Oleh, Dalem Tehang
PARA kepala kamar duduk di lantai atas. Tidak semua memang. Hanya kepala kamar 3, 4, 6, 7, 8, dan 9 saja yang ada. Kamar 1 dan 2 khusus untuk tahanan perempuan, sehingga tidak mungkin bisa ikut. Sedang kamar 5 kepala kamarnya si Gustav. Juga tidak ada.
“Gustav kok nggak ada?” tanyaku.
Begitu kami duduk melingkar untuk memulai pertemuan.
“Sengaja nggak kami kasih tahu. Lagian, dia masih tidur,” kata Bagus.
“Oke, kalau gitu. Jadi apa ceritanya ini?” tanyaku lagi.
Bagus memberi isyarat, meminta agar penghuni kamar 10 yang lain keluar terlebih dahulu.
Sehingga pertemuan tersebut hanya benar-benar diikuti dan pembicaraannya didengar oleh kepala kamar saja.
Aku sampaikan kepada kawan-kawan di kamarku untuk keluar, selama kami mengadakan pertemuan. Semua sepakat, bahkan bersukacita karena bisa menikmati suasana luar sel.
“Mohon maaf ini, Babe. Kami semua juga harus manggil Babe walau mestinya dipanggil Kap. Kami ikuti panggilan kawan-kawan di kamar 10 aja. Biar lebih familiar dan menyatu,” kata Bagus sambil tersenyum.
“Mana enaknya aja, nggak ada masalah mau dipanggil dengan sebutan apa juga. Asal jangan pakai nama binatang,” ucapku menyahut. Juga sambil tersenyum.
“Jadi begini, Be. Aku ngewakili kawan-kawan. Terkait dengan pertemuan briefing kemarin itu,” Bagus memulai pembicaraan.
“Iya, silahkan dilanjut aja, Gus,” sambutku. Sambil menghidupkan rokok.
“Kami seobrolan tadi pas ngangin. Jujur, semua keberatan dengan sumbangan Rp 2,5 juta perkamar itu. Keberatan yang disampein kawan-kawan kepala kamar ini, setelah mereka ngobrol dengan penghuni kamarnya masing-masing,” kata Bagus, yang ditunjuk menjadi juru bicara para kepala kamar.
“Oke, lanjut Gus,” kataku. Santai.
“Nah, maka kami pengen ngobrol sama Babe ini. Gimana caranya supaya sumbangan itu nggak sebesar yang diputusin kemarin. Itu juga ngasihinnya pakai jangka waktu alias nyicil,” lanjut Bagus.
Aku terdiam. Sudah terbayang, jika kawan-kawan kepala kamar akan memintaku berada di posisi terdepan untuk menyampaikan aspirasi ini.
“Kami minta bisa diskusi sama Babe. Sebab walau Babe termasuk yang paling belakangan masuk sini dibandingkan kami-kami, tapi Babe yang kami tuakan,” kata Bagus lagi.
“Maksudnya nggak sanggup itu seperti apa, Gus. Apa nggak sanggup secara total, atau siapnya berapa,” tanyaku.
“Kami masing-masing paling tinggi sanggupnya Rp 1,5 juta aja, Be. Lebih dari itu nggak kuat,” ujar Bagus, yang mendapat anggukan dari semua kepala kamar.
“Terus nurut kawan-kawan, gimana jalan keluarnya? Mulai dari nyampein kondisi ini ke pak Rudy, sampai waktu pembayarannya. Atau gimana kalau keputusan masing-masing kamar menyumbang Rp 2,5 juta itu nggak bisa dirubah lagi,” kataku, mengurai segala kemungkinan.
“Nah, itu yang kami bingung, Be. Gimana caranya ngomong dengan pak Rudy. Maka kami kesini, minta Babe cariin jalan keluarnya,” lanjut Bagus.
Aku makin menyadari bila akan dijadikan “peluru” untuk menghadap pak Rudy, komandan kompleks rumah tahanan. Aku tidak mau hubungan baik dengan pak Rudy menjadi rusak karena persoalan ini.
Apalagi, mayoritas kepala kamar sudah cukup lama ditahan disini, yang bisa saja mendadak menjalani proses pelimpahan. Pindah dari rumah tahanan ini. Tertinggallah aku sendiri disini.
“Kalau nurut aku, keputusan kemarin itu nggak bisa dirubah lagi. Pak Rudy kan bilang, kalau semuanya sudah dihitung dengan cermat oleh timnya. Paling jalan keluarnya, kekurangan dari kewajiban sumbangan itu minta waktu satu minggu. Mungkin kalau begitu caranya, pak Rudy bisa memahami,” kataku kemudian.
“Sebenernya, nggak bener juga permintaan sumbangan itu, Be. Kan pasti ada anggaran dari pemerintah untuk rehab-rehab itu. Nggak sewajarnya-lah tahanan dimintain begini,” kata Yosep, kepala kamar 6, menyela.
“Maaf ini, Yosep. Nggak usah kita ngelantur kemana-mana ya. Kita fokus aja sama masalahnya. Kita harus sadar, status kita ini tahanan. Tempat tinggal kita mau dibagusin, kita diminta sumbangan. Wajar ajakan?” ujarku. Memotong.
“Iya, tapi kan ini juga bisa dianggep pemerasan, Be,” lanjut Yosep. Dengan emosi.
“Denger ya, Yosep. Kalau kita bahas, kan ada anggaran dari pemerintah, emang kita tahu ada anggarannya. Emang kita juga tahu berapa jumlah anggarannya. Nggak tahu kan? Maka ku bilang, kita fokus aja ke masalahnya. Apa itu? Kita nggak sanggup kalau kasih sumbangan Rp 2,5 juta. Sanggupnya Rp 1,5 juta. Gitu kan, kawan-kawan,” kataku lagi.
Aku tatap satu-persatu kepala kamar yang duduk melingkar di depanku. Mayoritas menganggukkan kepalanya.
“Bener, Be. Kami emang sanggupnya cuma Rp 1,5 juta itulah. Nah, gimana pak Rudy bisa paham dengan kondisi ini,” ucap Rahmat, kepala kamar 8.
“Maaf ini. Semestinya kemarin itu keberatan kita langsung disampein. Waktu acara briefing. Kita kan yang paham kondisi masing-masing penghuni kamar. Bukan sekarang. Tapi oke-lah. Ayo kita cari jalan keluarnya bareng-bareng,” kataku lagi.
“Kalau di kamar 10 ini kayak mana Babe ngaturnya?” tanya Bagus.
“Hasil briefing kemarin, aku sampein ke kawan-kawan apa adanya aja. Di kamar ini ada 10 orang, satu orang OD. Jadi, masing-masing sokongan Rp 250.000. Aku kasih waktu dua minggu. Buat ngasih sumbangannya, pakai uang kas kamar dulu. Nanti kalau kawan-kawan sudah ada, kan masuk ke kas kamar juga,” uraiku.
Tampak semua kepala kamar menganggukkan kepalanya. Seakan baru mendapat pengetahuan baru untuk masalah sumbangan ini.
“Emang kalian gimana bilang sama penghuni kamar?” tanyaku.
“Kami minta langsung, wajib nyumbang. Itulah terkumpul Rp 1,5 juta. Pusing aku mikirin kekurangannya,” ucap Yosep sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Emangnya nggak ada uang kas kamar?” tanyaku lagi.
“Ya ada-lah, Be. Tapi kan itu buat yang ngedadak-ngedadak. Kayak ngangin atau tiba-tiba harus cas-casan beli rokok lewat penjaga,” lanjut Yosep.
“Pakai aja dulu uang kas kamar itu. Nanti setelah sumbangan kawan-kawan ada, masukin lagi ke kas kamar. Kan selesai,” kataku.
“Terus kayak mana nanti bayar uang ngangin atau cas-casan kalau uang kas masih kosong karena habis buat sumbangan rehab ini,” tanya Bagus.
“Bilang aja uang kas kamar lagi kosong karena buat sumbangan rehab. Nanti kalau sudah ada yang masuk, baru dibayar. Aku yakin petugas juga paham kok. Nggak mungkin-lah mereka macem-macem,” ucapku. Meyakinkan para kepala kamar.
“Nah, cocok ini. Jadi anggep-anggep kita hutang-lah ya kalau ngangin atau ada cas-casan. Gitu kan, Be,” tanggap Rahmat. Aku menganggukkan kepala.
“Oke kalau gitu, Babe. Terimakasih solusinya. Kami semua siap nyumbang sesuai yang ditentuin,” kata Bagus dengan wajah penuh kepuasan, sambil berdiri dan menyalamiku.
“Alhamdulillah. Tetep ada jalan keluarnya ya,” kataku sambil bersalam-salaman dengan para kepala kamar. Sesaat kemudian mereka kembali ke kamarnya masing-masing. (bersambung)