Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 44)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 13 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SELEPAS solat Ashar, pintu kamar dibuka. Aku diminta ke kamar 5. Ikut acara briefing oleh divisi tahanan titipan alias tahti.  


Pak Rudy yang memimpin acara tersebut. Ia mulai dengan mengabsen seluruh kepala kamar. Begitu sampai ke kamar 10, tampak ia sempat terkejut saat mendengar aku disebut sebagai kepala kamar.


“Oh, sekarang pak Mario ya kepala kamar 10. Memang pak Edi jadi pelimpahan tadi pagi,” kata dia. 


Seorang petugas menjelaskan pagi tadi ada 12 tahanan yang menjalani pelimpahan. Termasuk pak Edi.


“Wah, selamat ya, pak Mario. Saya percaya, kamar 10 akan lebih baik lagi dipimpin pak Mario,” ucap pak Rudy sambil melemparkan senyum khasnya. Simpatik.


Dalam briefing itu, pak Rudy menekankan pentingnya semua pihak menjaga kedisiplinan, ketertiban, dan keamanan rumah tahanan. Para petugas jaga juga dilarang melakukan kekerasan kepada tahanan. 


“Kalau ada petugas yang melakukan kekerasan atau kekasaran fisik, laporkan. Saya tidak segan menindaknya. Sebaliknya, para tahanan juga wajib mematuhi ketentuan yang ada. Bagi yang melanggar, tentu ada sanksinya. Soal sanksinya bagaimana, nanti kita lihat sesuai tingkat kesalahannya,” kata pak Rudy.


Beberapa kali ia menekankan petugas jaga dan tahanan harus kompak. Saling menjaga, menghormati, dan memahami posisi masing-masing.


“Dan saya tidak mau ada praktik-praktik penjajahan disini. Kita semua sama. Sama-sama manusia. Jadi harus saling menghargai. Tapi kalau ada yang tidak menghargai, ya harus ditindak tegas,” lanjut dia.


Pak Rudy menjelaskan perlunya penambahan dan perbaikan sarana pendukung kebutuhan dan kenyamanan tahanan. Seperti penambahan mesin penyedot air, tower air, perbaikan cat kamar, dan perbaikan bak kamar mandi. Ditambah membuat taman dan kolam kecil di setiap sudut selasar kompleks rumah tahanan.


“Untuk lebih memberi kenyamanan bagi kawan-kawan para tahanan dengan rencana itu semua, diperlukan dana yang cukup besar. Sekitar Rp 50 jutaan. Dan tentu, karena kita sama-sama disini, ya kita saling mendukung untuk terwujudnya program tersebut. Setelah kami menghitung, maka diputuskan setiap kamar memberi sumbangan Rp 2,5 juta,” kata pak Rudy.


Mendengar perkataan pak Rudy itu, aku menengok ke kawan-kawan sesama kepala kamar. Semua hanya menunduk. Ku pahami beban yang menjadi pikiran mereka. Karena masing-masing kamar diwajibkan memberi sumbangan dengan jumlah yang relatif besar.


“Jadi begitu saja. Keputusannya setiap kamar menyumbang Rp 2,5 juta. Tanpa kecuali. Dan paling lambat hari Rabu minggu depan sudah diserahkan kepada kami, untuk selanjutnya dimulai pekerjaan program ini pada hari Kamis sampai Minggu,” ucap pak Rudy. 


Kami para kepala kamar hanya menganggukkan kepala. Tidak ada pilihan. Walau perkataan pak Rudy bukan sebuah perintah apalagi penekanan, namun kami pahami bila itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. 


Setelah mendengar arahan pak Rudy, acara briefing pun selesai. Masing-masing kepala kamar kembali ke selnya. Mayoritas berjalan sambil menundukkan wajahnya. Akibat beratnya beban pikiran dan deraan perasaan. 


Begitu masuk kamar, Iyos dan Asnawi langsung bertanya apa isi briefing tadi. Aku tidak menjawabnya. Aku memilih mengambil handuk dan baju ganti. Mandi.


Saat keluar kamar mandi, ku lihat semua kawan menunggu ceritaku. Aku isyaratkan nanti saja selepas solat Maghrib. Karena saat itu, suara mengaji dari masjid sudah terdengar. 


Baru saja selesai berdoa usai Maghriban, kawan-kawan sudah menunggu dengan duduk rapih di tempatnya masing-masing.


“Nanti  aku ceritain hasil dari briefing tadi ya. Jangan lupa, kita dapat amanat membaca yasin dan tahlil untuk ibu mertua pak Agus petugas jaga yang meminta kita kemarin itu. Lebih baik kita ngaji dulu ya,” kataku. 


Ijal mengambil kertas dari kantong celananya. Diserahkan kepadaku. Ternyata di kertas itu tertera nama ibu mertua pak Agus yang akan kami kirimkan fadhilah pengajian malam ini. Prosesi tahlilan pun dimulai. Semua penghuni kamar, kecuali Pepen, mengaji dengan penuh kekhusu’an. 


Seusai tahlilan, adzan Isya menggema. Kami melanjutkan dengan solat berjamaah. Saat kami masih solat, pintu kamar sel dibuka.


Seorang tamping memasukkan dua kantong plastik besar berisi makanan. Pepen yang menerimanya.


“Alhamdulillah, kita dapet berkat. Lucu juga ya ternyata dapet besek di penjara itu,” ucap Ijal selepas kami solat.


Ternyata, pak Agus penjaga tahanan yang mengirim nasi kotak untuk kami yang dimintanya ikut membaca tahlilan tujuh hari wafatnya ibu mertua dia. 


“Jal, simpen aja. Untuk kita sahur nanti,” kata Arya. 


“Buat sahur kan sudah dikirim istri Babe. Yang besekan kita makan sekarang aja,” sahut Ijal. 


Malam itu kami penghuni sel 10 makan nasi kotak kiriman pak Agus. Berkat kami ikut membaca tahlil dan doa untuk ibu mertuanya.


“Inilah kalau namanya rejeki ya. Seumur-umur aku belum pernah dapet makanan gini karena ikut pengajian. Ini malah di penjara dapetnya,” ucap Doni dengan polosnya saat kami makan malam.


“Jadi kamu belum pernah ikut tahlilan atau pengajian gini, Doni?” sela Tomy. Doni menggeleng.


“Masak iya, pasti pernah-lah di rumah kamu atau tetangga ngadain tahlilan. Dan biasanya pas pulang, dikasih nasi besekan kayak gini, walau bentuknya sekarang nasi kotak,” kata Aris. 


“Waktu ayah dan ibuku meninggal, emang ada tahlilan juga di rumah. Tapi aku duduk diluar aja. Paling ngebagiin ke jamaah pengajian yang dateng. Kalau tahlilan di rumah tetangga atau saudara, aku emang nggak pernah dateng,” sahut Doni.


“Kenapa kamu nggak pernah dateng ke tahlilan keluarga atau tetangga?” tanya Tomy.


“Aku malu mau dateng. Aku kan nggak bisa ngaji. Baru disini aja aku perhatiin bacaan qur’an itu,” aku Doni, apa adanya.


Astaghfirullah. Kamu emang kelewatan, Doni. Masak baca qur’an aja nggak bisa. Mulai sekarang kamu manfaatin bener waktu disini buat belajar ngaji ya,” kata Aris. Doni menganggukkan kepalanya.


“Nah, sekarang aku mau cerita dari acara briefing tadi ya,” ucapku, setelah kami selesai makan dan lantai kamar sudah dibersihkan oleh Ijal.


Ku awali cerita dari pertemuan dengan petugas yang dilaksanakan di kamar 5 dengan pernyataan-pernyataan pak Rudy sebagai komandan tahti bagi semua tahanan. Yang harus disiplin, taat aturan, dan saling menghargai. Bukan hanya sesama tahanan namun juga terhadap petugas jaga.


“Dan, nanti banyak perbaikan di kompleks tahanan ini. Mulai dari mesin air ditambah, tower air juga ditambah, kamar-kamar mau dicat ulang, kamar mandi dibagusin, sampai dibuat taman dan kolam kecil di semua sudut selasar. Ya biar kita yang jadi tahanan disini jadi lebih fresh dan nyaman-lah,” uraiku.


“Nah, ini baru sip. Jadi nggak terus-terusan bete kita disini. Kamar aja kusem kayak gini,” ujar Ijal, menyela.


Wajah semua penghuni sel 10 tampak sumringah. Ada rona bahagia disana. Membayangkan sebuah rencana saja telah mampu mengangkat semangat mereka. Bahwa masih ada kehidupan yang lebih baik ke depannya.


“Terus apa, Be?” tanya Aris. Tampak ia memahami bila dibalik rencana perbaikan yang menggembirakan tersebut, ada sesuatu yang juga harus dipenuhi.


“Tadi pak Rudy menyampaikan kalau timnya sudah menghitung biaya yang dibutuhin untuk rencana itu semua. Sampai Rp 50 jutaan. Nah, kita diminta menyumbang masing-masing kamar sebesar Rp 2,5 juta,” kataku melanjutkan.


Spontan berubah ekspresi wajah semua penghuni kamar. Yang semula penuh rona bahagia, menjadi keterkejutan. Bahkan ada yang sampai pucat pasi.


“Wah, besar amat sokongannya, Be. Ini mah namanya perbaikan bergaya renteng bareng. Bukan kerjaan institusi dong. Kita kan di rumah tahanan milik negara, sudah sewajarnya ya pakai anggaran pemerintah-lah,” kata Reza. 


“Kita nggak usah pakai debat-lah ya. Kita semua tahu, pasti ada anggarannya untuk itu semua dari negara. Tapi kita harus inget, kita tahanan. Penjara itu dunia dalam dunia. Ya kita ikuti aja-lah apa yang sudah ditetepin. Walau emang berat dan besar sokongannya, mau kayak mana lagi,” kata Aris. Suaranya datar.


“Berarti kita masing-masing sokongan lagi dong?” ucap Asnawi. Aku menganggukkan kepala.


“Kalau gitu, putusin sama Babe sebagai kepala kamar. Berapa kami masing-masing sokongannya,” kata Doni.


“Kita kan sekarang 11 orang. Minus Ijal, berarti ada 10 orang. Masing-masing kita sokongan Rp 250.000. Cocokkan,” kataku.


Semua penghuni kamar sepakat. Ku perintahkan Iyos untuk besok pagi menyerahkan dana Rp 2,5 juta kepada petugas jaga yang sudah ditunjuk pak Rudy, dengan memakai dana kas kamar terlebih dahulu. 


“Kita pakai dana kas kamar dulu ya. Minggu depan sokongan kita semua sudah dikasihin ke Iyos lagi. Jadi kas kamar nggak kosong,” ucapku. Menegaskan. Semua sepakat. (bersambung)

LIPSUS