganggukkan kepala seraya menadahkan tangan. Mengaminkan.
Ijal dan Tomy memakan nasi kuning yang dibeli dari petugas dengan terpaksa, pagi tadi. Meski begitu, mereka juga mendapat bagian sate kambing dan gule kambingnya.
Tiba-tiba Deni tamping berdiri di balik jeruji besi. Ia memberi isyarat pada Ijal. Meminta satu tusuk sate. Aku mengangguk. Ijal bergerak. Memberi apa yang diinginkan Deni.
“Alangkah lama kepengen makan sate. Alhamdulillah, malem ini kesampaian mauku,” kata Deni sambil menggigit sate ditangannya. Kami semua tersenyum melihat tingkah tamping berusia 20-an tahun itu.
Setelah Ijal merapihkan piring dan bungkus bekas makanan, dibantu Tomy, Irfan, dan Arya membersihkan lantai dengan menyapu dan mengepel, Edi meminta semua penghuni sel duduk ditempat masing-masing.
Ia menjelaskan pada Pepen sebagai penghuni baru, akan adanya tradisi di kamar 10. Memperkenalkan diri, memberi tanda persahabatan dengan tiga bungkus rokok, dan membayar uang bulanan Rp 600.000.
“Silahkan kamu ngenalin diri,” kata Edi kemudian, sambil memandang Pepen yang duduk di sudut kamar.
Pria berbadan kerempeng itu berdiri. Kelihatan ia sangat gugup. Berkali-kali ia menggigit-gigit bibirnya. Mencoba menenangkan diri.
“Santai aja, Pen. Nggak bakal digebukin disini mah,” kata Doni, melihat Pepen yang tampak sangat gugup.
“Selamat malam semuanya. Nama saya Pepen. Saya kena kasus lakalantas,” ujar dia setelah berhasil menenangkan dirinya.
“Kamu non muslim?” tanya Aris. Pepen mengangguk.
“Oke, lanjut. Gimana dengan ketentuan di kamar ini, kamu siap nggak,” sela Edi.
“Kalau untuk rokok tiga bungkus sebagai tanda persahabatan, saya siap. Tapi kalau bulanan itu, terus terang berat. Bagaimana kalau saya bayar setengahnya saja,” kata Pepen.
“Beratnya kenapa?” tanya Iyos. Menyela.
“Karena saya baru keluar uang di kamar sebelumnya, di kamar 7. Saya bayar Rp 500.000, baru minggu kemarin. Jujur, saya dari keluarga tidak mampu. Jadi terus terang, tidak sanggup kalau harus membayar sebesar ketentuan disini,” ucap Pepen dengan suara memelas.
Tanpa dikomando, kami memandang bersamaan ke arah Edi. Yang tengah asyik menikmati rokok selepas makan malam sambil menyandarkan badannya ke pintu kamar.
Cukup lama suasana kamar menjadi hening. Pepen masih berdiri di tempatnya. Menunggu tanggapan atas pernyataannya.
“Jadi gimana, Kap?” tanya Aris, memecah keheningan.
Edi menengokkan wajahnya. Melihat ke arah kami satu-persatu. Seakan meminta pendapat. Namun kami semua hanya diam.
Dalam kehidupan penjara, keputusan kepala kamar adalah final. Bila pun ia meminta pendapat, sekadar untuk menjaga unsur kemanusiaan semata. Menghindari penjajahan atas sesama, yang senasib setikar seketiduran.
“Jadi begini, Pepen. Kalau ngikutin mau kamu dan atas pengakuanmu sebagai orang kurang mampu, sebenernya kita semua ini juga bukan orang mampu. Yang kaya di kamar ini cuma pak Aris aja. Prinsipnya, tetep kamu harus bayar sesuai ketentuan. Tapi aku beri dispensasi, boleh dicicil tiga kali. Ini keputusan dan nggak boleh didebat,” kata Edi setelah berdiam cukup lama.
Wajah Pepen tampak terkejut. Memucat. Tampaknya, ia tidak menyangka permohonannya ditolak. Meski ada pelunakan, bisa dicicil tiga kali.
“Maaf, Kap. Kalau bisa, saya cicilnya enam kali,” ucap Pepen, menawar. Dengan suara tersendat.
“Aku sudah bilang keputusan ini nggak boleh didebat. Kamu malah nawar. Ya kalau nggak mau, nggak apa-apa. Aku sampein ke penjaga kalau kamu nggak bisa ikut aturan kamar. Biar penjaga yang ambilalih,” kata Edi dengan cueknya.
Spontan Pepen menangis. Ia mendekat ke Edi. Bersujud, memegang kaki Edi.
“Apa-apaan kamu. Aku ini manusia, jangan kamu sembah. Balik ke tempatmu dengan jalan sendiri atau aku lemparin kamu sampai ke tempatmu,” sergah Edi, kali ini dengan nada tinggi.
Buru-buru Pepen berdiri. Setengah berlari, ia kembali ke tempatnya. Direbahkan tubuhnya. Ia masih menangis.
“Besok pagi, aku pindahin kamu ke kamar 8 atau 9. Asal kamu tahu, di kamar itu selama ini mereka cuma makan nasi cadong. Sehari semalam cuma makan sekali. Minumnya juga air keran aja. Nggak bisa beli air galon. Karena yang ada di kamar itu pada keukeuh, nggak mau sokongan buat biaya kamar kayak disini,” ucap Edi sambil menatap Pepen.
“Maaf, Kap. Saya ikut keputusannya. Jangan pindahin ke kamar 8 atau 9. Nggak kuat saya kalau masuk sana,” kata Pepen sambil berdiri. Menatap Edi. Penuh harapan.
Kami semua menarik nafas lega. Acapkali, perbedaan pandangan yang sebenarnya tidak prinsip, memicu lahirnya percikan menjurus ke pertikaian yang tidak perlu.
“Emang bener di kamar 8 dan 9 makannya cuma nasi cadong dan minumnya air dari keran, Kap?” tanya Tomy, setelah suasana kembali membaik.
“Ya benerlah, Tom. Ngapain juga aku bohong. Itu si Pepen aja tahu. Makanya dia nggak mau dipindahin kesana,” sahut Edi.
“Kok bisa gitu ya, Kap?” kataku, menyela.
“Ya itulah, Be. Tahanan yang baru masuk kan nganggep uang bayaran kamar itu buat kepala kamar. Padahal nggak gitu. Di penjara ini banyak bener yang mesti ditangani. Mulai air minum aja, kita wajib beli air galon lewat petugas. Harganya Rp 20.000 per-galon, yang diluaran cuma Rp 7.500. Emang mahal, tapi kan lebih steril dan sehat ketimbang minum air keran. Belum lagi biaya lain-lain, yang Babe juga sudah tahu gimana peliknya,” urai Edi.
“Herannya kok mereka bisa tahan ya jalani hari-hari kayak gitu,” kataku. Bergumam.
“Karena semua yang di kamar itu nggak mau nyatu, Be. Ego dan sikap sok jago sendiri yang dimajuin, jadi nggak ada kebersamaan. Akibatnya, mereka susah sendiri. Lihat aja, kalau pas ngangin, kamar 8 dan 9 kan tetep di-keong. Kenapa? Ya karena mereka nggak bisa bayar uang ngangin,” sambung Edi.
“Jangan-jangan kebanyakan mereka yang di kamar itu emang orang nggak punya kali, Kap,” ucap Doni. Menimbrung.
“Kamu perlu tahu ya, Doni. Kalau sudah masuk penjara itu jangan bilang orang nggak punya. Nggak ada gunanya itu. Walau kamu teriak seribu kali sekalipun. Disini, biaya hidup itu dua sampai tiga kali lebih besar dibanding kita di luar. Kalau nggak bisa ikuti irama, ya susahlah itu. Masih bagus nasibnya kalau diterima jadi OD kayak Ijal ini. Maka dia mati-matian nangani semua tugasnya, biar tetep jadi OD. Karena dia sadar, nggak bakal bisa ikuti irama disini kalau dipecat jadi OD,” kata Edi lagi.
Kami semua termangu. Semakin terbuka pandangan dan pengetahuan akan lingkungan kompleks rumah tahanan ini. Begitu banyak warna kehidupan yang tidak pernah terbayangkan, ternyata menjadi kenyataan. (bersambung)