Oleh, Dalem Tehang
“KAMU kenapa, Pen?” tanyaku.
“Nggak apa-apa. Sedih aja kalau inget kejadian yang bawa saya ke penjara gini,” ucapnya.
“Ya kalau malah buat kamu sedih, nggak usaha diceritain aja, Pen. Kita di penjara ini sudah susah, jangan nambah nyusahin pikiran,” kataku, menyela.
“Sorry kalau pertanyaanku buat kamu nggak nyaman ya, Pen. Santai aja,” Aris menimpali.
“Bukan, maksud saya bukan begitu. Saya paham kok kenapa kawan-kawan tanya. Karena memang kita sudah satu nasib. Tapi saya aja yang nggak bisa nahan perasaan kalau mau cerita soal kejadian itu,” Pepen menjelaskan dengan suara datar.
“Ya sudah, nggak usah dilanjut ya. Kita obrolin yang lain aja,” kataku, memutus tema pembicaraan.
Adit tamping mendekat. Menanyakan Edi kapten kamar. Kami minta langsung saja melihat lewat jeruji besi.
“Om Edi, bangun. Ada yang mau nge-bond,” kata Adit.
Ijal buru-buru membangunkan Edi. Pria setengah baya yang sudah lima kali masuk penjara itu terbangun dari tidurnya.
“Kenapa, Adit? Pagi-pagi ngebangunin orang tidur,” ucap Edi sambil duduk dan mengucek matanya.
“Ada yang mau nge-bond, om. Penyidik,” ucap Adit.
“Masih pagi gini di-bond? Yang bener dulu, Adit? Nggak salah?” kata Edi seraya berdiri dan mendekat ke jeruji besi.
“Ya bener-lah, om. Nggak mungkin juga Adit bohong,” kata Adit. Menegaskan.
“Ya sudah sebentar. Cuci muka dan ganti kaos dulu,” ujar Edi.
“Nggak usah, om. Udah gitu aja. Kata penyidik tadi cepetan. Nanti kelamaan malah kena marah,” sela Adit.
Akhirnya Edi mengalah. Masih sambil mengerjap-kerjapkan matanya yang kelihatan baru terbangun dari tidur, ia ikuti langkah Adit menuju pos penjagaan.
Sekitar 10 menit kemudian, Edi meninggalkan pos penjagaan dan berjalan tergopoh-gopoh kembali ke kamar.
“Ada apa, Kap?” tanya Aris yang penasaran melihat Edi berjalan terburu-buru.
“Ayo masuk kamar dulu. Ada yang mau aku sampein ke temen-temen,” sahut Edi sambil berjalan masuk ke kamar.
Semua penghuni kamar yang masih tidur dibangunkan. Duduk di tempat masing-masing.
“Jadi gini, barusan aku dipanggil penyidik. Pagi ini aku pelimpahan. Hari ini ada 12 orang yang pelimpahan, tapi dari kamar kita, cuma aku sendiri,” kata Edi menjelaskan perkembangan setelah ia dipanggil ke pos penjagaan.
“Kok mendadak gitu, Kap? Emang ada apa?” sela Doni.
“Nggak tahu aku. Cuma dikasih tahu segera siapin diri untuk pelimpahan. 30 menit lagi disusul,” lanjut Edi.
“Terus gimana urusan kamar, Kap?” tanya Aris.
“Ya itu yang mau aku jelasin. Makanya aku minta semua dibangunin. Jadi, dengan aku pelimpahan ini, selesai tugasku jadi kepala kamar. Silahkan temen-temen pilih kepala kamar yang baru,” ujar Edi.
“Kalau nurut Kap, siapa yang layak jadi kepala kamar selanjutnya?” tanya Reza. Baru kali ini ia bersuara.
“Aku nggak mau nunjuk siapa kepala kamar nanti. Silahkan temen-temen sendiri yang milih. Kan aku sudah nggak disini lagi. Nggak etis kalau aku nunjuk siapa yang gantiin aku. Ini bukan kerajaan,” kata Edi. Karakter demokratisnya tercuatkan.
“Gimana kalau Babe aja, Kap,” kata Aris. Mencari solusi.
“Silahkan aja. Yang penting maunya temen-temen. Kan kepala kamar itu ngurusin temen-temen. Bukan temen-temen yang ngurus kepala kamar,” ucap Edi.
“Aris yang paling pas. Sudah duluan disini, dan juga lebih sabar ngadepin berbagai situasi disini,” kataku, menyarankan.
Namun Aris menolak dengan halus yang aku sarankan. Ia keukeuh mendorongku jadi kepala kamar menggantikan Edi. Akhirnya, semua penghuni kamar 10 sepakat menjadikan aku kepala kamar yang baru.
“Nah, sudah selesai ya soal kepala kamar yang baru. Kita semua sepakat Babe yang gantiin aku. Sekarang aku minta Iyos buka buku sakti kita. Masih ada berapa dana kamar kita,” kata Edi.
Iyos mengeluarkan buku kecilnya. Ia sampaikan penggunaan dana iuran penghuni kamar dengan terinci, dan saat ini yang masih ada sebanyak Rp 3 jutaan.
“Jadi semua clear ya. Nggak ada aku ninggalin masalah di kamar ini ya. Sengaja aku beber-beberan begini biar kita sama-sama plong. Sebab nggak urung, nanti kita juga ketemu lagi di rutan. Kan bisa nggak seenakan kalau ada yang ngeganjel di hati,” kata Edi sambil tersenyum penuh arti.
Kami semua menganggukkan kepala. Menyepakati cara yang dilakukan Edi. Transparan dan tetap memprioritaskan etika dalam menjaga kebersamaan.
“Oke, sebentar lagi aku pamit. Aku mohon maaf, selama ini pasti banyak salah dan khilafku. Anggep-anggep itu semua pelajaran dan pengalaman. Yang bagus, dilanjutin, yang kurang bagus, buang jauh-jauh,” sambung Edi dilanjutkan dengan menyalami dan memeluk kami satu-persatu.
Ada suasana haru saat melepas Edi menjalani pelimpahan. Meski ia penuh senyum saat meninggalkan kamar dan menyapa dengan hangat penghuni di setiap sel yang ia lewati, namun tetap tidak bisa ditutupi jika ada kegelisahan tersendiri di batinnya.
Seusai solat Dhuhur berjamaah, kami makan siang bersama seperti biasa. Nasi cadong dengan lauk mie instan. Ditambah abon yang dikirimkan istriku beberapa hari lalu.
Doni memintaku pindah ke tempat Edi sebelum ia pelimpahan. Namun aku menolak. Aku sudah merasa nyaman dengan tempatku selama ini. Berada di paling pojok dan tidak terpantau langsung oleh cctv karena terhalang tembok kamar mandi.
“Jadi siapa yang naik ke atas gantiin tempat pak Edi?” tanya Doni.
Aku menunjuk Reza. Pria yang hanya beberapa tahun usianya dibawahku ini, tampak amat ringkih badannya.
Selain kelihatan begitu berat beban perasaan dan pikirannya selama ini. Aku berharap, dengan pindah tempat, ia akan mendapatkan suasana baru.
“Waduh, yang di sampingku Reza ya. Bahaya kalau dia kesurupan lagi,” ucap Iyos. Ada nada khawatir pada suaranya.
“Inshaallah nggak kesurupan lagi, Yos. Mulai sekarang, rutin solat ya, Reza,” kataku. Reza menganggukkan kepalanya. Mantap.
“Jadi berubah nggak ini panggilan? Tetep Babe apa kap?” tiba-tiba Ijal menyela.
“Tetep Babe ajalah, kayaknya lebih keren. Setujukan,” kata Aris. Menimpali. Semua penghuni kamar menyepakati.
Pintu kamar tiba-tiba digedor kencang. Kami sampai terhenyak. Kaget. Ternyata Gustav, kepala blok rumah tahanan, yang memukul pintu sel dari baja itu.
“Kamu ini ngagetin aja, Gustav. Ada apa?” kata Doni, yang posisinya paling dekat dengan jeruji besi.
“Siapa pengganti om Edi sebagai kepala kamar?” tanya Gustav.
Spontan semua penghuni kamar 10 menunjuk ke arahku. Yang tengah bersandar di tembok kamar mandi.
“Oh ya, bang Mario ya. Selamat ya, bang. Kebetulan kalau begitu, nanti abis Ashar kita mau dikumpulin sama komandan tahti, ada briefing,” kata Gustav.
“Siapa yang wajib ikut briefing?” tanyaku.
“Semua kepala kamar, bang. Jadi 10 orang. Ditambah nanti dari petugas. Ya sekitar 15 orang-lah,” lanjut Gustav.
“Tempatnya dimana pertemuan nanti?” tanya Aris.
Gustav menjelaskan briefing akan dilakukan di kamarnya. Kamar 5.
“Oke, siap. Terimakasih infonya, Gustav,” ucapku.
“Santai aja, bang. Emang sudah tugas Gustav ngasih tahu yang beginian. Dan ada kewajiban, masing-masing kamar menyumbang dana Rp 100.000. Buat beli snack untuk yang hadir di acara nanti,” kata Gustav lagi.
Tanpa sadar, aku menghela nafas. Ada luapan kekesalan yang muncul begitu saja. Tetap ada saja sesuatu yang memaksa tahanan untuk mengeluarkan dana.
Setelah agak reda perasaan yang sempat terusik, ku tengokkan wajah pada Iyos yang tampak memang menunggu perintah.
Ku anggukkan kepalaku pada Iyos. Bendahara kamar itu langsung bergerak. Membuka dompet kecil yang diselipkannya di sela pakaian. Ia keluarkan dana dan diserahkan ke Gustav.
“Sampai ketemu nanti ya, bang. Terimakasih,” kata Gustav sambil meninggalkan kamar kami.
“Tumben ada acara briefing gini. Dua bulan jadi tahanan disini, baru denger tadi kalau mau ada acara kayak gini,” kata Doni.
“Iya bener itu. Aku juga heran. Tapi ya diikuti aja. Inshaallah ada manfaatnya buat kita,” ucap Aris. (bersambung)