Oleh, Dalem Tehang
CUKUP lama kami berpelukan, sampai istriku mengingatkan bila petugas jaga dan para tahanan sejak tadi memperhatikan apa yang kami lakukan.
Namun, Bulan seakan tidak peduli. Ia terus menyatukan kepalanya ke kepalaku dari sela-sela jeruji besi. Sampai kemudian ia berucap pelan.
“Kita sama-sama terus kangen ya, ayah. Terus peluk mbak dalam seluruh pikiran dan hati ayah ya,” ucap Bulan. Suaranya bergetar.
Aku mengangguk. Sambil mengelus-elus kepalanya. Penuh kasih sayang.
Kedekatan batinku dengan Bulan memang sangat luar biasa. Kami sama-sama merasakan bila salah satu diantara kami tengah menghadapi persoalan, atau sakit.
Bahkan, dalam mengekspresikan segala sesuatu pun cara kami sama. Lebih tertutup. Berbanding terbalik dengan pembawaan istriku Laksmi dan cah ragilku, Halilintar. Mereka sangat ekspresif.
Istriku mengeluarkan kotak kecil berisi makanan. Kue donat. Aku ambil satu. Ku potong sedikit dan menyuapkan ke mulut Bulan.
Nduk kesayanganku menerimanya sambil tersenyum. Wajahnya perlahan kembali sumringah. Mengubur segala kegundahan yang sempat merayapi jiwa dan alam pikirnya.
Mata Bulan menatap pada deretan kamar tahanan yang ada di depan dan sampingnya berdiri di pos penjagaan. Sesekali ia mengangguk dan tersenyum, saat ada penghuni sel yang menyapanya dengan anggukan.
“Yang kamar 1 dan 2 itu khusus untuk tahanan perempuan, nduk. Kalau ayah di kamar 10, paling ujung dari kompleks rumah tahanan ini,” kata istriku.
Bulan mengalihkan pandangannya. Terfokus ke kamar 1 dan 2. Beberapa saat kemudian, tampak dahinya mengernyit.
“Ngopo, nduk?” tanyaku. Sambil terus menikmati kue donat bawaan istriku dan sesekali menyuapkan ke mulut Bulan.
“Banyak yang masih muda-muda ya. Kena masalah apa mereka-mereka itu. Dari umurnya, paling dua tiga tahun diatas mbak, masih mahasiswi-lah paling juga,” kata Bulan.
Istriku bertanya pada penjaga tahanan. Petugas itu menjelaskan, mayoritas tahanan perempuan yang ada saat ini tersangkut kasus narkoba jenis obat-obat terlarang. Selain itu, ada juga kasus pencurian, penipuan, dan perzinaan.
“Kasihan ya lihat mereka, masih muda-muda di penjara gini, bun,” ucap Bulan pada mamanya. Istriku menganggukkan kepalanya.
“Bunda beli kue donat kan tiga kotak. Yang sekotak kasih ke mereka sih, bun. Kan sekotaknya tadi sudah dikasih buat penjaga. Sekotak aja yang buat ayah, nggak usah dua kotak. Mbak kasihan lihatnya,” kata Bulan lagi. Matanya memandang ke arah mamanya.
Istriku meminta izin kepada penjaga untuk memberikan satu kotak kue donat bagi tahanan perempuan di kamar 1.
Penjaga memanggil Adit tamping. Diserahkannya kotak kue donat untuk diberikan ke penghuni kamar 1.
Spontan penghuni sel itu berteriak kegirangan setelah Adit memberikan satu kotak kue donat.
“Terimakasih bunda, terimakasih cantik. Alhamdulillah,” kata salah satu diantara mereka seraya memandang istriku dan Bulan yang berdiri di pos penjagaan.
Istriku Laksmi dan Bulan tersenyum. Senyum penuh keharuan. Mata mereka berkaca-kaca.
“Bunda dan ayah, boleh mbak nazar?” tanya Bulan, tiba-tiba.
“Ya boleh, apa nazarmu, nduk!” ucapku. Tanganku bergerak, mengelus-elus rambut Bulan.
“Kalau mbak dapat ranking pertama di kelas hasil ulangan kemarin, mbak mau kirim peralatan mandi buat tahanan disini,” kata Bulan, dengan suara penuh kesungguhan.
“Banyak lo tahanan disini, nduk. Sekitar 180-an orang dalam 10 kamar,” kataku.
“Ya nggak semua gitulah, ayah. Perkamar nanti mbak bagi sabun mandi, shampo, odol, sama sabun cuci, masing-masing tiga bungkus per-pcs-nya. Yang penting kan ikhlasnya, bukan jumlahnya,” Bulan menjelaskan.
Ku rengkuh kepala anak gadisku. Ku cium rambutnya. Aku begitu terharu sekaligus bangga. Ia punya kepedulian dengan sesama yang begitu dalam.
Sebelum pamitan, Bulan memintaku melepas kaos yang ku pakai. Aku terheran.
“Nanti kaos ayah mau mbak pakai pas sudah di mobil pulang dari sini. Biar keringet ayah langsung nempel,” ucap Bulan.
Buru-buru aku lepas kaosku. Dan meminta Adit tamping ke selku, untuk mengambilkan kaos yang ada di tas kecilku.
Istriku Laksmi tersenyum saat melihat Bulan menciumi dan memeluk kaos yang baru aku lepas. Ia memahami benar arti seorang ayah bagi anak perempuannya. Karena dia juga anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Dan punya kedekatan yang luar biasa dengan papanya.
“Ayo mbak kita pamit. Sudah mau Dhuhur ini. Nggak enak juga kalau kelamaan disini, kan ini bukan waktunya besukan,” kata istriku pada Bulan.
Bulan menganggukkan kepalanya. Dan kemudian, memelukku lagi dengan erat sekali.
“Ayah harus kuat. Ayah kebanggaan kami. Apapun kata orang tentang ayah, kami nggak peduli,” kata Bulan dengan suara tegas. Matanya tajam menatapku. Semangatnya sudah kembali berkobar.
Istriku menyampaikan, meski ia sedang ke luar kota untuk beberapa hari, namun Rayhan sudah dimintanya untuk tetap mengantar sarapan dan makan malam. Bahkan juga untuk makan sahur guna puasa sunah Senin dan Kamis.
Ku peluk istriku. Ku cium keningnya. Ku ikhlaskan ia pergi beberapa hari menjalankan tugas kantornya. Ku serahkan sepenuhnya jiwa raga istri dan anak-anakku pada Sang Penciptanya. Allah Yang Maha Kuasa.
Istriku Laksmi dan anak gadisku Bulan meninggalkan pos penjagaan kompleks rumah tahanan titipan di mapolres dengan langkah mantap menuju parkiran. Satu kantong plastik berisi pakaian kotorku, dibawa pulang sama mereka.
“Kami seneng lihat bapak dengan istri dan anak begitu dekat. Mereka juga tabah dan kuat,” kata seorang petugas jaga saat melihatku masih menatap langkah istri dan anakku meninggalkan rumah tahanan.
“Alhamdulillah, pak. Secara logika, mereka sebenernya nggak bakal kuat apalagi tabah dan ikhlas. Tapi Allah punya kewenangan. Dia berhak ngatur semuanya. Alhamdulillah, kepasrahan kami ternyata membawa keberkahan tersendiri,” ucapku.
“Bener memang, pak. Yang penting ikhlas aja. Mau gimana lagi. Kita hidup kan sudah punya takdir masing-masing. Ya tinggal dijalani aja dengan sebaik mungkin,” lanjut petugas jaga itu.
“Saya pamit kembali ke sel ya, pak. Terimakasih atas semuanya. Ini tadi pertama kali anak gadis saya ketemu setelah sebulan saya disini. Alhamdulillah. Kebaikan bapak inshaallah diberkahi Allah,” ujarku sambil memberi hormat pada petugas jaga. Ia tersenyum. Penuh simpatik.
Aku kembali ke sel, ditemani Adit tamping. Saat melewati kamar 7, ada yang memanggilku. Ternyata Rusdi.
“Tadi istri dan anaknya ya, Be. Kami ikut terharu lihat mereka begitu dekat dan perhatian sama Babe. Bersyukur bener dikasih keluarga yang kuat dan tabah ya, Be,” ucap ustad Rusdi.
“Iya, Alhamdulillah. Allah yang ngatur semuanya, pak Ustad,” sahutku sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Tanda menghormati.
Ustad Rusdi bercerita. Selama aku bersama istri dan Bulan bertemu di pos penjagaan, semua penghuni kamar 7 memperhatikan.
“Jujur, kami sampai kebawa suasana Babe dan keluarga yang begitu haru. Apalagi, waktu anak gadis Babe melukin sambil nangis. Banyak kawan disini yang sampai netesin air mata juga,” kata Ustad Rusdi. Suaranya tercekat.
Mataku menerobos kamar 7. Belasan penghuni kamar itu tampak menganggukkan kepala saat tahu aku memperhatikan mereka.
“Keluarga Babe itu hebat. Kami seneng lihatnya, sekaligus haru. Jadi inget sama anak istri di rumah,” seorang pria seumuran denganku, tiba-tiba nyeletuk dari dalam kamar.
Aku tersenyum. Senyum berbalut keharuan. Aku tahu, betapa besar makna kedatangan istri, anak, dan keluarga terdekat bagi para tahanan. Merekalah pengguyur air kehidupan di tengah padang pasir nan tandus.
Dan lagi-lagi aku bersyukur. Sebulan hidup di dalam tahanan, hampir setiap hari istriku tetap bisa menengok. Bahkan hari ini, bersama anak gadisku Bulan.
Pun istriku bisa mengirim makanan secara rutin, dalam segala keterbatasannya secara ekonomi. Aku makin menyadari, semua ini semata-mata karena Allah yang memberi kemudahan. (bersambung)