Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 41)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 10 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SETELAH kami selesai mengaji, petugas itu mengetuk pintu sel. Kami semua menengokkan wajah. 


“Hebat bener kamar ini. Setiap malem riyungan,” kata petugas itu. Ada senyum kebanggaan di wajahnya.


“Bukan riyungan, Dan. Baca yasin aja. Tanpa makanan dan minuman,” sahut Kap Edi. Sambil mendekat ke jeruji besi. Ia salami petugas jaga itu dengan hormat.


“Jadi gini. Besok malem, tujuh hari ibu mertua saya wafat. Kami adain tahlilan di rumah. Kalau saya minta kalian baca yasin dan tahlil disini dikirim untuk ibu mertua, keberatan nggak,” kata petugas itu.


“Siap. Nggak keberatanlah kami, Dan. Justru bersyukur, bisa ikut mendoakan ibu mertua Komandan,” ucap Edi.


“Terimakasih sebelumnya ya. Nanti saya tuliskan nama almarhumah dan kirimkan kesini,” lanjut petugas itu. Ada rona bahagia di wajahnya. 


Begitu petugas itu pergi, kami semua tersenyum. Mengucapkan rasa syukur. 


“Kirain tadi, kita mau diundang tahlilan di rumahnya. Asyik juga kalau bisa keluar sel buat yasinan,” ujar Tomy. 


“Mimpi kamu itu, Tomy. Mana bisa kayak gitu. Kalau sudah masuk sini, susah buat bisa keluar-keluar. Kecuali pas pelimpahan atau di-bond penyidik,” kata Aris.


“Sebenernya nggak susah juga kok. Bisa aja kita keluar pulang ke rumah atau kemana aja. Sepanjang ada petugas yang nge-bond dan bisa cincai sama yang lagi jaga,” tiba-tiba Pepen menyela.


“Beneran bisa gitu, Pen. Jangan ngarang-ngarang atau itu cuma impianmu aja,” ucap Asnawi. Tampak penasaran dengan pembicaraan Pepen.


“Ya benerlah. Ngapain saya bohong,” sahut Pepen. Tegas. 


“Emang kamu pernah kayak gitu?” tanya Aris. Juga ikut penasaran.


Pepen menganggukkan kepalanya. Meyakinkan. Lewat tangannya, ia mengisyaratkan telah tiga kali keluar sel sejak menjadi tahanan dua bulan ini.


“Emang bisa gitu ya, Kap?” Aris bertanya pada Edi yang sejak tadi hanya berdiam diri. Edi menganggukkan kepalanya.


“Kok nggak pernah cerita-cerita selama ini, Kap,” kata Aris lagi. Rasa penasarannya semakin membuncah.


“Kan nggak ada yang pernah tanya, buat apa juga cerita. Lagian kalian harus inget ya, di penjara ini tembok aja bisa nguping obrolan kita. Salah-salah ngomong, kena sial kita,” ucap Edi. 


“Jadi bener nih, bisa kita keluar sel beberapa jam dan pulang ke rumah?” ucap Aris. 


“Itu Pepen sudah buktiin. Kurang apalagi benernya,” sahut Edi. Pendek.


“Gimana caranya ya?” lanjut Aris. Makin penasaran dan tertantang.


Aris memandang Pepen. Meminta ia menjelaskan. Namun Pepen mengalihkan pandangannya pada Edi. 


Sadar bila Pepen meminta persetujuan, Edi menganggukkan kepalanya. Tanpa keluar satu kata pun dari mulutnya. Pepen memahami isyarat Edi sang kepala kamar.


“Yang jelas, mainnya harus silent. Rahasia bener pastinya. Cuma dua sampai tiga petugas aja yang tahu. Tapi sekali keluar untuk tiga jam, bisa buat bayar uang bulanan kamar kurang lebih selama lima bulan,” kata Pepen. Suaranya pelan. 


Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mulai memahami polanya. Juga menghitung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Aku pun tertarik untuk mendengarkan pengalaman Pepen.


Sementara Ijal, Tomy, Irfan, dan Doni lebih asyik bermain kartu remi. Yang kalah dipasangi karet di telinganya. Sedang Asnawi, Iyos, Arya, dan Reza asyik dengan kegiatannya masing-masing.


“Kamu mau keluar buat ketemu istri ya, Ris?” tanya Pepen. Melihat Aris yang begitu antusias.


Aris mengangkat bahu. Tampak, ia masih menimbang-nimbang. Wajah pria yang terkena kasus tipikor ini kelihatan tegang. Ada perdebatan kencang antara pikiran dan jiwanya. 


“Aku pikir-pikir dulu ya, Pen. Biayanya itu yang tinggi bener masalahnya,” ucap Aris kemudian. 


“Biayanya apa siapa yang mau diajak ketemu yang lagi dipikirin itu, Ris?” tiba-tiba Asnawi menukas.


Mendadak kamar 10 riuh dengan suara tawa. Semua penghuni kamar 10 sudah mengetahui jika Aris tengah menghadapi ancaman gugatan cerai dari istrinya. Kecuali Pepen yang baru masuk.   


“Yang mau diajak ketemu sih sudah kebayang. Cuma biayanya itu yang nggak tahu mau dari mana,” kata Aris. Memberi penjelasan. Ada seulas senyum pahit di bibirnya.


“Emang mau istrinya diajak ketemuan, om?” tiba-tiba Ijal menyela dari keasyikannya bermain kartu remi.


“Kamu mau tahu aja, Jal. Nggak penting buatmu siapa yang mau aku ajak ketemu,” sahut Aris. Ada nada kurang suka dengan celetukan Ijal.


“Nanti kalau sudah fix pengen keluar, bilang aja, om. Saya kasih tahu polanya lebih detail. Karena ini bisa dibilang bener-bener ekstra silent,” kata Pepen kemudian. Aris mengangguk.


“Babe berminat?” tanya Edi padaku. Aku menggelengkan kepala.


“Kalau Babe ngapain lagi, tiap hari istrinya juga pasti ngebesuk,” ucap Asnawi. 


“Ya, siapa tahu pengen kangen-kangenan berduaan. Kamu kayak nggak paham aja sih, Asnawi,” lanjut Edi. 


Kami kembali tertawa. Menciptakan suasana santai dan penuh canda memang harus selalu dilakukan. Agar keterkungkungan raga tidak berimbas pada kian mengecilnya jiwa. 


Apel malam berlangsung singkat. Petugas hanya mengabsen sambil menanyakan kondisi kesehatan penghuni kamar. 


Seusai mengimami solat Isya dan makan malam, aku rebahkan badan. Terasa ada gangguan pada kondisi badan. Flu berat yang membuat kepala sampai terasa sakit. Ngenyut-ngenyut. 


Minyak Kapak yang dikirimkan istriku, ku buka. Ku oleskan di ujung jari dan diuyek-uyek ke kepala. Hangat rasanya. Perlahan, rasa ngenyut itu menghilang. Namun hanya sesaat. Aku minum obat flu. Tak lama, terasa mengantuk. Aku pun tertidur.


Tidurku yang nyenyak akibat minum obat flu, terusik. Pintu kamar sel dibuka dengan kerasnya. Terdengar suara Deni tamping. Diikuti suara Edi, Iyos, dan Doni.


Seiring masuknya mereka ke kamar, mendadak bau minuman keras menyengat. Apalagi setelah Doni buru-buru ke kamar mandi dan muntah. Bau alkohol itu keras sekali. Menyeruak di semilirnya angin menjelang pagi itu.


Tidak tahan dengan bau alkohol yang menyengat, aku bangun dari tempat tidur. Duduk memandang sekeliling. Ku tengok sebelah kiriku. Tampak Aris sedang melamun. Matanya terfokus pada satu titik: menatap plafon. 


Lamat-lamat, terdengar suara mengaji dari masjid. Waktu solat Subuh sudah akan menjelang. 


“Kamu nggak tidur, Ris?” tanyaku pada Aris yang rebahan. Ia menggelengkan kepalanya.   


“Bawa tidur aja. Nggak bakal selesai urusan dengan kita nggak tidur. Jaga kondisi badan itu lebih penting. Kebayang nggak gimana susahnya kalau sakit disini,” kataku.  


“Babe bisa tidur nyenyak kan karena habis minum obat flu. Yang emang ada penenangnya. Selama ini juga nggak pernah tidur senyenyak malem ini,” ucap Aris menimpali, sambil tersenyum. 


Aku juga tersenyum. Apa yang disampaikan Aris memang benar. Selama ini, paling lama aku hanya tidur satu jam setiap malamnya. Siang hari pun sama.


Berakibat pada makin berkurangnya berat badanku. Padahal, namanya di penjara, tidak ada kegiatan apa-apa. Praktis hanya makan dan tidur.


“Kamu ini hebat, Ris. Bisa tidur nyenyak siang dan malam. Kayak kawan-kawan. Sampai ngoroknya bersahut-sahutan. Enjoy bener kalian kalau lagi tidur. Baru belakangan setelah mau digugat cerai, kamu kesusahan buat tidur,” ucapku. Aris tertawa. (bersambung)


LIPSUS