Oleh, Dalem Tehang
SETELAH para kepala kamar keluar, kawan-kawan penghuni sel 10 masuk kembali.
“Jadi apa ceritanya, Be? Kami dengerin tadi, Babe kayak sempet ninggi gitu ngomongnya,” kata Asnawi yang beken dipanggil Nawi.
“Nggak juga, diskusi aja kok, Wi. Mereka bingung soal sumbangan buat rehab kamar itu lo. Sesuai isi briefing kemarin. Aku kasih solusi, pakai aja dulu kas kamar, kan ada. Alhamdulillah, akhirnya semua sepakat gitu,” kataku mengurai hasil pertemuan.
“Kami kira Babe mau dijadiin peluru mereka ngadepin pak Rudy. Kalau sampai gitu, kan nama Babe bisa rusak,” sela Reza. Aku menggelengkan kepala.
Aku buru-buru mandi, karena seperti kata pak Rudy, aku mau dipanggil provos untuk diminta klarifikasi. Malam nanti.
“Jal, air di bak tinggal dikit. Dari keran nggak ngalir lagi. Coba minta kamar lain matiin dulu kerannya. Biar airnya sampai sini,” kataku, seusai mandi.
Setelah mengecek bak mandi, Ijal memanggil tamping. Meminta disampaikan ke kamar-kamar lain agar keran airnya dimatikan. Karena kamar kami yang paling ujung dari kompleks rumah tahanan, sering kali tidak kebagian air lagi.
Sampai kami selesai solat Maghrib, air tidak juga mengalir. Banyak penghuni kamar yang terpaksa belum mandi.
“Coba dulu urus yang bener, Jal. Masak sampai sekarang air nggak ngalir juga,” kata Doni.
“Ya, sudah kan Ijal sampein ke tamping tadi,” balas Ijal.
“Nyatanya masih nggak ngalir juga kan? Maksudku, kamu cepetan dan tanggap apa-apa itu. Jangan lelet amat,” lanjut Doni. Suaranya mulai meninggi. Emosi.
“Kan sudah Ijal bilangin tadi ke tamping, om. Apa iya harus bolak-balik nyampeinnya,” sahut Ijal.
“Kalau perlu, kamu ngomong sampai 100 kali, Jal. Yang penting air ngalir lagi. Gerah kayak gini, gimana nanti bisa tidur. Mikir nggak kamu itu,” ketus Doni.
Dengan wajah bersungut-sungut, Ijal kembali mendekat ke jeruji besi. Berteriak kencang, memanggil tamping.
Seorang tamping datang. Ijal bertanya mengenai masalah keran yang tidak mengalir airnya. Tamping itu bercerita, pesan dari kamar 10 sudah disampaikan ke semua kamar.
“Tapi sampai sekarang airnya belum ngalir juga. Kayak mana ini?” sahut Ijal menanggapi cerita tamping itu.
“Gini aja-lah. Berapa orang lagi dari kita ini yang belum mandi? Ayo berbagi aja, kita numpang mandi di kamar-kamar lain. Bukain pintunya,” kata Aris tiba-tiba. Dan bergerak mengambil handuk kecilnya.
Kawan-kawan penghuni sel 10 menengok ke arahku. Yang tengah duduk bersandar tembok, menunggu adzan Isya. Aku cuma menganggukkan kepala. Setuju dengan ide Aris.
Ada sembilan orang yang bergegas menyiapkan alat mandi. Mereka langsung berdiri di depan pintu kamar. Namun, tamping yang bertugas, tidak bergerak juga.
“Ayo bukain pintunya. Kami ke kamar-kamar lain, mandi disana. Kamu buka juga kamar-kamar itu nanti,” kata Aris. Memerintah.
“Tapi gemboknya di pos jaga, om. Saya nggak berani ngambilnya,” ucap tamping itu. Suaranya bergetar. Takut.
“Bilang ke petugas, minjem kunci. Ceritain perlunya. Selesai. Yang penting kamu yakinin petugas kalau kamu tetep ngawasin,” lanjut Aris. Mulai ada nada kesal pada suaranya.
Tamping itu diam. Dari sorot matanya tampak ia kebingungan. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
“Coba kamu ngedeket sini,” kata Doni, meminta tamping itu mendekat pada posisinya, yang menyandar pada jeruji besi.
Begitu tamping itu mendekat, dengan gerakan sangat cepat, tangan Doni menjambak rambutnya. Membenturkan kepalanya ke jeruji besi dengan sekuat-kuatnya.
Tamping itu spontan menjerit kesakitan. Suaranya melengking. Mengejutkan semua penghuni kompleks rumah tahanan.
Berhamburanlah penghuni kompleks rumah tahanan ke jeruji besi di kamarnya masing-masing. Ingin mengetahui apa yang terjadi. Mengintip dari sela-sela jeruji besi.
Petugas di pos penjagaan juga langsung membuka pintu pemisah dengan ruang tahanan. Masuk ke kompleks tahanan.
“Awas kalau kamu ngadu, aku habisi kamu besok,” ancam Doni pada tamping itu. Begitu mendengar suara sepatu petugas jaga berjalan mendekat.
“Ada apa ini? Kamu kenapa?” tanya petugas jaga begitu sampai di depan kamar kami.
“Maaf, pak. Tadi main-main aja. Karena kaget, saya teriak. Nggak sadar sampai teriak kenceng,” kata tamping itu. Badannya dibungkukkan. Memberi hormat.
“Bener nggak ada apa-apa? Kalau ada yang nganiaya kamu, bilang aja. Kami bantai orangnya. Jangan sok jadi jagger disini,” kata petugas itu dengan suara keras.
Mata petugas beralih. Mengawasi kami semua. Menyelidik. Ada keraguan atas cerita sang tamping. Namun, ia belum menemukan bukti untuk bertindak.
“Bener nggak ada masalah disini, kap?” tanya petugas itu, memandangku.
“Iya, bener, Dan. Nggak ada masalah. Yang bermasalah justru air sejak sore nggak ngalir. Ada sembilan kawan yang belum mandi sampai sekarang,” kataku sambil mendekat ke jeruji besi. Berbincang mendekati posisi petugas jaga.
“O gitu, jadi gimana jalan keluarnya,” ucap petugas. Suaranya sudah kembali datar. Beralih perhatiannya.
“Mohon izin ini, Dan. Kalau diperkenankan, kawan-kawan bisa mandi di kamar-kamar lain. Berbagi saja mereka. Biar cepet juga mandinya,” kataku dengan penuh pengharapan.
“Iya boleh. Gitu aja-lah ya. Nanti saya cek juga kenapa air nggak sampai ke kamar ini,” sahut petugas jaga itu.
Ia perintahkan tamping mengambil kunci sel di pos penjagaan. Dan ia turun langsung membuka pintu kamar sel lainnya untuk kawan-kawan penghuni kamar 10 mandi.
“Alhamdulillah, ada aja jalan keluarnya ya, Be,” kata Ijal, saat melihat kawan-kawan keluar kamar untuk mandi di sel lain.
“Gitu orang mah, Jal. Gerak cepet. Action. Coba kalau aku nggak narik kepala tamping tadi, belum tentu kita ketemu jalan keluarnya. Iya kan, Be,” sahut Doni, sambil menepuk dadanya.
“Iya bener, Doni. Terimakasih atas inisiatifnya ya. Cuma aku ingetin, cukup sekali ini aja kamu berlaku kasar di kamar ini. Sekali lagi kamu kayak tadi, aku keluarin kamu dari kamar ini,” ucapku dengan suara serius, sambil memandang Doni dengan tajam.
Tampak Doni terkejut dengan sahutanku yang bernada keras. Namun ia kemudian menganggukkan kepalanya. Patuh. Perkataan kepala kamar adalah titah. Perintah yang tidak boleh dibantah.
Selepas kami solat Isya jamaahan dan makan malam bersama, petugas jaga yang baru bertugas, mengadakan apel. Tim jaga ini terkenal disiplin tinggi dan jarang memberi toleransi.
Aris yang malam itu memakai celana training, langsung ditegur. Harus berganti celana pendek. Dan tanpa tali.
Semua kain sarung juga diminta untuk dikeluarkan dari kamar. Ditaruh di lemari kecil yang ada di pos penjagaan, setelah dimasukkan ke dalam kantong plastik. Dan diberi tanda dengan menuliskan nomor kamar.
“Gimana kami nanti subuhan, pak,” ucap Tomy, setelah kantong plastik berisi kain sarung milik penghuni kamar ia serahkan ke petugas piket.
“Nanti bilang aja ke tamping, biar dia yang ngambil di pos penjagaan,” kata petugas itu. Tanpa toleransi.
“Kalau tampingnya tidur, bisa-bisa nggak subuhan kami,” lanjut Tomy, setengah bergumam.
“Ya itu risiko. Kan emang nggak boleh ada sarung di kamar. Kenapa juga masih ada,” sahut petugas yang mendengar gumaman Tomy.
Aku memberi kode kepada Tomy untuk tidak melanjutkan perdebatan. Karena sebenar apapun, jika tahanan yang bicara, tetap saja tidak akan ditanggapi dengan baik.
Baru saja selesai apel, seorang anggota provos datang. Berdiri di depan kamar. Memanggilku.
“Pak Mario kan? Pak Rudy sudah memberitahu kalau malam ini akan diminta keterangan klarifikasi mengenai masalah pagi tadi?” ujar dia. Aku menganggukkan kepala.
“Oke, sebentar lagi pintu dibuka. Saya tunggu di pos penjagaan,” katanya. Dan langsung berbalik badan.
“Bismillah ya, Be. Kami doain Babe nggak kenapa-kenapa. Lancar semua klarifikasinya,” kata Aris sambil memelukku.
“Siap. Nyantai kawan-kawan. Inshaallah semuanya baik-baik aja. Terimakasih doanya,” ucapku seraya tersenyum.
Aku tahu, semua penghuni kamar 10 penuh kegalauan setelah mengetahui masalah pagi tadi berbuntut panjang. Apalagi sampai harus berurusan dengan provos. (bersambung)