Oleh, Dalem Tehang
PERBINCANGAN kami baru saja selesai, saat Gustav, kepala blok kompleks tahanan mapolres, berdiri di depan jeruji besi. Aku pura-pura tidak tahu, dan buru-buru merebahkan badan di atas sajadah yang menjadi alas tidur. Firasatku menyatakan, bakal ada masalah baru lagi.
“Bang Mario, bisa ngobrol sebentar,” kata Gustav kemudian. Menyapaku.
Perlahan aku bangun. Mengesankan sudah mengantuk berat. Mendekat ke jeruji besi.
Dengan suara perlahan, Gustav menyampaikan apakah aku perlu hp untuk sarana komunikasi. Bila iya, dia bisa mengadakannya. Dan untuk itu semua, ada biaya yang harus dikeluarkan. Mulai dari membeli hp hingga biaya bulanannya.
“Emang berapa harganya, juga bulanannya?” tanyaku penasaran. Juga dengan suara perlahan.
“Hp jadul aja, bang. Cuma Rp 750.000. Kalau bulanannya Rp 2 juta,” kata Gustav.
“Nanti aku bicarain dulu sama nyonya ya, Gustav. Aku kan nggak punya uang. Semua tergantung nyonya aja. Lagian mahal amat ya,” ucapku.
“Jadi gini, bang. Hp itu kan yang beli nanti petugas jaga. Kita minta tolong beliin sama dia. Kalau biaya bulanan itu buat amannya kita pakai hp. Kalau mau ada razia, nanti petugas kasih tahu dan diamanin sama mereka,” tutur Gustav. Meyakinkan.
“Belum bisa aku putusin malem ini, Gustav. Nanti kalau nyonya besukan, aku obrolin dulu ya. Terimakasih lo sudah kasih peluang begini,” kataku sambil tersenyum.
Gustav juga tersenyum. Seusai menyalamiku, ia pamit. Pergi meninggalkan kamar kami. Kamar 10.
“Ngapain tadi si Gustav, Be,” tanya Aris, begitu aku merebahkan badan di tempatku.
“Dia nawarin, aku mau pegang hp apa nggak. Kalau mau, dia bisa ngadainnya. Termasuk ngamanin kalau ada razia,” kataku. Menjelaskan pembicaraan dengan Gustav.
“O gitu. Terus apa kata Babe,” lanjut Aris. Tampak ia tengah menjajaki sikapku.
“Ku bilang, nanti aku obrolin dulu sama nyonya. Aku kan nggak punya uang, Ris,” ujarku lagi.
“Saranku sih, baiknya nggak usah. Kalau Babe perlu telepon, kan ada hp-ku. Kapan aja tinggal suruh Ijal ambil,” kata Aris lagi.
“Oke kalau gitu, Ris. Tapi ngomong-ngomong, kamu pegang hp itu bayar nggak,” tanyaku.
Aris menggelengkan kepalanya. Ada seulas senyum di bibirnya.
“Kok bisa, Ris?” tanyaku lagi. Penasaran.
“Jadi, waktu aku baru masuk sini, ada kawan yang anggota provos polda, dateng. Dia nge-bond aku. Kami ngobrol di pos penjagaan. Dia kasih aku hp itu sambil bilang ke petugas tahti, kalau hp yang di aku itu punya dia. Jadi jangan ada yang ngeganggu. Alhamdulillah, semua aman-aman aja sampai sekarang,” ucap Aris mengurai.
“Dan kamu nggak pernah diminta uang bulanan juga?” tanyaku lanjut. Aris menggelengkan kepalanya.
“Hebat kamu, Ris. Bersyukur kamu masih ada kawan yang nge-back up gitu. Alhamdulillah,” kataku.
“Iya, Alhamdulillah bener, Be. Tapi aku juga nggak sembarangan pakainya. Atau ngasih pinjem ke orang. Aku lihat-lihat juga. Kan kita mesti ngejaga kawan itu, selain ya jangan kita dianggep mentang-mentanglah. Pinter-pinter aja mengkiati situasi,” sahut Aris. Kembali ada seulas senyum di bibirnya. Senyum penuh ketulusan.
Tiba-tiba Arya mendekat. Duduk di antara aku dan Aris yang rebahan.
“Kenapa, Arya?” tanyaku.
“Ikutan ngobrol sih. Pengen juga menimba ilmu dari senior,” kata Arya dengan wajah serius.
Aku bangun dari rebahan. Pun Aris. Kami duduk sambil menyandarkan badan ke tembok. Mendadak, Pepen juga mendekat. Minta izin duduk bergabung.
“Kamu coba cerita, gimana awalnya kamu bisa jadi jagoan metik motor itu,” kata Aris sambil memandang Arya.
Sesaat anak muda itu tersenyum. Diteguknya kopi dari cangkir yang tadi dibawanya.
“Sebenernya, semua karena pengaruh lingkungan sih, om. Bener kata orang, pergaulan dan lingkungan itu sangat berpengaruh. Bisa ngebuat orang jadi baik atau jelek,” kata Arya mengawali obrolan.
“Emang kayak mana lingkungan kamu?” tanya Aris.
“Jadi, di daerah ku itu, kalau sudah SMA nggak pakai motor ke sekolah, bisa dibilang nggak bakal punya temen, om. Nggak ada yang mau bertemen. Jangankan cewek, yang cowok aja pada ngejauh,” ucap Arya. Ada nada getir pada suaranya.
“O gitu, terus akhirnya kamu belajar metik, gitu ya?” Pepen menyela.
“Iya, nggak ada pilihan. Sebagai remaja, aku kan pengen punya banyak temen. Pengen juga dilihat gagah sama cewek-cewek. Nah, buat itu semua ya harus punya motor. Mau minta orangtua ngebeliin, mereka nggak mampu. Karena cuma buruh kasar. Mulailah aku bergabung sama temen-temen yang biasa metik. Belajar dari mereka,” Arya menguraikan.
“Berapa lama kamu aktif di dunia metik motor ini, Arya?” tanyaku. Penasaran.
“Baru setahunan-lah, Be. Makanya baru dapet sekitar 18 motor. Itu pun rata-rata di luar daerah. Karena kalau di daerah sendiri, sering rebutan sama temen-temen yang lain,” aku Arya.
“Sudah dapet 18 motor kok kamu bilang baru sih, Arya. Terus kalau sudah dapet, ngejualnya gimana?” Aris menyela.
“Bisa metik 18 motor itu belum apa-apa, om. Masih dianggep kecil kalau di daerahku. Aku ini masih dianggep anak bawang. Kalau temen-temen sudah banyak yang sampai 40-an motor,” jelas Arya. Kembali ia menyunggingkan senyuman.
Kami terbelalak mendengar pengakuan Arya. Kelompoknya betul-betul pemetik profesional sampai berhasil mencuri puluhan motor.
“Biasanya, untuk ambil satu motor itu perlu waktu berapa lama?” tanya Pepen.
“Nggak lama-lah. Paling juga tiga detik aja. Sial-sial ya sampai lima detik. Tinggal mainkan kunci leter T, patahin kunci stang motor, sudah. Kabur,” ucap Arya dengan entengnya.
Kembali pengakuan Arya mengenai waktu dia melarikan motor orang yang begitu singkat, membuat kami hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mengakui kehebatan yang dimilikinya.
“Jualnya dimana dan dapet berapa kamu dari setiap motor?” tanyaku.
“Sudah ada penadahnya, Be. Masing-masing kelompok pemetik sudah punya jaringan pembeli. Nggak bakal semakanan. Rata-rata permotor, aku dapet uang paling tinggi ya Rp 3 jutaan-lah,” ujar Arya.
“Berarti banyak juga uang yang kamu dapet selama ini, buat apa aja,” Pepen menyela.
“Selain buat kebutuhanku sehari-hari, ku kasih ke ibu. Buat beli beras, biaya adik-adik sekolah, dan bapakku bisa sewa ladang punya tetangga. Jadi nggak aku habisin buat foya-foya aja,” aku Arya. Ada kesungguhan dan kesedihan pada ucapannya.
“Orangtuamu tahu kamu ketangkep ini?” tanyaku lagi.
“Tahu. Malahan sudah ngebesuk. Kabar aku ketangkep waktu itu kan langsung nyebar di daerahku. Ada yang sengaja ngirim fotoku dengan muka babak-belur ke whats-app temen-temen dan keluargaku. Biasa, mainan cepu,” kata Arya lagi.
“Cepu itu apa maksudnya, Arya” ujarku. Tidak paham.
“Cepu itu istilah buat orang yang kasih informasi ke polisi, Be. Biasanya juga disebut informan. Tapi bekennya di dunia kriminal disebut cepu. Yang kayak gini sekarang banyak bener di daerah kami, maka banyak temen-temenku yang sekarang ketangkep,” ucap Arya lagi.
“Jadi ada juga temen pemetik kamu yang ditahan disini,” kata Aris.
“Banyak, om. Ada sekitar delapan orang yang ditahan disini sekarang. Tapi kami sok nggak saling kenal aja,” jelas Arya.
“Kenapa gitu?” tanya Aris lagi.
“Kami kan paham, om. Biasanya polisi bakal ngembangin perkara. Kalau ketahuan kami saling kenal, itu jadi pintu masuk buat mereka ngembangin kasusnya. Bisa kebawa-bawa banyak orang nantinya. Dan pastinya, jumlah motor yang sudah kami petik juga akan bertambah. Ini juga strategi kami buat mutus usaha polisi dalam pengembangan perkara,” urai Arya sambil tersenyum.
“Cerdik juga kamu ini, Arya. Polisi aja bisa kamu kadalin,” ujar Pepen. Sambil tertawa.
“Nggak gitu juga maksudnya. Tapi biar selesai di kami yang ketangkep aja. Itu sudah jadi ikrar kami. Nggak bakal nyanyi. Mau digebukin kayak mana juga, ya sudah pasang badan aja,” Arya menjelaskan kesetiaan kelompok pemetik.
Aku kagumi kesetiaan yang dibangun begitu kokoh oleh Arya dan kelompoknya. Meski dilakukan untuk menekuni dunia kriminal. Karena antara kesetiaan dan lelakon yang ditapaki sesungguhnya laksana puzzel yang saling melengkapi. (bersambung)