Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 47)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 16 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

SEKARANG mau pak Mario seperti apa?” tiba-tiba pak Rudy mengajukan pertanyaan. Suaranya bergetar. Menahan amarah. 


“Saya cuma pengen kasihin permintaan petugas itu saja, pak. Sebab dia tadi pakai ngancam-ngancam. Takutlah saya kalau diancam-ancam begitu, pak,” kataku kemudian. Merendah serendah-rendahnya. 


“Kalau menurut pak Mario, petugas seperti ini tidak cocok bertugas disini, saya pindahkan,” kata pak Rudy lagi. Dengan tegas.


Aku terdiam. Menyadari bila “bola panas” berbalik ke arahku. Setelah berpikir sejenak. Baru aku berani bicara.


“Mohon maaf, pak Rudy. Saya ini hanya tahanan. Bukan siapa-siapa. Pak Rudy komandan disini. Dan sesuai pengarahan saat briefing kemarin, kan Bapak menekankan perlunya kita semua disini saling menghargai, jangan ada penjajahan-penjajahan. Ya tegakkan saja aturannya, pak,” ucapku kemudian. Tetap dengan intonasi suara yang merendah.


“Siap, pak Mario. Saya pasti akan ambil tindakan,” kata pak Rudy. 


Setelah itu, aku menyalami pak Rudy dan berpamitan kembali ke kamar. Saat berjalan melalui selasar, beberapa tahanan memberi acungan jempol ke arahku. Tampak ada kepuasan pada wajah mereka. Ada letupan kelegaan disana.


Ngapain tadi, Be. Bisa-bisanya ngomporin pak Rudy sampai sebegitunya,” kata Asnawi, begitu aku kembali ndeprok di sudut selasar.


Aku hanya tersenyum. Aris dan Reza ikut duduk ndeprok juga. Ijal keluar kamar sambil membawakan kopi dan rokokku.


“Terimakasih, Jal,” kataku, begitu dia menaruhkan kopi dan rokok di depanku.


“Luar biasa gaya mainnya Babe ini ternyata. Halus tapi nyelekit,” ucap Aris sambil memandangku.


“Maksudnya apa ini, Ris?” tanyaku. Pura-pura tidak paham arah pembicaraannya.


“Yang tadi, pembicaraan dengan pak Rudy. Jauh diluar perkiraanku kalau Babe bisa ngemas mainan sehalus itu. Nggak perlu pakai ketegangan, tapi sakitnya maha dahsyat buat petugas arogan tadi,” kata Aris menjelaskan.


“Bener itu, Ris. Aku yang ngedengerin dari balik badan Babe aja sampai gemeteran. Bisa setenang itu Babe bikin orang habis keangkerannya,” ujar Asnawi, menambahi.


“Sebenernya, Babe ini cocok jadi pembunuh berdarah dingin. Ada bakatnya disitu,” kata Reza. Sambil tertawa.


Nggak gitu juga kali. Aku kan tahu diri. Kita ini cuma tahanan. Ya, menghiba itulah bisanya. Nggak bisa juga kita sok gagah. Yang penting kan niatnya. Aku berniat ngingetin aja sama petugas itu, sesuai omongan pak Rudy. Jangan ada penjajahan di kompleks tahanan ini. Itu yang jadi peganganku. Maka pak Rudy juga ngedukung omonganku. Kalau aku salah, ya bisa aja kena jagal,” ucapku kemudian.


“Tapi jujur aku akui, ketenangan Babe mainin situasi bener-bener luar biasa. Acung jempol aku,” kata Aris dengan serius.


“Aku kan belajar dari kamu, Ris. Jadi sadar nggak sadar, banyak ilmu kamu yang aku ambil dan ini tadi baru satu yang ku praktekin. Alhamdulillah berkah,” kataku sambil tersenyum.


Kami semua tertawa bersama. Pagi itu, ada kelegaan tersendiri selepas menerima ancaman. 


Siklus kehidupan acapkali begitu cepat perputarannya. Bahkan kita sendiri seringkali jarang menyadari terjadinya pergeseran tersebut. 


Saat kami masih bercengkrama di sudut selasar depan kamar menikmati ngangin, Gustav datang. Kepala blok kompleks rumah tahanan itu langsung duduk. Tepat di depanku.


“Bang, maafin petugas tadi ya. Dia bisa kena skorsing gara-gara laporan abang tadi,” kata Gustav, sambil meminta izin untuk ikut meminum kopi milik Asnawi.


Lha, aku kan nggak laporin dia, Gustav. Kebetulan aja pas aku ke pos buat ngasihin kiriman sesuai mau dia, ada pak Rudy,” sahutku.


“Iya sih, abang emang nggak sengaja ngelaporin gitu. Tapi karena kejadian tadi, dia langsung dibawa provos, bang. Pasti diproses dia. Kasihan dia, bang,” lanjut Gustav.


Aku diam. Terbaca dengan gamblang jika Gustav memihak petugas jaga yang tadi dengan arogannya menebar ancaman padaku. Padahal sebagai kepala blok kompleks tahanan, semestinya ia lebih memprioritaskan kepentingan tahanan.


“Jadi nurut kamu, aku harus gimana?” tanyaku kemudian.


“Ya abang maafin aja,” ucap Gustav.


“Emang salah apa dia sampai aku harus maafin? Kan dia nggak ada salah sama aku. Justru aku dateng ke pos penjagaan itu karena mau ngasihin apa yang dia mauin,” kataku. Tetap santai. 


“Iya, aku paham maksud abang itu baik. Cuma nggak tepat aja waktu ngasihinnya. Pas ada pak Rudy. Akhirnya jadi bermasalah gini,” kata Gustav lagi. Kali ini dari nada suaranya tampak ada kegalauan tersendiri.


“Sudah, nggak usah kita ngebahas soal itu ya. Kita ini sama-sama tahanan. Jangan malah timbul nggak bagus antara kita gara-gara soal tadi,” ujar Aris. Menengahi.


“Maksudnya bisa nggak bagus antara kita itu apa?” tiba-tiba Gustav bicara dengan nada tinggi.


“Jangan sampai terjadi kesalahpahaman antara kita aja maksudnya, Gustav. Emangnya kamu nggak suka aku ngomong gitu. Salahnya dimana aku ngomong,” balas Aris. Juga dengan nada tinggi.


Gustav tampak geram dengan jawaban Aris. Matanya melotot. Aris pun tidak kalah garang. Mereka bertatapan penuh amarah. Suasana yang semula diwarnai dengan keceriaan, sontak berganti ketegangan.


Aku pegang tangan keduanya. Kencang-kencang. Mereka memandangku. Masih ada amarah menggelora di mata Gustav dan Aris.


“Kalau emang sudah jagoan bener, ayo ke kamar. Aku adu kalian. Siapa yang menang, aku tendang. Yang kalah, aku tampar. Ayo masuk kamar kalau sudah nggak bisa denger omonganku,” kataku dengan suara pelan namun penuh penekanan.


Gustav dan Aris sama-sama diam. Hanya mata mereka masih saling bertatapan. Ada amarah membara disana.


“Mau baikan apa mau berantem. Ngomong sekarang,” kataku lagi.


Kali ini, aku tatap mereka berdua dengan penuh amarah juga. Emosiku sudah mulai meletup. Tersulut karena keegoisan Gustav dan Aris. 


“Iya, bang. Aku minta maaf. Aku emosi dengan kejadian tadi. Karena petugas jaga itu adik iparku. Istrinya adik kandungku. Maka aku kasihan sama dia,” kata Gustav kemudian. Suaranya merendah.  


“Kamu gimana Aris? Masih mau lanjutin perselisihan ini?” tanyaku pada Aris. 


Pria seumuranku itu hanya menggelengkan kepalanya. Pasrah.


“Kalau begitu, kalian salaman sekarang. Dan jangan ada dendam. Kalau sampai aku lihat kalian masih musuhan, aku yang ngejagal kalian,” kataku, masih dengan nada tinggi.


Gustav menjulurkan tangannya terlebih dahulu. Aris menyambutnya dengan setengah hati. Aku tahu, Aris masih merasakan ada yang mengganjal di hatinya atas perkataan Gustav. Namun ia redam demi menghargaiku. 


“Jadi, petugas tadi itu adik ipar kamu, Gustav?” tanya Reza. Setelah suasana mulai mencair kembali. 


“Iya, bener. Adik kandungku istri dia. Memang orangnya sok-sok-an gitu. Tapi namanya sudah karakter, ya mau gimana lagi,” kata Gustav. Seakan meminta pengertian.


Aris tampak akan berdiri. Ingin masuk ke kamar. Ku tahan pahanya untuk tidak bergerak. Dia pun mengurungkan niatnya.


“Terus maksud kamu minta Babe maafin tadi apa?” tanya Reza lagi.


“Biasanya, kalau sudah dibawa provos gini, pelapornya juga bakal dimintai keterangan. Kalau bang Mario ceritain yang sebenernya apa kata adik iparku itu, kebebes dia. Bisa dua minggu dia masuk sel tikus di mapolres ini,” ujar Gustav menjelaskan dengan nada suara galau. (bersambung)

LIPSUS