Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 48)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 17 Februari 2022

Oleh, Dalem Tehang


AKU hanya menyimak pembicaraan saja. Tidak mau memberi komentar apapun. Aku pahami sekarang mengapa Gustav begitu ngotot dalam masalah ini. Karena terkait dengan adiknya.


Deni tamping mendekat. Memanggil Gustav. Menyampaikan jika ia dipanggil pak Rudy dan ditunggu di pos penjagaan.


“Aku izin dulu ya. Minta maaf ya Ris, kalau tadi sikapku kasar,” kata Gustav. 


Sebelum beranjak pergi, ia kembali menyalami Aris. Kali ini dengan kedua tangannya. Menandakan ia sungguh-sungguh menyesali perbuatannya.  


Ku lihat wajah Aris masih memendam amarah. Kedua telapak tangannya beberapa kali mengepal. Dan melepaskan kepalannya dengan perlahan. Aku rasa, ia tengah menurunkan emosinya. 


“Santai dong, Ris. Namanya hidup di penjara, ada aja kejadian yang nggak kita sangka-sangka,” ucapku sambil menepuk-nepuk pahanya.


“Kenapa tadi Babe nahan aku waktu mau bangun dan masuk kamar,” kata Aris, sambil memandangiku.


“Aku nggak mau kamu dianggap pecundang sama Gustav. Ninggalin gelanggang dalam suasana yang masih belum clear bener,” jelasku. 


“Bodo amat dia mau anggep aku apa, Be. Lihat aja. Sekali lagi dia belagu kayak tadi di depanku, emang langsung aku beri dia,” ujar Aris. Masih ada nada marah pada suaranya. 


Aku paham betul. Di saat emosi terlanjur meletup, tidak mudah untuk meredakannya. Karenanya, ku biarkan Aris dengan caranya sendiri untuk kembali menenangkan perasaannya. 


Sebab, masing-masing kita memiliki pola tersendiri untuk memainkan perasaan dan pikiran. Yang tidak bisa disamaratakan dengan orang lain. Disitulah keunikan makhluk Tuhan yang bernama manusia.


Saat adzan Dhuhur mengalun, semua penghuni kompleks tahanan diperintahkan masuk kembali ke selnya masing-masing. Kegiatan ngangin selesai.


“Kok beberapa hari ini istrimu nggak dateng, Be. Cuma kiriman makanan aja. Kenapa?” tanya Aris saat kami rebahan seusai solat dan makan siang.


“Dia lagi dinas luar dari kantornya, Ris. Selama tiga hari. Agendanya sih sore ini balik. Inshaallah besok sepulang kantor juga dia ngebesuk aku,” ucapku.


“O gitu, kirain kenapa-kenapa, Be. Aku khawatir aja ada apa-apa. Anak-anak juga sehat tapi kan,” lanjut Aris.


“Alhamdulillah semua baik-baik aja, Ris. Kalau pun ada apa-apa di rumah, pasti anak-anak atau istriku kasih kabar juga, entah gimana caranya,” sahutku.


“Kamu enak, Be. Sering dibesuk. Waktu itu malah aku lihat istrimu sama beberapa orang gitu. Rame. Semuanya perhatian dan kelihatan prihatin sama kamu,” kata Aris lagi.


“Alhamdulillah, Ris. Perhatian keluargaku sangat besar. Baik dari keluarga istriku maupun adik-adikku. Mereka semua nguatin aku. Waktu itu adik-adikku yang dateng, ditemeni istri. Adik-adikku kan semua tinggal di luar kota, Ris. Jadi sekabaran dulu sama istriku waktu mau ngebesuk. Ya disyukuri aja yang ada, Ris. Enak nggak enak itu kan relatif,” ujarku. 


Ku coba memahami adanya sebongkah kerinduan pada Aris akan perhatian keluarganya. Yang sejak dua bulan ini ia menghuni sel di kompleks tahanan mapolres, istri maupun anak-anaknya tidak pernah sekalipun menemuinya.


“Aku tahu, kamu kangen sama keluarga kan, Ris. Kamu harus yakini, sebenernya mereka juga kangen berat sama kamu. Utamanya anak-anakmu. Percaya aja, ketidakdatangan mereka kesini nggak berarti mereka lepas dari doa buatmu,” ujarku kemudian. 


“Iya, aku percaya mereka doain dan inget aku juga. Tapi kok setega itu sampai mereka nggak mau dateng kesini. Kayak aku sudah dianggep nggak ada aja,” ketus Aris. 


“Sabar aja ya, Ris. Berdoa aja. Allah yang membolak-balikkan hati semua makhluk-Nya. Nggak ada yang nggak mungkin terjadi kalau Allah sudah berkehendak. Berdoa itulah satu-satunya ikhtiar kita saat ini. Lakuin aja dengan terus-menerus dan penuh keikhlasan,” lanjutku. Mencoba terus menyiram kesejukan di jiwa Aris yang tengah berkecamuk tidak karuan.


“Nurut feeling Babe, bakalan nggak keluargaku, utamanya anak-anakku, ngebesuk aku disini?” tanya Aris. 


“Aku yakin anak-anakmu bakal ngebesuk, Ris. Doain aja dengan serius. Panggil mereka dengan hatimu. Allah pasti bukakan jalannya,” kataku dengan penuh keyakinan. 


Mendadak Aris menengadahkan kedua tangannya. Mengaminkan. Tampak ia memang sangat merindukan kedatangan keluarganya, utamanya istri dan anak-anaknya.


Tiba-tiba Reza mendekat. Duduk di antara aku dan Aris yang tengah berbincang pelan sambil rebahan.


“Maaf. Boleh aku tuker pikiran,” kata Reza begitu melihat kami menatapnya.


“Wah, nggak bisa, Reza. Aku nggak mau pikiranku dituker sama pikiranmu,” kata Aris dengan spontan.


Reza mengernyitkan dahinya. Namun sesaat kemudian ia tertawa. Menyadari bila jawaban Aris penuh dengan candaan.


“Kampretlah kamu ini, Ris. Orang serius ngomong malah dimainin,”ujar Reza kemudian. Masih dengan tertawa.


“Makanya santai aja apa-apa itu, Reza. Jangan gupekan, tapi juga jangan diem aja kayak mayat hidup,” sambut Aris. Juga sambil tertawa. 


Aku kagum. Begitu cepat perubahan pada pembawaan Aris. Dari beberapa saat sebelumnya yang penuh kepiluan, menjadi keceriaan bahkan terkesan tanpa beban. 


Ia memang amat piawai menyembunyikan denting kesunyian di hatinya. Kepiawaian yang lahir berkat terpaan berbagai gelombang dalam kehidupan yang telah dijalaninya selama ini. Karenanya, ia tetap tangguh meski gerak raganya dalam keterbatasan.


Aku dan Aris bangun dari rebahan. Menyandarkan badan ke tembok. Ingin mendengarkan apa yang disampaikan Reza.


“Emang ada apa sih?” tanyaku.


“Jadi gini. Terpaksa aku bogkar rahasia hidupku ini ya. Aku kan sudah delapan tahun ini ngilang dari keluargaku di Medan. Aku kerja di Bekasi jadi sopir. Sejak itu, aku bener-bener putus komunikasi sama istri dan kedua anakku. Nah, tadi waktu kita ngangin, aku dipanggil penyidik. Dia bilang ditelepon anakku tadi malam, dan besok mereka mau kesini. Mau mastiin aku disini,” kata Reza mengurai cerita.


“Kok anakmu bisa tahu kamu di penjara?” tanya Aris.


“Kata penyidik, anakku cerita kalau tahunya setelah baca media online. Ada berita kasus lakalantas dan nulis namaku juga. Maka dia upaya untuk bisa komunikasi dengan penyidik dan akhirnya dikasih tahu ke aku tadi. Besok siang anakku sampai disini dan mau ketemu aku,” jelas Reza.


“Ya bagus dong kalau gitu. Terus masalahnya apa?” ujar Aris.


“Aku nggak sanggup ketemu anak-anakku. Rasa bersalah ninggalin mereka selama ini ngebuat aku takut ketemu mereka,” kata Reza. Suaranya bergetar.


“Kenapa mesti takut? Aneh kamu ini. Harusnya kamu bersyukur, Reza. Karena peristiwa lakalantas dan kamu ditahan disini, akhirnya bisa ketemu lagi sama anak-anakmu. Semua ini bukan kebetulan, tapi emang sudah diatur sama Tuhan,” kataku, menyela.


“Tapi kayak mana sikapku pas ketemu anak-anak besok?” tanya Reza. 


Suara Reza begitu bergetar. Menandakan ada irama yag tidak terkendali pada jiwanya. Ada kegalauan yang luar biasa bersemayam di jiwanya yang mengguncang kenyamanannya selama ini.


“Ya biasa aja. Sampein maaf kamu sama mereka, karena kamu ninggalin selama ini. Gitu aja kok jadi ribet,” Aris menukas.


Nggak sesederhana itu juga kali, Ris. Rasa bersalah itu ngejepit hati sekarang ini. Makanya aku bener-bener bingung mau bersikap kayak mana,” kata Reza lagi.


“E, Reza. Kamu itu lebih beruntung dibanding aku. Kamu mau didatengin anak malah bingung. Lha aku, malahan galau nggak karu-karuan karena kepengen dibesukin anak. Jangan kufur nikmat kamu,” lanjut Aris. Nada suaranya agak meninggi. 


Reza terdiam. Wajahnya menunduk. Ada kesedihan mendalam disana. Tampaknya ia menyimpan beragam kisah masa lalu nan kelam. 


“Assalamualaikum,” tiba-tiba sebuah suara salam terdengar dari balik jeruji besi.


Kami spontan melihat ke arah asal suara salam tadi. Ternyata pak Rudy, komandan kompleks rumah tahanan, yang menyapa dan kini ia berdiri sambil tersenyum dari balik jeruji besi. (bersambung)

LIPSUS