Oleh, Dalem Tehang
DAN benar. Beberapa menit kemudian, pintu sel dibuka oleh seorang tamping. Ternyata Adit yang bertugas. Mengganti tamping sebelumnya. Yang sempat dianiaya oleh Doni.
“Mari, om. Sudah ditunggu di pos penjagaan,” kata Adit, mengajakku keluar kamar.
Kami jalan beriringan menuju pos penjagaan. Beberapa kali Adit menengokkan wajahnya, memandangku.
“Kenapa, ada yang aneh ya, Adit?” tanyaku sambil tersenyum.
“Om nggak kenapa-kenapa kan,” ucapnya. Ada nada kekhawatiran dalam bicaranya. Aku menggelengkan kepala. Meyakinkan.
“Syukur kalau gitu, om. Adit doain, om baik-baik aja. Sabar ya, om. Namanya juga di penjara, banyak yang nggak terduga,” katanya lagi.
“Tenang aja, Adit. Inshaallah semua baik-baik aja. Jangan khawatir ya,” kataku lagi. Kali ini sambil menepuk-nepuk bahunya. Menenangkan.
Setelah melalui pemeriksaan di pos penjagaan, aku berjalan berdampingan dengan anggota provos yang menyusul ke kompleks rumah tahanan. Kantor provos sekitar 300 meter dari tempatku ditahan.
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung dimintai keterangan. Dibuatkan semacam berita acara pemeriksaan juga.
“Semua yang pak Mario sampaikan tadi betul-betul yang sebenarnya,” kata pemeriksa dari provos, setelah aku menandatangani berita acara pemeriksaan. Aku menganggukkan kepala.
“Pak Mario mau memaafkan petugas jaga tahanan itu, kalau dia meminta maaf?” tanya pemeriksa itu lagi.
“Petugas itu tidak ada salah sama saya, pak. Secara pribadi, kenal juga tidak,” kataku. Santai.
“Jadi kesalahannya, menurut pak Mario dimana?” tanya pemeriksa dengan penuh selidik.
“Saya tidak tahu persis SOP petugas piket penjaga tahanan itu bagaimana, pak. Tapi komandan rumah tahanan sebelumnya menyampaikan beberapa kebijakannya. Diantaranya, semua yang ada di rumah tahanan harus saling menghargai, saling menghormati, tidak boleh ada penjajahan, kekerasan, penekanan, dan kekasaran. Menurut saya, ada point-point dalam kebijakan itu yang dilanggar,” uraiku.
Petugas provos yang memeriksaku tampak tercenung. Berpikir keras. Beberapa kali kepalanya mengangguk-angguk. Sambil matanya terus menatapku. Menyelidik.
“Maksud pak Mario memberi uang kepada petugas itu apa?” tanya dia, lanjut.
“Ya, memenuhi permintaan dia, pak. Dia kan mengancam kami. Utamanya saya sebagai kepala kamar. Kalau tidak saya beri mau dia, kan bisa saja terjadi yang tidak-tidak pada saya dan kawan-kawan di kamar,” kataku, menjelaskan.
“Jadi, pak Mario penuhi permintaan petugas itu karena merasa terancam, begitu,” ucap pemeriksa. Aku mengangguk. Memastikan.
“Tapi seandainya, ada petugas yang minta bantuan dengan cara yang baik, tanpa menekan apalagi mengancam, apakah pak Mario mau membantu?” pemeriksa melanjutkan pertanyaan. Penuh pancingan.
“Sepanjang bisa, saya bantu, pak. Tapi kalau tidak bisa, ya saya sampaikan tidak bisa,” sahutku. Tanpa beban.
“Jadi intinya, pada caranya saja ya, pak. Saling menghargai itu tadi ya. Jangan ada penjajahan, apalagi penekanan,” sambung pemeriksa. Aku mengangguk.
“Bila ada petugas yang melakukan penekanan atau pemaksaan minta sesuatu kepada tahanan, apa yang pak Mario lakukan,” pemeriksa mengejar dengan pertanyaan lagi.
“Saya pasti akan melaporkan kepada komandan kompleks tahti, pak. Karena saya ingin bisa juga mengamankan dan menjalankan apa yang menjadi kebijakannya,” kataku dengan tegas.
“Walau mungkin dengan risiko pak Mario akan mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan selama disini, yang bisa saja dilakukan oleh oknum petugas jaga,” ujarnya lagi.
“Saya siap dengan semua risikonya, pak. Kalau sampai saya dianiaya atau apa, saya pasti lapor ke provos. Benar status kami adalah tahanan, tapi kami juga manusia, pak. Sudah benar apa yang menjadi kebijakan komandan tahti itu, saling menghargai, menghormati, dan jangan ada kekerasan maupun penjajahan. Kalau itu dijalankan, kompleks tahanan ini bisa menjadi rumah besar yang penuh keharmonisan. Tentu dengan tetap menempatkan diri sesuai status masing-masing, pak,” kataku, panjang lebar.
“Oke, kalau begitu, pak Mario. Semua keterangan sudah kami catat. Besok kami laporkan kepada komandan. Beliau yang akan memutuskan nasib petugas itu,” kata pemeriksa sambil berdiri. Menyalamiku.
Baru saja aku akan keluar kantor provos, tiba-tiba semua anggota berdiri tegap. Memberi hormat pada seorang pria berpakaian preman yang baru masuk ruangan.
Pria itu menatapku tajam. Anggota provos yang mendampingiku untuk kembali ke sel, melaporkan apa yang baru dilakukan.
Pria gagah tersebut ternyata komandan provos di mapolres. Pak Heru namanya. Dipandanginya aku dengan serius saat anak buahnya menyampaikan laporan. Sesekali tampak ia menganggukkan kepalanya.
“Jadi anda tidak menganggap oknum petugas penjaga tahanan itu secara pribadi melakukan kesalahan, begitu?” kata pak Heru, komandan provos, itu tiba-tiba. Aku menganggukkan kepala.
“Terus yang menurut anda ada kesalahan, karena petugas tersebut tidak menjalankan kebijakan komandan tahti ya,” ujarnya lagi. Kembali aku menganggukkan kepala.
“Oke, kalau begitu. Sekarang silahkan anda kembali ke ruang tahanan,” sambung dia.
“Terimakasih, pak. Selamat malam,” kataku sambil menundukkan wajah. Memberi hormat.
“Selamat malam dan tetap jaga kesehatan,” sahut pak Heru dengan suara ramah.
Aku pun kembali ke kompleks rumah tahanan. Dihantarkan seorang petugas provos. Dan langsung masuk kamar sel.
Begitu sampai di depan pintu kamar, aku terkejut. Semua penghuni kamar, kecuali Pepen, sedang mengaji. Membaca surah yasin. Kekhusu’an mereka terganggu saat suara pintu kamar dibuka dengan kuat oleh Adit tamping.
Kawan-kawan penghuni kamar menghentikan mengajinya. Berebutan menyalamiku.
“Ayo kita lanjut ngajinya. Belum selesai kan,” kataku, langsung bergabung dengan kawan-kawan.
“Sedikit lagi, Be. Ini sudah bacaan yang ke sembilan. Kami baca yasin doain Babe,” kata Ijal. Suaranya bergetar.
Ku pandangi satu-persatu penghuni kamar. Ada keharuan yang menyeruak. Luar biasa kebersamaan dan kesetiaan mereka.
Rasa senasib sepenanggungan, sekamar seketiduran itu, benar-benar telah mengendap di dalam jiwa. Tidak sekadar fisik semata.
Ijal menjelaskan, mereka terus membaca surah yasin secara berulang-ulang selama aku keluar kamar untuk memberi klarifikasi di kantor provos. Dan baru akan berhenti, setelah aku kembali ke kamar.
“Masyaallah. Alhamdulillah. Terimakasih ya kawan-kawan,” kataku dengan suara tersendat. Penuh keharuan.
Dan kami semua melanjutkan mengaji membaca surah yasin hingga selesai. Selepas doa, semua tetap duduk melingkar di lantai atas kamar sel. Menunggu aku bercerita. (bersambung)