Oleh, Dalem Tehang
AKU terkejut saat ada yang menyenggol kakiku. Rupanya Aris sedang solat malam. Tepat di ujung kakiku. Tangannya saat sujud tanpa sengaja menyentuh kakiku.
“Astaghfirullah. Maaf, Ris,” ucapku sambil buru-buru menarik kaki. Dan melipatnya.
Aris tidak terganggu sama sekali dengan reaksi spontanku. Ia begitu khusu’ dalam penyerahan jiwa raganya pada Sang Pencipta. Pengakuan akan kenisbian sebagai makhluk pada Sang Khalik.
Melihat Aris begitu nikmat menjalani proses penyerahan dirinya secara total pada Yang Maha Kuasa, aku pun tergerak mengikutinya. Buru-buru aku ke kamar mandi. Wudhu.
Tahajud dinihari itu memang amat khusu’. Apalagi disertai rintik hujan yang terus bercucuran dan menyuarakan denting musik alam saat mengenai genteng ruang tahanan. Kenikmatan berintim-intim dengan Gusti Allah itu baru terhenti saat terdengar adzan Subuh dari masjid di dekat kompleks mapolres.
Setelah jamaahan Subuh, ku rebahkan badan. Tidur. Ada kelelahan berbalut ketenangan batin. Keterbatasan hidup dalam kerangkeng besi kian tidak menjadi beban pikiran.
Meski menyadari, betapa aksi perusakan image dan beban mental istri dan anak-anak akan terus menggema. Dan itulah, beban yang paling terberat aku rasakan.
Baru saja mentari menunjukkan sorotnya setelah semalaman hujan turun dengan derasnya, saat pintu sel dibuka. Semua penghuni diperintahkan keluar. Pengajian rutin bulanan.
Seluruh penghuni kompleks rumah tahanan yang beragama Islam, duduk berjejer rapih di teras depan selnya masing-masing. Untuk mendengarkan ceramah dari ustad yang dihadirkan penanggungjawab rutan.
Di pintu seluruh ruang sel tahanan, berdiri satu orang petugas jaga. Untuk mengawasi dan menertibkan tahanan selama mengikuti acara keagamaan tersebut.
Acara pengajian diawali dengan sambutan dari pak Rudy sebagai komandan kompleks rumah tahanan titipan polres. Pria low profile itu lebih banyak memotivasi para tahanan untuk terus memperbaiki diri.
“Disini tempat kalian semua introspeksi diri. Kita selaku manusia penuh dengan kesalahan dan kekhilafan. Itu sudah kodrat kita. Masuk penjara semacam ini bukan kiamat apalagi pupus masa depan. Inilah cara Tuhan memberi kesempatan kalian semua untuk memperbaiki diri, menjadi manusia yang baik sesuai aturan agama dan aturan hukum kita nantinya,” ujar pak Rudy.
Setelahnya, seorang pemuda memakai baju koko dan berkopiah, berdiri. Ia ustad yang akan memberi siraman rohani saat itu.
Ia mengaku, dulu pernah tiga kali masuk keluar penjara karena kenakalannya. Akibat terjebak kenikmatan sesaat dari narkoba maupun aksi pencurian dengan kekerasan.
“Namun, justru dari penjara itulah saya menemukan hidayah. Saya banyak belajar agama selama menjalani hukuman. Dan setelah bebas, saya masuk pondok pesantren. Mendalami agama. Alhamdulillah, saat ini saya punya kesempatan berbagi pengetahuan dan pengalaman di tempat ini,” kata pria berusia 25 tahunan yang mengaku bernama Ma’ruf.
Ustad Ma’ruf banyak mengurai betapa Allah memberi hidayah dengan berbagai cara-Nya. Karena itu, jangan pernah putus asa dalam mencari hidayah. Teruslah semangat dalam menguatkan niat, memperbaiki diri, beribadah, dan berkomitmen untuk meninggalkan hal-hal yang tidak baik ke depannya.
“Yakinlah, hidayah Allah lebih luas dari langit dan bumi beserta seluruh isinya. Jangan pernah kecil hati hanya karena sedang hidup dalam penjara. Tapi justru berbanggalah karena Allah masih memberi kita kesempatan untuk perbaiki diri, meski kita dipaksa oleh keadaan yang sangat tidak nyaman ini,” sambung dia.
Hampir satu jam, ustad Ma’ruf menyampaikan tausiyahnya. Kami semua mengikuti ceramahnya dengan khidmat. Bukan saja karena materi yang ia sampaikan cukup sederhana dan mengena, namun juga karena latar belakangnya yang pernah beberapa kali terperosok hingga sempat menjalani hidup dalam penjara juga.
Acara pengajian bulanan ditutup dengan doa bersama. Dipimpin oleh Rusdi. Ustad kampung yang menjadi tahanan karena terjerat kasus narkoba.
Suaranya yang berat ditambah kefasihannya dalam melafalkan doa, membuat jiwa semua yang mendengarnya menjadi merinding. Tersadarkan betapa banyak rona salah dan dosa yang menempel dalam kehidupan selama ini.
Selepas itu, kami semua diperintahkan masuk sel masing-masing. Pintu kamar langsung dikunci oleh petugas jaga. Terasa, betapa kebebasan itu sangat berharga.
Adit tamping datang. Ditangannya ada kantong plastik. Ia masukkan bungkus demi bungkus isinya lewat sela-sela jeruji besi.
“Kiriman sarapan, om,” kata dia sambil memandangku.
Ijal buru-buru menyambut. Ada tujuh bungkus lontong sayur dan kerupuk.
“Yang nganter langsung pulang, om. Tadi kan kita lagi pengajian, jadi nggak boleh ketemu,” jelas Adit.
“Oke, terimakasih, Adit,” kataku.
Aku sodorkan sebatang rokok buat dia. Anak muda itu menerimanya seraya tersenyum.
Saat kami sedang menikmati sarapan lontong sayur kiriman istriku, Adit datang lagi.
“Om, ada tante sama anak om,” kata dia dan buru-buru membuka pintu kamar.
Aku terkaget, tidak biasanya istriku datang sepagi ini. Apalagi bersama anakku. Aku tinggalkan sarapan dan menaruhkan piringnya di tempat tidurku.
“Alhamdulillah, ayah sehatkan?” sapa istriku begitu aku mendekat jeruji besi tempatnya berdiri. Ia bersama anak gadisku, Bulan.
“Alhamdulillah sehat, berkat doa bunda dan anak-anak. Nggak biasanya pagi gini besuk ayah,” kataku. Ada nada kecemasan.
“Nanti sore kan bunda mau berangkat dinas luar, jadi ngatur waktu untuk tetep bisa pamit ayah dulu. Ini kebetulan nduk di rumah, nggak sekolah karena badannya demam sejak semalem. Kangen ayah. Kan sudah sebulan ayah disini dan sejak ayah masuk, nduk belum pernah ketemu,” urai istriku.
Ku peluk Bulan dari balik jeruji besi. Badannya hangat. Wajahnya menunduk. Ada kesedihan mendalam disana.
Menetes air mataku. Memahami betapa berat beban batin yang menghimpit perasaan anak gadisku satu-satunya ini.
“Sabar yo, nduk. Ayah doain terus kok. Jangan dibawa berat terus ya. Ikhlas aja, semua ini sudah takdir Allah, walau memang akibat kesalahan ayah juga,” ucapku. Berbisik di telinganya.
Bulan hanya mengangguk. Pelan. Sebutir air mengalir dari matanya, dan jatuh ke tanganku yang memeluk dia.
Tampak ia sangat rapuh. Bahkan terancam runtuh. Sangat jauh berbeda saat ia melepasku untuk pertama kali masuk ke penjara, satu bulan yang lalu.
Waktu itu, ia tunjukkan ketegarannya. Bahkan, ia menyemangatiku untuk menjalani semua proses hukum ini dengan tenang. Karena masuk penjara bukanlah kiamat bagi keluarga kami.
Perlahan, Bulan mengangkat wajahnya. Kami bertatapan. Matanya yang indah, begitu teduh. Menyimpan ketenangan. Namun aku sadari, ketenangan dalam keteduhan itu hampir kehilangan serpih harapan.
Aku elus-elus pipinya. Ku tarik perlahan-lahan hidung bagusnya. Berkali-kali. Sungguh sempurna Allah menciptakan sosoknya. Hanya saja, saat ini batinnya begitu amat menderita. Menjerit keras tanpa suara dan tiada yang mampu menyingkapnya.
“Ayah juga kangen bener sama kamu, nduk. Ayah selalu inget dan bayangin kamu. Selalu doain kamu, bunda, abang, dan adek. Doa ayah itu naik ke langit dan turun di rumah kita. Allah melindungi kalian semua. Jangan terlalu berat beban batinmu ya, nduk,” ucapku kemudian. Suaraku parau, terjebak oleh keharuan yang hampir tidak terkendalikan.
Bulan mengangguk. Tetap pelan. Ditatapnya mataku. Dalam-dalam. Seakan ada yang dicarinya disana. Ia tengah menelusuri rasa jiwaku selama di dalam penjara ini.
“Ayah baik-baik aja kan?” kata dia tiba-tiba. Dengan suara khasnya; lembut.
Aku mengangguk. Memberi keyakinan padanya. Sambil melepas senyuman.
Mendadak tangannya merangkulku. Melewati sela-sela jeruji besi pemisah posisi kami. Erat sekali pelukannya. Kami pun berangkulan. Penuh perasaan. Ekspresi rasa sayang dan takut kehilangan yang begitu mendalam.
Istriku bergerak. Merangkul kami juga. Bertiga berpelukan. Menyatukan segala rasa nan menggelegak dalam jiwa yang tak bisa diungkap lewat kata. Tanpa sadar, kami mengucurkan air mata bersama. Kesedihan itu begitu memilukan jiwa.
Perlahan, kami saling melepaskan rangkulan. Tapi Bulan masih terus menatapku.
“Apa yang nduk pikirin, ceritain ke ayah kayak biasanya,” tanyaku pada Bulan.
Dia hanya menggeleng. Ada seulas senyum kini di wajahnya. Selintas. Mengisyaratkan jiwanya mulai tenang. Pikirannya perlahan-lahan telah terkendalikan.
“Mbak kangen sama ayah,” ucapnya kemudian.
Mendadak ia kembali memelukku. Kali ini, tangisnya meledak. Hingga sesenggukan.
Istriku mengelus-elus punggungnya. Meredakan. Ia peluk tubuh Bulan dengan penuh kasih.
“Ayah juga kangen sama nduk. Kita semua kan tahu kalau ayah nggak bisa jauh dari kita, utamanya nduk. Jadi yang nduk rasain, ayah pasti rasain juga,” kata istriku sambil terus mengelus punggung Bulan.
“Ayah juga kangen sama mbak?” tanya Bulan dengan mata menatap tajam ke mataku. Aku mengangguk dengan kesungguhan.
Ia kembali memeluk erat tubuhku. Menarik kepalaku untuk bisa menyatu dengan kepalanya. Tapi hanya ujung kepala kami yang bisa bersentuhan, karena terhalang jeruji besi. (bersambung)