Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 40)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 09 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS solat Dhuhur berjamaah, Edi kepala kamar menyatakan, siang ini kami mendapat kiriman nasi kuning dari keluarga Doni. Karena hari ini ulang tahunnya yang ke-49.


“Pasti dateng nggak nasi kuningnya. Nanti sudah kita tunggu-tunggu nggak tahunya nggak jelas,” ucap Asnawi.


“Pasti datenglah. Sabar aja. Kita sama-sama tunggu ya. Bisa kan nahan laper beberapa waktu,” kata Doni.


Sampai adzan Ashar terdengar dari masjid di samping mapolres, nasi kuning yang ditunggu-tunggu tidak juga datang.


“Gimana ini, Doni? Sudah kelaperan ini kita semua,” kata Edi sambil memandang Doni.


Doni tampak kebingungan. Ia hanya bisa angkat bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Pertanda ia tidak bisa berbuat apa-apa.


Ijal berinisiatif. Ia panggil tamping dengan jeritan kencang dari dekat jeruji besi. Tak lama kemudian, Adit datang.


“Coba sih liatin di pos jaga. Ada kiriman nasi kuning nggak. Itu buat kami makan siang. Ulang tahunnya Doni,” kata Ijal pada Adit.


“Tadi emang ada yang nganter bungkusan guede gitu. Katanya nasi kuning buat Doni. Tapi sama petugas jaga dibiarin aja di meja. Nggak beranilah aku ambilnya,” ujar Adit. 


Ijal memandang Doni. Edi memerintahkan Doni ke pos penjagaan. Bicara dengan petugas jaga. Adit membukakan pintu kamar. Doni ditemani Ijal menuju pos penjagaan.


Sekitar 10 menit kemudian, Doni dan Ijal kembali ke kamar. Dari depan kamar, Doni menyampaikan, kiriman nasi kuningnya ditahan petugas dan baru akan diserahkan saat pergantian petugas jaga, malam nanti.


“Keburu nggak enak kalau kelamaan nasi kuningnya dimakan, Doni. Gimana caranya ya sekarang harus diambil,” kata Edi. Memerintah. 


Doni menggaruk-garuk kepalanya. Bingung harus berbuat apa. Tiba-tiba Ijal berbalik. Kembali ke pos penjagaan.


Beberapa menit kemudian, Ijal kembali berjalan ke arah kamar. Ditangannya ada bungkusan besar yang dibawanya dengan hati-hati. Itulah nasi kuning sebagai syukuran ulang tahun Doni.


Adit membukakan pintu kamar. Doni dan Ijal masuk kamar. Adit ikut masuk. Barulah kami makan siang menjelang sore seusai adzan Ashar menggema. Adit juga ikut makan nasi kuning kiriman keluarga Doni.


Sebelum makan, satu-persatu kami mengucapkan selamat ulang tahun pada Doni dengan menyalami dan memeluknya. Edi yang memimpin doa. 


“Kok bisa kamu ambil nasi kuningnya, Jal. Gimana caranya?” tanya Doni sambil memandang Ijal yang tengah makan dengan lahapnya.


“Iya juga, Jal. Kami juga heran, kok kamu bisa ambil. Doni yang punya aja nggak bisa,” Edi menyela. 


Ijal menengokkan wajahnya. Memandangi kami satu-persatu. Tahu jika kami semua menunggu jawaban, dia pun tertawa ngakak. 


“Pada sekadar mau tahu, apa pengen tahu beneran?” kata Ijal. Masih dengan tertawa ngakak. Hingga nasi yang ada di mulutnya sempat nyemprot keluar.


“Kurang ajar emang kamu ini, Jal. Ngerjain orang aja kesukaannya,” ketus Tomy. Juga tertawa.  


“Ayolah, Jal. Ceritain aja gimana cara kamu kok bisa jadi sakti gini. Petugas jaga sampai nyerah sama kamu,” kata Aris. Menimpali.


“Jadi pada mau tahu beneran ya,” kata Ijal. Masih dengan tertawa. Spontan kami semua menganggukkan kepala.


“Sebentar ya, aku minum dulu,” ucap Ijal. Sengaja mengulur waktu. Memainkan perasaan kawan-kawan penghuni kamar.


“Emang anak setan si Ijal ini. Kita semua dibuatnya jadi naik darah,” sergah Edi. Tidak sabaran.


“Sabar dong, Kap. Kan kita di kamar ini sepakat nggak boleh semarah-marahan. Nanti kalau Kap sering marah, jadi lebih cepet tua dibanding umurnya lo,” ucap Ijal lagi. 


“Ah sudahlah, Jal. Bodo amat kamu mau cerita apa nggak. Yang penting nasi kuningnya sudah dateng dan kita nggak kelaperan lagi,” kata Asnawi.


Setelah menenggak air minum dari gelas, Ijal merapihkan duduknya. Bersila. Kami semua menunggu dia bercerita. 


Namun, ia malah mengeluarkan rokok dari kantong celananya. Menyulutnya. Dan menghisapnya dengan perlahan. Membuat kami semua semakin penasaran. Dan tentu saja geram. 


“Bukan dulu, Jal. Kamu ini sebenernya mau cerita apa nggak? Kalau nggak mau ya sudah. Lagian, sudah nggak penting juga. Pentingnya itu kan bisa makan nasi kuning dan itu sudah selesai,” kata Tomy.


Tampak sekali jika Tomy kesal akibat merasa dipermainkan oleh cara Ijal yang terus mengulur-ulur waktu.


“Jangan marahan lo. Nanti dikeluarin dari kamar 10. Ini kan kamar eksklusif di kompleks tahanan ini,” ucap Ijal. Menanggapi kekesalan Tomy.


“Banyak omong kamu, Jal. Sudah sana. Kerjain tugas kamu. Cepet beresin bekas makan, lanjut nyapu dan ngepel,” tukas Edi, yang juga tampak kesal.


“Siap, Kap!” sahut Ijal. OD kamar 10 itu langsung berdiri dan melaksanakan tugasnya. 


Kami saling berpandangan. Dan tersenyum atas kelakuan Ijal. Anak muda yang tersangkut kasus penganiayaan ini memang selalu mampu menciptakan suasana berbeda di kamar. 


Terkadang ia penuh dengan humor, bercanda dengan joke-joke yang tidak biasa. Tapi seringkali juga menunjukkan sikap angkuh, sehingga membuat kesal. 


Baru saja keluar kamar mandi seusai mandi sore, saat ku lihat seorang petugas berdiri di depan jeruji besi. Petugas itu menganggukkan kepala.


“Sore, Pak,” kataku. Menyapa.


“Sore juga, Babe. Maaf, tadi nasi kuningnya tertahan lama di pos jaga. Nggak tahu kalau Doni itu di kamar ini. Pas Ijal bilang kalau Doni sekamar dengan Babe, langsung saya kasihkan. Maaf ya, Be,” kata petugas jaga itu dengan suara ramah.


“O iya, nggak apa-apa, Pak. Tadi kami semua sudah kelaperan. Jadi saya minta tolong Doni dan Ijal ke pos jaga. Maaf juga sudah ngerepotin,” sahutku. Penuh hormat.     


Petugas jaga itu tersenyum. Dan berbalik. Kembali ke tempat tugasnya. Sebelum ia berjalan jauh, ku panggil dia. 


Ku beri dia satu bungkus rokok yang sebelumnya dibawakan oleh istriku. Ini kali pertama aku memberi rokok kepada penjaga setelah satu bulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan titipan.


“Oh, Alhamdulillah. Terimakasih, Babe. Saya doakan sehat terus Babe sekeluarga,” kata petugas itu saat menerima rokok dari tanganku. Aku mengaminkan doanya.


Begitu petugas jaga tidak kelihatan lagi, Doni langsung menepuk bahu Ijal yang masih mengepel lantai, dengan kencang.


“Ketahuan kamu sekarang. Rupanya kamu bisa ambil nasi kuning tadi karena ngejual nama Babe ya,” kata Doni.   


Ijal tertawa ngakak. Tomy, Irfan, Aris, dan Asnawi bangun dari tempatnya masing-masing. Berbarengan memukuli Ijal sambil tertawa. 


“Kamu ini emang bangsat bener, Jal. Pantes nggak mau cerita, rupanya kesaktianmu yang bisa ngebuat penjaga ngasihin nasi kuning tadi karena ngejual nama Babe,” ketus Asnawi. 


Ijal tertawa-tawa. Sambil terus menjalankan tugasnya. Mengepel lantai kamar. Suasana kamar petang itu penuh dengan kerianggembiraan.


“Jal, kok kamu bisa keinget nama Babe waktu ambil nasi kuning Doni tadi?” tanya Aris yang masih penasaran.


“Tiba-tiba aja terlintas. Di kamar ini kan yang rutin dibesuk itu Babe. Berarti Babe-lah nama yang dikenal disini, selain Kap Edi. Apalagi tadi siang, istri dan anak Babe habis ngebesuk. Berarti petugasnya belum ganti. Ndadak aja kelintas, nyebut nama Babe. Eh, langsung disuruh bawa nasi kuningnya,” jelas Ijal, setelah menyelesaikan tugas mengepelnya.


“Berarti yang sakti itu sebenernya Babe, bukan kamu, Jal,” lanjut Aris.


“Jangan salah, om. Banyak orang punya ilmu tinggi tapi nggak tahu gunainnya. Ya nggak ada gunanya. Ijal emang nggak banyak ilmu, tapi cerdik manfaatin ilmu orang lain, jadi langsung jelas manfaatnya,” ucap dia sambil tersenyum bangga. 


“Ah, sudah, Jal. Banyak omong aja kamu ini. Emang kamu itu cerdik dan pinter manfaatin situasi. Terus asah aja kemampuanmu itu. Sukses kamu nanti dengan ilmu itu,” kata Edi. Ia acungkan dua jempolnya ke arah Ijal.


“Terimakasih, Suhu,” sahut Ijal seraya membungkukkan badannya. Bergaya bak di film Shaolin. Kami semua tertawa.  


Adzan Maghrib terdengar. Kami semua berkemas untuk solat. Selepas jamaahan, membaca surah yasin. Suara mengaji kami cukup keras. Hingga terdengar sampai pos penjagaan.


Tanpa kami sadari, seorang petugas berdiri di depan kamar. Memandangi kami yang tengah mengaji. Pepen yang non muslim saja yang tidak bergabung. Ia duduk di tempatnya. Menundukkan wajahnya. Menghormati prosesi keagamaan kawan-kawan satu kamarnya. (bersambung)

LIPSUS