Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 36)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 05 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


MAKA kalian itu bergaul. Gabunglah sama kawan-kawan dari sel lain kalau pas ngangin atau pintu kamar dibuka. Jangan nguplek aja di kamar. Terutama kamu itu, Reza. Coba sesekali keluar. Badanmu sudah kuning gitu, kurang sinar matahari,” ucap Edi, menasihati. 


Reza menganggukkan kepalanya. Pria setengah baya ini memang sangat pendiam. Hampir tidak pernah bicara, apalagi berkomentar. 


“Aku perhatiin, kamu ini lebih banyak ngelamun ketimbang ngobrol sama kawan sekamar. Emang apa yang jadi lamunanmu?” Edi melanjutkan sambil menatap Reza.


Seulas Reza tersenyum. Kemudian ia menggaruk-garuk kepalanya, dan tersenyum lagi. 


“Nah, jangan-jangan gila kamu ini, Reza. Ditanya bukannya jawab malah senyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Kami ini prihatin sama nasib kamu. Tapi kayaknya, kamu nggak peduli sama badanmu sendiri, apalagi sekeliling,” ucap Edi.


Reza mendadak tertawa. Ngakak. Kami semua terhenyak. Tiba-tiba, ada kekhawatiran jika sopir ekspedisi yang mengalami kecelakaan tunggal ini, mengalami gangguan kejiwaan. 


Edi memandang tajam ke arah Reza. Yang masih tertawa dan menggaruk-garuk kepalanya. 


Irfan dan Ijal yang posisi tempat tidurnya berdekatan dengan Reza, beringsut menjauh. Pun Tomy dan Pepen. Mereka semua naik ke lantai atas. Berdesakan. 


“Ada yang nggak beres kayaknya dia ini,” ucap Edi. Pelan. Matanya terus memandang Reza.


Doni dan Asnawi mengangguk. Iyos bangun dari tempatnya. Mendekati Reza. Menepuk bahunya. 


Tak dinyana, kedua tangan Reza bergerak cepat. Mencekik leher Iyos. Spontan kami semua bergerak. Menarik tangan Reza dari leher Iyos. 


Kencang sekali cekikannya. Iyos megap-megap. Aris menarik tangan Reza kencang-kencang. Membetotnya. Namun tangan Reza mendadak mengibas. Menghantam wajahnya. 


Aris terpental. Kepalanya benjol, akibat benturan dengan tembok. Doni dan Asnawi memegang badan Iyos. Menariknya. Namun tetap tidak bisa. Kencang sekali cekikan Reza.


Tiba-tiba Ijal memukul tengkuk Reza dengan sapu lidi yang diambil dari sudut kamar mandi. Sontak Reza lemas.


Badannya menyandar ke tembok. Cekikan kencang ke leher Iyos pun terlepas. Iyos berlari. Menjauh dari Reza.


Edi dan aku mendekati Reza. Tiba-tiba, matanya membelalak. Merah. Kami menghentikan langkah. Takut.


“Kalian ini seenaknya aja tinggal disini. Pakailah sopan santun. Kulo nuwun. Aku sudah puluhan tahun tinggal disini kok nggak dihargai,” tiba-tiba Reza bicara. Suaranya melengking. Suara seorang wanita.


Kami semua terdiam. Dan dengan gerakan perlahan, kami bergeser, menjauh dari posisi Reza. Berkerumun di sudut dekat pintu. Penuh dengan ketakutan. 


Edi memberi isyarat padaku untuk berdialog dengan Reza. Atau makhluk astral yang ada di badannya.


“Mohon maaf, kamu ini siapa?” kataku kemudian. Dengan suara tercekat. Memberanikan diri. Dadaku berdetak kencang. Diliputi ketakutan.


Reza memandang ke arahku. Matanya yang memerah seakan menyimpan amarah. 


“Aku penghuni disini. Kalian nggak punya tatakrama. Seenaknya semua. Ku lempar keluar kamar ini nanti kalian semua,” kata Reza, masih dengan suara seorang wanita. Melengking.


“Maafkan kami. Kami nggak tahu kalau kamu penghuni disini. Mohon jangan ganggu kami,” kataku lagi. Dengan terus membaca ayat-ayat suci Alqur’an yang ku hafal.


“Kalian juga jangan ganggu aku kalau begitu. Aku terganggu kalau ada tusuk sate disini,” kata makhluk astral itu lewat mulut Reza. 


Buru-buru aku suruh Ijal membuang bekas tusuk sate yang ada di dalam kantong plastik tempat sampah. Yang masih tergeletak di sudut kamar.


Dengan gerak cepat penuh ketakutan, Ijal melemparkan kantong sampah ke luar kamar lewat sela-sela jeruji besi. Bekas tusuk sate dari kami makan malam itu, berhamburan di lorong depan kamar. 


“Itu tusuk satenya sudah dibuang. Tolong pergi dari jasad kawan kami ini,” kataku lagi. 


Reza memandang sekeliling kamar. Matanya masih merah membara. Edi mendekat. Memegang telapak tangan Reza. Menyalaminya. 


Kami hanya bisa melihat apa yang dilakukan Edi. Namun tidak paham apa maksudnya. Sampai kemudian, kepala kamar itu menarik tangannya dengan tiba-tiba. Dan jatuh pingsan. 


Doni, Asnawi, dan Aris buru-buru membopong Edi. Menaruhkan di tempat tidurnya. Ijal memberi minum. Saat bersamaan, Reza mengaduh. Badannya menggelosor di lantai. Lemas.


Kami semua kebingungan. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aris memintaku meluruskan badan Reza. Menaruh di tempatnya. Berat sekali badan dia. 


“Astaghfirullah. Apa semua ini, Ris?” tanyaku setelah mengangkat badan Reza. Aris mengangkat bahu. Tidak paham juga.


“Alhamdulilah. Aku sudah nggak apa-apa. Reza gimana,” tiba-tiba Edi bangun dari tempatnya direbahkan. 


Melihat Reza tertidur, Edi menganggukkan kepalanya. Tidak ada ekspresi di wajahnya. 


“Sudah nggak ada apa-apa. Alhamdulillah nggak ada korban,” kata Edi lagi.


Meski suasana sudah kembali normal, hawa ketakutan masih menyelimuti kami semua. Wajah-wajah tegang tidak bisa ditutupi. Bahkan Tomy menggigil badannya. Saking takutnya.


“Ampun aku kalau berurusan sama yang ghaib gini. Enakan berantem atau dikeroyok sama-sama manusia,” kata Doni. 


“Siapa ya perempuan yang masuk ke badan Reza tadi, kenapa baru sekarang. Kan waktu itu kita juga pernah makan sate kiriman istri Babe, tapi nggak ada kejadian kayak gini,” ucap Asnawi.  


Kami semua memandang ke arah Edi. Bagi penghuni sel, seorang kepala kamar dianggap mengetahui semua hal dan bisa menyelesaikan semua masalah. 


Edi hanya tersenyum. Sesekali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia hidupkan sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam. Perlahan tampak mulutnya komat-kamit. Ada yang dibacanya. Entah apa.


“Kap tahu ya soal perempuan misterius itu?” tanya Aris. Mengejutkan Edi yang tengah asyik dengan ritualnya.


“Nanti aku ceritain. Kita tunggu Reza pulih dulu. Bangunin dia, Jal. Kasih minum dan rokok,” kata Edi, beberapa saat kemudian. 


Ijal bergegas mengambil segelas air minum. Dibangunkannya Reza yang masih tertidur. Goncangan kuat, akhirnya membangunkan sopir truk ekspedisi itu.


Reza duduk. Menyandarkan badannya di tembok. Matanya memandang sekeliling. Mengamati kami satu-persatu.


“Kenapa kok pada ngeliatin aku ya? Emang ada yang aneh,” kata Reza. Sambil matanya terus memandang kami semua. 


Dengan kompak kami mengangkat bahu. Aku beri Ijal rokok satu batang untuk diserahkan pada Reza. 


Laki-laki pendiam itu tersenyum saat menyedot dengan cepat rokok ditangannya. Klepas-klepus.


“Bukan dulu, ini ada apa? Kok pada ngeliatin aku kayak gini?” tanya Reza lagi. 


Ada perasaan jengah. Matanya memandang Edi. Meminta penjelasan.


“Kamu itu baru kesurupan, Reza. Makanya jangan banyak ngelamun. Jangan bengong aja. Jaga pikiran dan perasaan. Tetep kendaliin diri,” ujar Edi menjawab pertanyaan Reza.


Reza mengernyitkan dahinya. Tampak ada kebingungan dari ekspresi wajahnya. 


“Kesurupan kayak mana, Kap? Jangan buat-buat ceritalah,” tanggap Reza. 


“Ya kesurupan. Kamu tahu kan kesurupan itu apa? Tadi ada makhluk ghaib yang masuk ke badan kamu, karena kamu kebanyakan ngelamun. Kosong pikiran dan jiwamu,” Edi menjelaskan.  


“Emang bener gitu ya?” sela Reza. 


Ia memandangi kami satu-persatu. Meminta penjelasan yang meyakinkannya. Kami semua menganggukkan kepala.


“Subhanallah. Maaf ya kawan-kawan kalau aku jadi kayak gini,” kata Reza. Sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. Meminta maaf.


“Ya sudah, nggak apa-apa. Bukan salah kamu sepenuhnya kok. Salah kita semua,” ujar Edi. Menyahuti dengan bijak rasa bersalah Reza.


“Kok salah kita semua, Kap? Kan Reza biang masalahnya,” tukas Doni. Dengan wajah bersungut.  


“Reza itu cuma ketumpangan aja. Kita semua selama ini yang salah. Kita lupa kalau dalam lingkungan kita, pasti ada makhluk Tuhan juga yang lain. Itulah yang ghaib. Makhluk astral. Yang sebutannya bisa macem-macem. Bisa jin, setan, genderuwo, kuntilanak, dan sebagainya. Kita sebagai manusia memang makhluk yang paling sempurna. Tapi nggak boleh juga kita nganggep kecil makhluk yang lain. Karena semua sama-sama ciptaan Tuhan,” kata Edi. Panjang lebar.  


“Wuih, kayaknya Kap ini paham bener dunia mistis ya,” sela Asnawi sambil tertawa.


“Bukan paham bener, Asnawi. Tapi emang salah satu syarat iman itu kan percaya sama yang ghaib. Nggak beriman kita kalau nggak percaya dengan keberadaan yang ghaib. Itu rumusnya. Dengan kejadian tadi, ayo kita kuatin iman kita aja. Kita yakini di sekeliling kita ini tetep ada makhluk Tuhan yang ghaib,” jelas Edi. 


“Terus perempuan ghaib tadi itu siapa, Kap?” Aris kembali bertanya.


“Panjang ceritanya, Ris,” ucap Edi.  (bersambung)


LIPSUS