Oleh, Dalem Tehang
“JAL, buat kopi sama teh dulu-lah. Biar lebih seru dengerin cerita Babe,” ucap Doni.
Ijal bergerak. Menyiapkan apa yang diinginkan Doni, mewakili penghuni kamar.
Setelah semua mendapat minuman hangat yang dibuat Ijal, aku pun bercerita tentang proses klarifikasi di kantor provos tadi.
Semua aku sampaikan apa adanya. Karena aku tahu, kawan-kawan sangat membutuhkan informasi yang lengkap. Selain juga berbagi pengalaman. Sesuatu yang seakan menjadi “buku putih” untuk bisa hidup di rumah tahanan.
Mendadak Adit tamping membuka pintu kamar dengan terburu-buru. Kami semua menatapkan pandangan ke arah pintu sel.
“Om, dipanggil komandan. Ditunggu di pos jaga,” kata Adit dengan suara kurang nyaman, seraya menatapku.
“Ada apalagi, Be?” tanya Aris, menyela.
Aku hanya menggelengkan kepala. Dan kemudian mengikuti Adit, berjalan menuju pos penjagaan.
Ku lihat pak Rudy duduk santai di ruang penjagaan. Memakai t-shirt warna putih dilengkapi dengan jaket kulit warna hitam, malam itu tampilan komandan tahti ini sangat gagah dan keren.
“Duduk sini, pak Mario,” kata pak Rudy begitu melihat aku datang.
Ia perintahkan seorang petugas membuka pintu pemisah antara pos penjagaan dengan kompleks rumah tahanan.
Setelah menyalami, aku duduk di samping pak Rudy. Ia minta dibuatkan minuman kopi manis.
“Pak Mario ngopi juga kan?” ucapnya. Aku mengangguk. Pak Rudy memerintahkan dibuatkan dua gelas.
“Jadi bagaimana klarifikasi tadi, sudah disampaikan semuanya?” tanya pak Rudy kemudian. Suaranya tenang. Santai.
“Alhamdulillah sudah, pak. Pemeriksanya juga baik dan fair,” kataku.
“Syukur kalau begitu, pak. Saya khawatir ada apa-apa dengan pak Mario, maka malam-malam begini saya kemari. Biasanya, saya hanya memantau perkembangan dari rumah. Sesekali saja kesini kalau malam, itu pun jika benar-benar ada yang urgent,” lanjut pak Rudy.
“Terimakasih banyak atas perhatiannya, pak. Saya malah ngerepotin jadinya. Alhamdulillah semua tadi berjalan dengan baik. Bahkan terakhir saya bertemu pak Heru, komandan provos, dan ditanyakan juga tentang pernyataan saya,” uraiku.
“O begitu, syukur kalau pak Mario juga sudah kenal dengan pak Heru. Beliau itu komandan yang baik. Tegas dan bijaksana,” sahut pak Rudy dengan tersenyum.
Saat kami masih berbincang, tampak empat orang berjalan ke arah pos penjagaan. Satu orang berpakaian preman berjalan di depan, tiga lainnya berpakaian dinas mengiringi di belakangnya.
“Maaf, Dan. Provos kemari,” seorang petugas jaga melapor kepada pak Rudy. Komandan rumah tahti itu hanya menganggukkan kepalanya.
“Malam, Dan,” sapa pria berpakaian preman itu begitu masuk pos penjagaan dan melihat pak Rudy. Ternyata itu pak Heru, komandan provos.
Setelah menyalami, pak Heru duduk di samping pak Rudy. Ia juga menyalamiku.
“Izin melakukan kontrol kamar, Dan,” kata pak Heru kemudian.
“Silahkan,” kata pak Rudy sambil memerintahkan petugas jaga membuka pintu penghubung dan mendampingi provos yang akan melakukan kontrol kamar.
Sewaktu tiga anggota provos sudah masuk kompleks rumah tahti, pak Heru menyatakan kamar 10 tidak perlu dilakukan pemeriksaan.
“Kamar 10 tidak usah dicek. Kita percaya kepada kepala kamarnya. Tidak akan ada yang aneh-aneh,” kata pak Heru.
Ketiga anggota provos itu menjawab berbarengan: “Siap..!”
“Terimakasih kepercayaannya, Dan,” kataku, merespon perintah pak Heru pada anak buahnya. Ia hanya tersenyum.
“Pak Mario ini memang kawan, Dan,” tanya pak Heru kemudian kepada pak Rudy.
“Iya, kawan dekat saya. Makanya kalau pas kesini, saya ajak ngobrol. Biar nggak bete di kamar terus,” ucap pak Rudy. Nada suaranya santai namun tegas.
“Siap..! Maaf pak Mario. Saya tidak tahu kalau anda kawan dekat senior saya. Beliau selama ini banyak membimbing saya,” kata pak Heru sambil mengarahkan pandangannya ke arahku. Dan menganggukkan kepalanya.
Aku pun menganggukkan kepala. Menghormati atas penghormatannya.
“Pak Heru ini orang baik, pak Mario. Ketegasan dan disiplinnya luar biasa. Tapi lentur dan bijak. Bangga saya punya yunior yang cepat kariernya,” sahut pak Rudy. Membanggakan pak Heru.
Aku tersenyum dalam kekaguman. Dua perwira yang sama-sama saling menghormati. Dan tampak saling mendukung dalam kesuksesan tugas dan karier masing-masing.
Tanpa terasa, perbincangan kami sampai menjelang pagi. Baru tersadar saat suara mengaji pertanda sebentar lagi adzan Subuh, terdengar dari masjid di samping mapolres.
“Astaghfirullah, sudah mau Subuh ya. Ayo kita bubar dulu. Maaf pak Mario. Jadi mengajak begadang ini,” ucap pak Rudy. Kami pun saling bersalaman dan berpisah.
Pak Rudy dan pak Heru berjalan ke parkiran kendaraan untuk kembali ke rumah masing-masing, aku kembali ke ruangan sel.
Begitu masuk kamar, aku disambut Aris, Asnawi, dan Doni. Wajah mereka tampak tegang.
“Kok mukanya pada tegang gitu, emang ada apa?” tanyaku.
Seakan tidak paham bila mereka sengaja menunggu kedatanganku kembali ke kamar.
Dan semakin aku sadari, jika pondasi kebersamaan penghuni kamar 10 ini memang sangat kokoh.
“Kami mikirin Babe, kok nggak balik-balik, ada apa,” ucap Asnawi.
“Khawatir Babe ada apa-apa aja. Kami nggak bisa tidur,” kata Aris sambil memandangiku.
“Terimakasih banyak ya kawan-kawan. Alhamdulillah, aku baik-baik aja. Malah ngobrol santai dengan pak Rudy dan pak Heru komandan provos tadi di pos,” kataku.
“O, ada komandan provos juga ya ngobrolnya, Be. Pantes tadi kamar kita nggak diperiksa sama provos. Wah, bakal aman terus nih kamar kita ke depannya,” ujar Doni, yang memang mempunyai pikiran-pikiran cerdik penuh intrik.
“Kamu mah cuma mikirin cari aman aja, Doni,” ketus Asnawi.
“Lha, mau mikirin apalagi kita disini coba? Kalau digubyah-gubyah terus, kan makin buat kita nggak nyaman, tersiksa lahir batin. Boro-boro ngerasa aman,” sahut Doni sambil tertawa.
“Yang penting, kita tetep harus ikuti aturan dengan baik. Jangan karena ada toleransi, malah semaunya. Aku nggak mau gitu. Dan aku nggak mau lagi lihat kamu dan yang lain-lain nongkrong nggak karuan di depan sel perempuan itu, Doni. Kalau masih kalian lakuin, pasti aku pindahin sel,” kataku dengan tegas.
“Siap, Be. Kemarin-kemarin itu kan karena ngehargai pak Edi. Namanya juga aku ini anak buah. Kan tergantung gimana bos aja. Apalagi ini di penjara, mana maunya kepala kamar, kami ikut,” sahut Doni.
Suara adzan Subuh mengalun syahdu dari masjid di samping mapolres. Kami solat jamaahan. Selepas itu, aku rebahkan badan. Mengantuk berat setelah begadang semalaman.
Tiba-tiba terdengar suara pintu sel dibuka. Ngangin. Semua penghuni keluar kamar masing-masing.
Seorang petugas jaga masuk ke kamar. Mengecek penghuni. Saat itu aku jadikan kesempatan untuk meminta izin tidak keluar kamar ngangin, karena mengantuk berat.
Petugas itu memberi izin. Karena ia tahu, semalaman aku berbincang di pos penjagaan dengan komandan tahti dan provos.
Ketegasan yang dipagari dengan sebuah pengertian, memang bisa membuat nyaman. Meski lama sebentarnya tidak ada jaminan. (bersambung)