Oleh, Dalem Tehang
“MAAF mengganggu obrolannya ini, pak Mario. Bisa minta waktunya untuk kita berbincang-bincang,” kata pak Rudy. Tetap dengan senyumnya.
“Siap, pak,” ucapku seraya berdiri dan mendekat ke jeruji besi.
“Bagaimana kalau kita ngobrol di kamar saja ya, pak,” kata pak Rudy.
Ia mengarahkan matanya untuk melihat sekeliling kamar kami.
“Siap, pak. Pak Rudy kan yang punya kompleks tahanan ini, dimana saja yang Bapak tentukan, saya ikut,” ucapku, yang masih dengan pikiran setengah tidak percaya jika pak Rudy memilih mengobrol di kamar sel.
Seorang tamping datang. Membuka gembok kamar 10. Pak Rudy masuk. Semua penghuni sel berdiri. Menyalami dengan hormat komandan kompleks rumah tahanan mapolres itu. Surprise.
“Baru sekali ini saya masuk kamar tahanan selama bertugas disini,” aku pak Rudy sambil berjalan melihat semua sisi kamar hingga ke kamar mandi.
“Ya beginilah adanya, pak. Maaf kalau di kamar mandi banyak rendeman pakaian. Maklum, Ijal sering males-malesan buat nyucinya,” ucap Aris. Sambil membungkuk hormat.
“Yang penting jaga kebersihan. Jadi nggak ada virus yang bertahan di kamar. Sering-sering lantainya di-pel saja,” kata pak Rudy.
“Setiap habis makan, pasti di-pel kok, pak,” kata Ijal.
“Bagus kalau begitu. Yang penting ya jaga kebersihan. Ngerendem pakaiannya juga jangan kelamaan. Bukan cuma bikin pakaian cepet rusak, tapi baunya itu bisa ngundang virus,” lanjut pak Rudy.
“Siap, pak!” kata Ijal lagi.
“Gimana kalau kawan-kawan duduk di luar dulu, saya mau mengobrol sebentar dengan pak Mario,” ujar pak Rudy. Matanya memandang penghuni kamar 10.
Semua penghuni sel langsung bergerak. Keluar kamar dan duduk di selasar. Ada juga yang mengobrol dengan tahanan di kamar lain lewat jeruji besi. Bertandang.
“Jadi begini, pak Mario. Persoalan pagi tadi kan sudah ditangani provos. Saya yang melaporkannya langsung,” ucap pak Rudy, memulai pembicaraan. Setelah kami duduk berhadapan di tempatku biasa tidur.
“O begitu. Siap, pak. Saya menunggu arahan,” sahutku.
“Nanti malem, pak Mario akan dipanggil provos untuk diklarifikasi. Apa yang akan pak Mario sampaikan nanti,” lanjut pak Rudy. Matanya memandangku dengan tajam. Meminta kepastian.
“Saya sampein apa adanya saja, pak. Untuk apa saya ngarang-ngarang cerita. Toh, provos juga pasti bisa membaca gestur saya,” kataku.
“Pak Mario bener-bener siap untuk menyampaikan apa adanya?” tanya pak Rudy. Ada keraguan dari pertanyaannya.
“Siap, pak!” sahutku. Tegas.
“Pak Mario tidak khawatir kalau dengan keterusterangan itu akan berdampak tidak baik buat diri pak Mario sendiri selama disini,” lanjut pak Rudy. Aku menggelengkan kepala. Mantap.
“Kalau boleh tahu, kenapa pak Mario berani akan bicara apa adanya bila diklarifikasi oleh provos?” tanya pak Rudy lagi. Bahasanya santun dan runtut.
“Sebagai tahanan, saya kan harus mengamankan dan menjalankan perintah Bapak selaku komandan disini. Waktu briefing itu, Bapak menyampaikan, semua pihak yang ada disini harus saling menghargai, menghormati, jangan ada penjajahan dan sebagainya. Yang menurut saya, intinya Bapak tidak ingin ada kekerasan, penekanan atau pemaksaan kepada tahanan. Nah, saya ingin wujudkan itu,” uraiku dengan gamblang.
Pak Rudy terdiam. Wajahnya mengangguk beberapa kali. Tampak ia tengah berpikir keras.
“Kalau menurut pak Mario, hakekat dari arahan saya saat briefing itu apa?” katanya kemudian. Matanya dengan sorot yang tajam terus menatapku.
“Sederhananya, Bapak ingin di kompleks tahanan ini tercipta suasana kekeluargaan. Petugas dan tahanan sama-sama menghargai, saling menjaga dan terus tercipta kondisi yang aman dan harmonis. Begitu menurut saya sih, pak. Mohon maaf kalau saya salah menterjemahkan,” ujarku.
Pak Rudy mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa kali. Sampai kemudian dia berdiri.
“Terimakasih, pak Mario. Lanjutkan apa yang menjadi keyakinan dan sikap pak Mario. Saya mendukung,” kata dia dan kemudian pamit.
Kami bersalaman. Genggaman pak Rudy begitu kencang. Seakan menambah darah untuk semangatku yang menyala-nyala.
“Assalamualaikum,” kata pak Rudy lagi. Dan berjalan keluar kamar sel.
Tidak lama kemudian, kawan-kawan penghuni kamar, kembali masuk. Mereka langsung mengerubungiku. Ingin mendengar cerita.
“Apa obrolan tadi, Be. Cerita dong,” kata Ijal dengan penasaran. Mewakili kawan-kawan penghuni kamar.
“Mau tahu aja, apa mau tahu beneran?” kataku sambil tertawa.
Semua kawan pun spontan tertawa. Teringat dengan gaya Ijal beberapa hari lalu memainkan kami semua.
“Pak Rudy bilang, kalau masalah petugas pagi tadi itu sudah ditangani provos. Dan ternyata memang dia sendiri yang ngelaporin anak buahnya itu. Nanti malem, aku mau diklarifikasi sama provos masalah itu,” kataku memulai cerita.
“Jadi Babe juga mau diperiksa sama provos, gitu?” ucap Reza, menyela. Aku menganggukkan kepala.
“Waduh, bahaya itu, Be. Bisa kenapa-kenapa nanti Babe disana,” lanjut Reza. Ada nada kekhawatiran.
“Nggaklah. Inshaallah nggak ada apa-apa. Aku cuma diminta klarifikasi aja kok. Paling juga diminta cerita kayak mana asal-muasalnya dan sebagainya. Nyantai aja ya,” ucapku. Menenangkan. Meski hatiku sebenarnya juga penuh kegalauan.
“Terus apalagi kata pak Rudy, Be?” tanya Aris. Penasaran.
“Dia tanya, apa aku mau ceritain yang sebenernya atau gimana,” kataku melanjutkan.
“Ceritain apa adanya aja, Be. Petugas itu emang songong. Banyak ngejejekin tahanan selama ini,” tiba-tiba Doni menyela dengan suara keras.
“Jangan kenceng-kenceng kalau ngomong itu, Doni. Kedengeran dari luar. Siapa tahu ada yang nguping di balik pintu,” kata Asnawi. Mengingatkan Doni.
“Lanjutannya gimana, Be,” kata Aris lagi.
“Ku sampein ke pak Rudy, kalau aku mau bilang apa adanya nanti pas diklarifikasi sama provos,” ujarku.
“Apa tanggepan pak Rudy?” Reza menimpali.
“Dia sempet tanya, kenapa kok aku mau nyampein apa adanya. Apa nggak takut kalau nanti ada apa-apa sama aku selama disini,” kataku lagi.
“Apa jawab Babe?” Ijal menyela.
“Aku bilang kalau sebagai tahanan, aku justru mau ngamanin kebijakan pak Rudy. Dia kan maunya semua yang ada di kompleks tahanan ini saling ngehargai, jangan ada penjajahan dan sebagainya. Soal kekhawatiran aku kenapa-kenapa, aku cuma gelengin kepala aja. Tanda kalau aku nggak takut,” uraiku.
“Wuih, bakal seru lanjutan kasus ini, Be. Jadi asyik juga cerita kita di penjara ini,” kata Tomy.
“Kamu cuma jadi penonton, makanya bilang seru, Tom. Coba kalau jadi pemain kayak Babe ini, pasti deg-degan juga-lah. Iya kan, Be,” ujar Ijal menyahuti perkataan Tomy sambil memandangku.
Aku menganggukkan kepala. Membenarkan perkataan Ijal. Betapapun juga, sebagai tahanan lebih sering diposisikan sebagai pihak yang salah. Kondisi itu yang membuat hatiku juga menjadi tidak nyaman. Ada kekhawatiran-kekhawatiran.
Suara adzan Ashar menggema dari masjid di samping mapolres. Tanpa dikomando, semua penghuni kamar bergantian wudhu. Kecuali Pepen. Ia langsung kembali ke tempatnya, dan duduk tepekur. Menghormati kawan satu kamar yang sedang beribadah.
Saat kami masih solat berjamaah, terdengar suara beberapa orang sedang berbincang di depan kamar. Penuh keseriusan, meski suaranya dipelankan.
“Ada apa ini ya, kok para kepala kamar kumpul semua,” kata Pepen. Menyapa beberapa orang yang ada di depan kamar.
Aku masih di sajadah. Melanjutkan doa dan membaca ayat-ayat pendek yang aku hafal.
“Sebentar ya, Babe mah agak lama wiridnya,” aku dengar suara Pepen menyampaikan pada orang-orang yang ada di depan kamar.
Setelah selesai prosesi penyerahan diri pada Yang Maha Kuasa, aku bangun. Sambil melipat kain sarung, ku perhatikan siapa saja yang berbincang di depan kamar. Ternyata para kepala kamar di kompleks tahanan ini.
“Babe, ini kawan-kawan para kepala kamar ada perlu,” kata Pepen sambil menengok ke posisiku.
Aku mendekat ke jeruji besi. Menyalami mereka dari sela-selanya.
“Ada apa ya?” tanyaku pada para kepala kamar.
“Kami mau ngajak ngobrol-ngobrol. Bisa nggak kalau kita ngobrolnya di kamar Babe aja,” kata Bagus, kepala kamar 3.
“Bisa. Minta kuncinya sama tamping,” kataku.
Ijal berteriak, memanggil tamping. Setelah sampai, ia meminta dibukakan pintu sel kamar 10. Namun tamping itu tidak berani membukakan.
“Ada pak Rudy di pos jaga, nggak berani aku ngebukainnya. Nanti kena setrap aku kalau semaunya, Jal,” kata tamping itu.
“Kamu bilang ke pak Rudy. Mohon izin kawan-kawan kepala kamar mau ngobrol di kamar 10. Bilang juga, pak Mario minta izin dibukain pintunya. Gitu aja. Yakin pasti diizinin,” ucap Ijal pada tamping itu.
Tamping tersebut tampak ragu. Ia memandang ke arahku. Ku anggukkan kepala. Spontan, dia bergerak. Berjalan menuju pos penjagaan. Selang beberapa menit kemudian, dia berbalik sambil berlari untuk membukakan pintu kamar. (bersambung)