Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 46)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 15 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


KALAU ada yang kamu sedihin sekarang ini apa, Arya?” tanya Pepen.


Sesaat anak muda berbadan kerempeng itu terdiam. Tampak matanya menerawang. Pikirannya sedang berjalan. Nafasnya tiba-tiba mendengus-dengus. Seakan berlari kencang.


“Jujur ya, aku cuma kasihan sama ibu, bapak, dan adik-adik aja. Inget mereka itulah yang buatku sedih. Kalau soal aku disini atau nanti dihukum berapa tahun, nggak buatku nelongso. Aku yakin kuat jalaninya,” kata Arya setelah bisa menenangkan dirinya.  


“Apa yang kamu sedihin dari keluargamu?” tanya Aris, menyela.


“Ibuku nggak bisa lagi ngebuat makanan ringan untuk dijual ke warung-warung. Adik-adikku bisa-bisa putus sekolah, karena nggak ada biaya buat bayar SPP. Juga bapakku, cuma bisa ngegarap ladang orang, karena kami memang nggak punya ladang sendiri,” ucap Arya dengan suara penuh kesedihan. 


Perlahan ia menundukkan wajahnya. Ada sebutir air mata jatuh di pangkuannya. Tak disangka, anak muda spesialis metik motor ini ternyata tulang punggung keluarganya. 


“Ya sudah, Arya. Tuhan pasti kasih rejeki yang lebih baik buat keluargamu. Jangan jadi beban amat sama kamu. Pikirin aja nasibmu ke depannya,” ujar Aris menenangkan. Dielus-elusnya punggung Arya. 


“Kalau kamu mau berubah dan sudah keluar nanti, cari aku ya, Arya. Aku punya toko dan bengkel motor. Mungkin pas kalau kamu kerja disitu,” kata Pepen dengan serius.


Arya menengadahkan wajahnya. Dipandanginya Pepen dengan tatapan tajam. Seakan meminta kepastian. Pepen menganggukkan kepalanya. 


Spontan Arya memeluk Pepen. Tangisnya pun tumpah. Tangis keharuan di tengah keterpurukan yang memunculkan sepercik harapan kebaikan. 


“Beneran ya, Pen. Aku terimakasih bener kalau kamu nggak main-main atau cuma nyeneng-nyenengin aku aja,” ucap Arya dengan suara tertahan.


“Ya bener-lah, Arya. Aku tahu, sebenernya kamu itu anak baik. Cuma seperti katamu, lingkungan yang buat kamu terperosok gini. Nanti kita bareng-bareng bagusin masa depan ya,” kata Pepen dengan sungguh-sungguh.


Arya menganggukkan kepalanya. Suasana haru itu pun aku dan Aris rasakan. Terkadang, banyak hal terjadi sangat jauh dari apa yang pernah kita bayangkan. Bahkan, membayangkan pun tidak pernah. Itulah misteri kehidupan.


“Kalau kasus lakalantas kamu sendiri kayak mana, Pen?” tiba-tiba Aris memecah keharuan.


“Njelimet kalau masalah saya sebenernya, Ris. Waktu itu, saya buru-buru mau ke toko karena ada kiriman onderdil motor masuk. Pas di jalan, saya lihat ada bapak tua menyeberang. Saya pelankan motor, dan mengambil jalur di belakangnya. Eh, mendadak dia mundur lagi karena ada yang manggil. Saya nggak sempet ngerem lagi. Jadilah dia tertabrak. Saya juga terpental. Kami sama-sama dibawa ke rumah sakit,” kata Pepen memulai cerita kasusnya.   


“Terus yang kamu tabrak itu ninggal ya?” lanjut Aris. Menebak-nebak.


“Iya, setelah dirawat lima hari, dia ninggal. Kami sebenernya sudah damai. Nah, salah satu anaknya yang di luar negeri, nggak mau damai. Dia lapor ke polisi. Saya diperiksa. Proses verbal. Tapi nggak ditahan. Rupanya dia penasaran. Akhirnya dia lapor ke Mabes Polri, kebetulan ada koleganya disana. Jadi mau nggak mau akhirnya penyidik disini nahan saya seperti ini,” lanjut Pepen. Suaranya tercekat. Sedih. 


“Padahal, kalau pun kamu nggak ditahan, kasusnya terus jalan ya?” tanyaku, menyela.


“Iya, perkaranya terus berjalan, Be. Bahkan sebentar lagi saya sudah pelimpahan. Tapi kayaknya emang anaknya itu pengen bener ngeliat saya ditahan. Usaha keluarga minta penangguhan juga nggak dikabulkan sama penyidik,” Pepen mengurai lagi.


“Sampai segitunya ya orang. Dendamnya luar biasa bener,” ucap Aris. Dengan nada geram. 


“Bahkan, anaknya itu pernah dateng kesini. Mastiin aja saya ditahan beneran apa nggak. Coba, mau kayak mana lagi saya kalau sudah kayak gitu, selain terima aja keadaan ini,” kata Pepen. Suaranya kali ini agak meninggi. Ada letupan emosi disana.


Tiba-tiba Ijal terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek matanya, dia menawarkan untuk dibuatkan kopi. Kami berempat kompak menganggukkan kepala. Bergeraklah OD kamar 10 itu dengan tangkasnya. Tak lama, kami sudah disuguhi kopi hangat.


“Harusnya kita tidur dulu ini,” kata Arya. Tiba-tiba. 


“Sudah tanggung, sebentar lagi juga Subuh,” sahut Aris.


Pepen bangun dan menuju tempat tidurnya. Kami mengira dia akan merebahkan badan. Ternyata membuka kantong plastik yang disimpan di tasnya. Ia keluarkan makanan ringan. Biskuit.


Dan benar saja, baru beberapa kali menenggak kopi hangat buatan Ijal, terdengar suara mengaji dari masjid di dekat kompleks rumah tahanan. 


Selepas mengimami solat Subuh, aku rebahan. Baru saja lep tidur, kakiku beberapa kali terasa ditepuk-tepuk. Ternyata Ijal yang membangunkan.


“Ada apa, Jal?” tanyaku dengan mata masih setengah memejam.


“Ngangin, Be. Semua disuruh keluar kamar. Itu ada petugas ngeliatin di depan pintu,” ucap Ijal.


Ku tengokkan wajah. Tampak seorang petugas berdiri di depan pintu sambil bertolak pinggang. 


“Semua keluar ya, tanpa kecuali. Kalau ada yang baru tidur, salahnya sendiri kenapa begadang,” kata petugas itu sambil memandangku.


Aku berjalan keluar kamar. Mata ini benar-benar sepet, karena baru beberapa waktu saja tidur.


“Bapak ya kepala kamar disini?” tanya petugas itu. Aku mengangguk.


“Coba dulu sepengertian. Kirim-kirim dulu rokok, apa makanan ke pos penjagaan,” katanya lagi.


Aku hanya tersenyum. Tidak mau menanggapi perkataan petugas itu.


“Dibilangin malah senyum-senyum. Nggak laku senyuman itu. Saya tunggu ya kirimannya. Nggak main-main saya ngomong ini. Kalau nggak jelas, lihat aja nanti. Saya buat susah kamar ini,” ucap petugas itu dengan nada mengancam.


Aku kembali tersenyum. Rasa cepat tersinggung yang selama ini melekat pada diriku, sudah mulai mengelupas dari jiwa dan pikiranku setelah satu bulan lebih hidup di penjara. Apalagi sekarang aku dipercaya menjadi kepala kamar. Harus bisa lebih slow dan adem.


Setelah petugas itu pergi dari pintu kamar, ku panggil Adit, tamping yang bertugas pagi itu. Aku pesankan, kalau ada pak Rudy, komandan kompleks rumah tahanan, di pos jaga, beri informasi. 


“Kenapa pesen ke Adit kalau ada pak Rudy kasih tahu, Be?” tanya Doni. Yang mendengar saat aku bicara dengan Adit.


“Nggak apa-apa. Pengen ketemu aja. Memangnya kenapa?” sahutku.


“Kirain Babe mau ngerjain petugas tadi. Dia emang agak songong selama ini. Nggak pandang bulu kalau dia pengen sesuatu. Nyeplok semaunya aja,” kata Doni.


Aku hanya menganggukkan kepala mendengar perkataan Doni. Sambil duduk ndeprok di sudut selasar depan kamar, aku pandangi kawan-kawan sesama tahanan yang pagi itu berkeliaran di depan kamar masing-masing. Ngangin.


Beberapa saat kemudian, ku lihat Adit memberi kode. Pak Rudy ada di pos penjagaan. Buru-buru aku masuk ke kamar. Membuka tas kecilku. Mengambil selembar uang Rp 100.000 pemberian istriku. Aku genggam uang itu dan berjalan ke pos penjagaan. 


“Selamat pagi, pak Rudy. Sehat ya,” kataku, menyapa pak Rudy yang sedang berbincang dengan petugas jaga.


“Pagi juga, pak Mario. Alhamdulillah sehat. Pak Mario sehat jugakan,” sahut pak Rudy. 


Kami bersalaman dengan erat melalui sela-sela jeruji besi. Segar dan penuh kharisma penampilan pak Rudy pagi itu.


“Gimana, pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap pak Rudy lagi. Dengan gaya khasnya; ramah.


“O iya, pak Rudy. Ini mau kasih kiriman yang diminta petugas itu,” kataku sambil menunjuk petugas yang tadi menggertak di depan kamarku.


Aku tunjukkan uang Rp 100.000 yang ada ditanganku. Petugas itu langsung menundukkan wajahnya. Pak Rudy  tampak terhenyak. Spontan, wajahnya yang teduh, berubah memerah. Pertanda ia marah.


“Kamu minta apa sama pak Mario?” tanya pak Rudy sambil memandang anak buahnya itu dengan tajam.


Petugas tersebut tidak menjawab. Hanya menundukkan wajahnya. Runtuh semua sikap arogan yang beberapa saat sebelumnya ia pertontonkan dengan garangnya di depan pintu kamarku.


“Nggak apa-apa kok, pak Rudy. Saya ikhlas kasih ke dia. Ketimbang dia ngancam-ngancam mau ngerjain kawan-kawan di kamar kalau saya nggak mau kirim sesuai mau dia,” ujarku. 


Sengaja aku permainkan situasi tersebut. Sekadar memberi efek jera. Beberapa tahanan tampak mendekat. Ingin tahu apa yang sedang terjadi di pos penjagaan. (bersambung)

LIPSUS