Oleh, Dalem Tehang
“NGGAK apa-apa panjang juga, Kap. Ceritain aja. Anggep-anggep dongeng sebelum tidur,” kata Arya, menyela.
“Emangnya kamu anggep aku ini emak kamu, yang kasih cerita ninabobo kalau kamu mau tidur. Jaga mulut kamu, Arya. Belajar sopan sama yang lebih tua,” ujar Edi dengan nada tinggi. Matanya melotot ke arah Arya. Marah besar.
“Maaf, Kap. Bercanda,” kata Arya buru-buru. Ia tundukkan wajahnya. Memberi hormat.
“Kamu ini kebiasaan, nyeletuk semaunya aja. Untung ketemu aku sekarang, kalau empat tahun lalu, pasti langsung aku tampar mulutmu. Mulai sekarang, jaga mulut kamu,” Edi melampiaskan amarahnya.
“Iya, Kap. Maaf, Kap,” ucap Arya, lagi-lagi dengan menundukkan wajahnya. Ekspresi penyesalan.
Tiba-tiba, Arya memukul mulutnya sendiri. Dengan kencang. Hingga darah memuncrat. Membasahi lantai tempatnya duduk.
Kami semua terkejut dengan perilaku Arya. Tidak menyangka sama sekali jika aktor utama kasus pencurian motor itu berbuat begitu.
“Biarin aja, jangan dibantu. Bersihin sendiri darah kamu,” kata Edi. Mencegah Ijal yang mengambil kain pelpelan untuk mengelap darah dari bibir Arya yang memercik lantai.
Kami semua terdiam. Perlahan Arya mengambil kaos dari kantong plastik miliknya. Mengelap darah yang ada di bibirnya. Sesekali ia meringis. Menahan sakit dan perih.
“Arya, kamu itu tolol. Bukan dengan mecahin bibir gitu caranya perbaiki diri itu,” ucap Edi kemudian.
Arya mengangguk perlahan, sambil terus menunduk. Kaos pembersih darah masih ditempelkan di bibirnya yang pecah.
“Kamu harus sadar, Arya. Mulutmu comel itu karena pikiranmu nggak bagus. Pikiranmu kayak gitu, karena hatimu nggak bersih. Jadi kalau mau berubah, bersihin dulu hati. Baru nanti pikiranmu juga bagus. Mulutmu nggak bakal nyeletuk semaunya lagi,” kata Edi.
Fokus pandangan kami hanya ke Arya yang masih menundukkan wajahnya. Tampak ada penyesalan amat mendalam disana. Pemetik motor kelas wahid itu terus menundukkan wajahnya. Tepekur.
Dan baru tersadari jika sebuah penyesalan adalah jejak awal merangkak menuju pintu kebaikan untuk menemukan perubahan. Bukan pembawa pada keterpurukan yang tidak berkesudahan.
“Ini apa-apaan. Bekas tusuk sate berhamburan nggak karuan begini,” tiba-tiba sebuah suara kencang terdengar dari depan kamar.
Seorang petugas jaga berdiri dari balik jeruji besi dengan wajah penuh emosi.
“Maaf, Dan. Tadi si Ijal main lempar aja. Lupa kalau kantong plastiknya belum diikat. Besok pagi-pagi kami bersihin,” kata Edi, sambil buru-buru mendekat ke jeruji besi.
Petugas itu berteriak. Memanggil tamping. Deni datang tergopoh-gopoh. Diperintahnya Deni membersihkan bekas tusukan sate yang bertebaran di depan kamar kami.
“Dasar Ijal gila. Ngebuang bekas tusuk sate semaunya. Aku kena sialnya, padahal cuma dapet satu tusuk aja tadi satenya,” ketus Deni, sambil memunguti puluhan bekas tusuk sate yang berhamburan.
Mendadak petugas jaga menggerakkan kaki kanannya. Menendang Deni yang tengah menunduk memunguti sampah bekas tusuk sate.
Tamping bertubuh kurus kering itu pun terjengkang. Terpental hingga menabrak tembok pembatas kompleks rumah tahanan. Deni mengaduh kesakitan. Ia pegangi pinggangnya. Mungkin memar.
“Nggak usah banyak omong. Kerjain aja yang diperintahin,” kata petugas jaga itu dengan suara keras.
Sambil menahan sakit, Deni melanjutkan tugasnya. Satu demi satu bekas tusuk sate itu ia punguti. Hingga tak ada yang tersisa lagi.
Ia bawa kantong plastik berisi bekas makanan ke tong sampah besar yang ada di ujung lorong. Dan membuangnya dengan rasa kesal.
Petugas itu tidak juga beranjak dari depan kamar. Ia hanya memandangi kami. Satu-persatu. Sesekali terdengar ia tengah bersiul-siul. Seakan menunggu sesuatu.
Edi paham maksudnya. Ia memberi isyarat pada Iyos. Selembar uang Rp 50.00-an di-gimel-kan ke tangan petugas itu. Dan, ia pun spontan bergerak pergi. Kembali ke pos penjagaan. Saat ia berjalan, suara siulannya masih terdengar sama-samar, sampai kemudian hilang terbawa angin malam.
Edi kembali duduk di tempatnya. Kelihatan ia menarik nafas panjang. Menata kembali perasaan dan pikirannya yang beberapa waktu ini tersulut beragam situasi.
“Dilanjut dong Kap cerita soal siapa makhluk ghaib yang tadi nempel di Reza,” kata Aris. Tampaknya ia begitu penasaran.
“O iya ya. Tadi kan mau cerita ya. Kepotong gara-gara mulut comel si Arya. Sekarang semua diam ya. Dengerin aja ceritaku. Jangan ada yang menyela,” ucap Edi kemudian.
Dia sandarkan badannya ke tembok. Ia sulut sebatang rokok. Gelas kopi pahitnya ia dekatkan. Ijal buru-buru menaruh asbak dari potongan bekas air mineral di depan Edi.
Kami duduk di tempat masing-masing. Tidak ada yang merebahkan diri. Semua menunggu Edi membuka tabir siapa makhluk astral wanita yang tadi masuk ke badan Reza.
Edi memulai cerita. Dulu pertama kali ia masuk sel di kompleks tahanan mapolres ini saat usianya masih 23 tahun. Tepatnya 30 tahun silam. Saat itulah ia mulai merasakan kehidupan di bui.
Kompleks tahanan ini dibangun sejak jaman penjajahan Belanda. Untuk memenjarakan orang pribumi yang menentang maunya wong londo saat itu.
Ruang tahanan yang sekarang menjadi kamar 10, sebelumnya kamar nomor 5. Khusus tempat tahanan wanita. Suatu saat, ada tahanan wanita berusia belasan tahun diamankan di kamar ini.
Hingga terjadilah tragedi itu. Waktu itu tentara Belanda sedang berpesta. Diantara mereka ada yang masuk ke sel khusus wanita ini. Memperkosa tahanan tersebut.
Tahanan ini digilir oleh beberapa orang. Ia pun jatuh pingsan berkali-kali, karena tidak kuat lagi melayani kebejatan penjajah yang melampiaskan birahinya. Sampai giliran sang komandan ingin dilayani nafsunya, tahanan wanita itu tidak juga sadarkan diri lagi.
“Marah besarlah sang komandan. Dia ambil tusuk sate usai mereka pesta pora dengan makan enak. Ia hujamkan bekas tusuk sate ke kemaluan tahanan wanita tersebut. Sampai akhirnya, dia meninggal dunia,” urai Edi dengan penuh penghayatan.
“Terus dimakamkan dimana mayat perempuan itu, Kap?” sela Asnawi.
“Katanya ya dimakamin disinilah. Di kamar ini. Dikubur gitu aja. Cuma nggak tahu tepatnya di sebelah mana. Makanya arwah dia sering muncul disini,” ucap Edi.
Dalam perkembangannya, lanjut Edi, kompleks tahanan ini diperluas. Bertambah kamar sejak awal kemerdekaan, dan terus diperbaiki bentuknya. Sesuai jamannya.
“Renovasi besar-besaran terjadi pada tahun 2010-an. Itulah Aris yang punya pekerjaan,” sambung Edi.
Kami semua mendengarkan cerita Edi dengan serius. Hingga seakan untuk menarik nafas pun dilakukan secara perlahan dan teratur ritmenya.
“Kap tahu siapa nama perempuan itu?” tanya Aris.
“Kalau nggak salah, namanya Nawangsari. Itu yang aku inget. Cerita ini aku dapet waktu pertama kali masuk sini. Dari seorang polisi tua yang saat itu bertugas menjaga tahanan. Dia juga dapet cerita ini dari kakeknya, yang dulu pernah jadi petugas bersih-bersih disini waktu jaman Belanda,” kata Edi.
Mendadak hujan turun dengan derasnya. Bagaikan ditumpahkan dari langit dengan begitu saja. Angin kencang menyertainya. Hingga tampias masuk ke dalam kamar.
Suasana mistis pun muncul. Dari plafon kamar terdengar suara rintihan. Suara seorang wanita. Suara Nawangsari. Diikuti bergeraknya benda berputaran disana. Gludukan suaranya. Merinding bulu kuduk kami semua.
“Ayo kita baca ayat qursi aja. Inshaallah arwah penasaran si Nawangsari segera pergi,” kata Edi. Suaranya datar. Ketenangannya luar biasa.
Bersamaan, kami pun membaca ayat suci yang diperintahkan Edi. Berulang kali kami membacanya. Tidak terhitung. Sampai kemudian suara rintihan dan gerakan di plafon kamar, perlahan-lahan menghilang. Pergi entah kemana.
“Alhamdulillah, akhirnya dia pergi. Inshaallah nggak akan ganggu kita lagi. Yang penting, jangan ada tusuk sate lagi tertinggal di kamar ini. Juga jangan ada yang bengong, pikirannya kosong,” ucap Edi dengan sungguh-sungguh.
Lega hati kami semua. Tanpa banyak bicara lagi, masing-masing merebahkan badan. Mencoba tidur. Meski dipastikan sulit untuk memejamkan mata setelah mengalami berbagai peristiwa semalaman ini.
Sementara di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Disertai suara petir yang meningkahi percikan-percikan kilat pembawa sinar menerangi bumi, walau sesaat.
Ku keluarkan buku tulis dan pulpen yang dibawakan Rayhan. Menengkurapkan badan di atas sajadah yang menjadi alas tidur. Mencoba menuangkan sesuatu di kertasnya. Namun, tidak semudah yang aku perkirakan.
Ketidaktenangan batin akibat keterbatasan pergerakan raga, membuat berbagai keinginan untuk menulis dua tiga kalimat pun, tidak bisa ku lakukan. Akhirnya, hanya bisa aku tulis kata: Bismillah. Dan dibawahnya nama istri serta anak-anakku. Yang aku lingkari dengan tanda love. Cinta. (bersambung)