Oleh, Dalem Tehang
“SEBENERNYA, aku bukan susah tidur, Be. Tapi lagi belajar tenang dan sabar. Sebab kata orang, jalan keluar sebuah masalah dan kemenangan itu diraih oleh mereka yang tenang dan sabar. Bukan sama orang yang gupekan,” kata Aris.
“Ya emang bener itu, Ris. Cuma tenang dan sabar itu nggak mesti harus nggak tidur juga kali. Kamu ngedzolimi badan sendiri kalau maksain diri terus-terusan nggak tidur kayak gini,” kataku, menimpali.
“Terus kalau mata nggak mau diajak merem, kayak mana dong, Be? Kan yang namanya tidur itu mata mesti merem. Lagian, buat apa juga mata merem kalau pikiran keluyuran nggak jelas juntrungannya,” ujar Aris lagi.
Aku terdiam. Aris memang sosok yang amat berpengalaman dalam kehidupan. Selama ini, ia amat mengayomi, bijak, dan bisa menempatkan diri dengan posisi yang tepat. Suasana apapun, ia sikapi dengan tenang. Senyum simpatiknya hampir tidak pernah lepas dari bibirnya.
Baru setelah jiwanya terguncang akibat munculnya surat permohonan izin gugatan cerai istrinya, pria perlente low profile ini seakan tercerabut dari karakter pribadinya.
Sering melamun dan emosinya acapkali tidak terkendali. Walau begitu, ia tidak pernah menimbulkan perselisihan dengan sesama penghuni sel.
Seusai solat Subuh, Aris buru-buru ke kamar mandi. Menghidupkan telepon genggam yang disimpannya di dalam ember bersama rendaman pakaian.
Cukup lama ia bicara dengan seseorang di seberang sana. Entah siapa. Sampai kemudian terdengar suaranya meninggi: “Ya udah kalau nggak bisa sebantuan lagi!”
Setelah menonaktifkan, hp jadul itu ia masukkan kembali ke dalam plastik kecil, dan direndamkan ke dalam air di sela-sela pakaian di dalam ember.
Kelihatan wajah Aris kesal. Ia hembuskan nafasnya kuat-kuat. Telapak tangannya mengepal-ngepal.
“Kenapa, Ris?” sapaku. Menunjukkan perhatian.
“Kesel aja, Be. Kenapa ya banyak orang nganggep kita yang lagi di penjara ini kayak sudah nggak punya masa depan lagi. Kayak sudah selesai hidup kita ini. Sampai-sampai kawan deket yang sejak nol kita bantu aja, sekarang ngehindar kalau ditelepon,” ucap Aris dengan nada kesal.
“Santai aja sih, Ris. Justru saat inilah kita tahu mana kawan sejati dan mana pecundang. Ya emang nggak enak sih, tapi kita mestinya bersyukur,” kataku.
“Bersyukur apanya, Be? Karena ditinggalin kawan-kawan?” ucap Aris, menyela dengan nada tinggi.
“Iya, salah satunya itu, Ris. Kita jadi tahu cuma segelintir ternyata yang bener-bener kawan itu. Selebihnya adalah orang-orang yang cari manfaat pribadi dengan mengaku berkawan sama kita selama ini. Mungkin selama ini kita bangga karena punya kawan banyak. Ratusan orang bahkan. Nyatanya, begitu kita di penjara gini, kelihatan kan siapa yang kawan sebenernya. Lha, kamu aja bilang nggak lebih dari lima jari tangan, kawan yang ngebesuk kamu disini. Jadi ngapain nambahin kesel aja,” kataku mengurai.
“Iya juga sih. Aku ini sering penasaran aja, Be. Tiba-tiba inget seorang kawan yang dulu deket bener. Sejak kuliah dulu, makan tidur bareng. Bahkan waktu dia mau masuk militer, aku ikut pontang-panting ngurusin dia. Cari rekomendasi sana-sini. Waktu dia lagi pendidikan, urusan keluarganya juga pacarnya yang sekarang jadi istrinya, aku yang diminta tangani. Gitu juga waktu anaknya mau jadi polisi, aku juga yang dimintai bantuan. Sekarang, gitu aku masuk bui gini, nerima teleponku aja nggak mau. Malah disuruh istrinya yang angkat telepon. Boro-boro mau bantu kayak dulu aku bantu dia,” kata Aris panjang lebar. Mengungkap kekecewaannya pada seorang kawan.
“Maaf ini, Ris. Aku saranin ya. Nggak usah-usah lagi kamu ada rasa penasaran pengen kontak kawan-kawanmu. Siapapun mereka, atau pernah berjasa apapun kamu sama mereka. Kalau mereka masih nganggep kamu itu kawan, mereka pasti dateng besuk kamu. Itu aja ukurannya,” ujarku. Mencoba meredakan.
“Bener juga itu, Be. Cuma aku emang sulit kendaliin diri buat nggak kontak kawan-kawan. Karena selama ini aku ngerasa banyak berbuat juga buat kesuksesan hidup mereka. Tapi, aku mau coba jalani sarannya,” sahut Aris. Kali ini suaranya sudah kembali datar.
“Aku dulu pernah dikasih petuah sama papa mertua, Ris. Dia bilang, jangan pernah kamu inget-inget kebaikanmu sama orang, tapi inget bener kebaikan orang sama kamu. Buang jauh-jauh ingetanmu sama kesalahan orang, tapi inget-inget bener kesalahanmu sama orang,” ucapku. Aris mengangguk-anggukkan kepalanya.
Saat kami masih terdiam, pintu kamar dibuka oleh seorang tamping. Saatnya kami berolahraga di selasar depan sel masing-masing. Aku dan Aris langsung keluar. Menghirup udara pagi yang segar. Sambil menggerakkan anggota badan.
Seorang tamping mendekat. Membawa bungkusan ditangannya.
“Om, ada kiriman dari penjaga,” kata tamping itu, menyerahkan bungkusan yang dibawanya.
Aku buka bungkusannya. Isinya pempek dan tahu isi. Juga dua plastik kecil berisi cuka. Cukup banyak panganan kecil itu.
“Kata penjaga, siapa yang kirim makanan ini?” tanyaku pada tamping. Dia menggelengkan kepalanya.
Aku ajak Aris ke pos penjagaan. Ku rapihkan lagi bungkusan makanan kecil itu.
“Maaf, Pak. Kiriman makanan ini dari siapa ya?” tanyaku pada petugas jaga.
“Tadi ada yang nganter kesini. Laki-laki muda, bilang kiriman untuk bang Mario gitu. Tapi saya lupa tanya namanya,” ucap petugas jaga yang kelihatan baru bangun dari tidurnya.
“O gitu. Untuk Bapak aja ya. Saya nggak biasa pagi-pagi makan pempek, nanti malah sakit perut,” kataku sambil menyerahkan bungkusan makanan kecil itu ke petugas jaga.
“Terimakasih, bang. Syukur kalau begitu. Bisa buat ganjel perut sebelum aplusan jaga,” sahut petugas itu seraya tersenyum.
Aku berbalik. Sambil menggerakkan anggota badan, kembali ke depan kamar sel. Menjaga kebugaran tubuh.
“Kenapa dikasihin ke petugas, Be. Sayang lo, itu namanya rejeki pagi hari, berkah,” kata Aris.
“Nggak jelas siapa yang ngirim, Ris. Jangan konyol. Lagian, kurang pas juga pagi-pagi buta gini makan pempek dan tahu isi pakai cuka,” sahutku.
“Nggak nyangka, ternyata Babe ini parno-an,” kata Aris.
“Bukan parno, Ris. Tapi waspada aja. Kita nggak tahu siapa yang ngirim makanan tadi. Berarti, kita juga nggak tahu maksudnya kan? Lebih baik hati-hati dan waspada ketimbang kenapa-kenapa,” ucapku.
“Bener juga ya. Aku sering dapet kiriman makanan kayak gini. Nggak tahu siapa yang ngirim. Tapi aku inget-inget, nggak pernah juga aku makannya,” kata Aris.
“Kamu terima kok nggak makan? Gimana ceritanya?” tanyaku. Heran.
“Kalau nggak salah inget, yang pertama dulu, baru digelar di piring mau makan bareng, aku dipanggil penjaga. Balik-balik, makanan sudah habis. Yang kedua, pas aku sakit perut, jadi nggak makan kiriman gorengan waktu itu. Yang ketiga, apa ya, aku lupa. Tapi emang nggak pernah aku makannya. Ada aja kejadian yang buat aku jadi nggak makannya,” urai Aris.
“Berarti kamu diselametin, Ris. Kan nggak tahu siapa yang ngirim makanannya. Bisa aja maksudnya nggak baik. Apalagi kamu, kasus tipikor. Kamu orang terpandang. Kan bisa aja ada orang yang nggak seneng dan mau ngerjain kamu. Hati-hati dan waspada itu nggak ada salahnya lo, Ris,” kataku, mengingatkan.
Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat bersamaan, kami lihat Ijal keluar kamar, membawa dua gelas kopi. Ditaruhnya di sudut teras.
“Nah, ini yang bener. Pagi gini ya ngopi itulah, Ris. Terimakasih, Jal,” ucapku sambil duduk ndeprok menikmati kopi setengah manis buatan Ijal.
Pepen juga keluar kamar. Ikut duduk bergabung dengan aku dan Aris. Ijal keluar lagi. Kali ini membawakan rokok kami. “Kamu kasus lakalantasnya kayak mana, Pen? Kok kayaknya buat kamu down berat gitu,” tanya Aris pada Pepen.
“Emang kelihatan ya kalau saya down?” Pepen balik bertanya.
“Bukan kelihatan lagi, Pen. Tapi terang benderang,” lanjut Aris.
“Emang kayak mana ngeliatnya?” sela Pepen.
“Setiap tidur, kamu itu selalu ngigau. Ngoceh nggak karuan gitu. Itu tanda kalau kamu stres berat. Nurut ilmu kejiwaannya gitu. Tapi aku bilangnya down,” ucap Aris.
“Puji Tuhan. Beneran saya sampai ngigau gitu?” kata Pepen dengan mulut terbuka. Menganga.
“Benerlah, Pen. Ngapain juga aku ngarang. Maka aku tanya tadi, kayak mana kasus lakalantasmu itu,” Aris menukas.
Pepen tampak menerawang. Matanya melihat ke arah terbitnya matahari. Beberapa kali kepalanya menggeleng. (bersambung)