Oleh, Dalem Tehang
SEKITAR dua jam, aku terlelap tidur di tengah suasana bising para tahanan yang sedang ngangin.
Mereka bergerombol di depan pintu sel dan memenuhi sepanjang selasar. Bercengkrama dengan sesama.
“Itu Babe sudah bangun. Kasih tahu Gustav, katanya mau ngobrol sama Babe,” kata Aris kepada Ijal. Mereka berdua tengah berdiri di depan kamar.
Aku lihat Ijal bergerak. Memberitahu Gustav, kepala blok kompleks rumah tahanan. Aris masuk ke kamar, mendekatiku dan duduk di sampingku.
“Tadi sudah tiga kali Gustav kesini, katanya mau ngobrol sama Babe. Kami sampein jangan diganggu sampai Babe bangun sendiri. Karena baru masuk kamar pagi ini,” ucap Aris memberi penjelasan.
Tidak lama kemudian, Gustav datang dan langsung duduk di sampingku. Ia bawakan aku secangkir kopi hangat.
“Maaf, bang. Tadi aku tiga kali kesini. Tapi abang lagi tidur. Aku nggak berani ngebangunin,” kata Gustav. Membuka obrolan.
“Iya, Aris juga sudah cerita kok. Aku baru tidur abis subuhan tadi, Gustav. Diajak begadang di pos penjagaan,” sahutku. Sambil menikmati kopi hangat yang dibawa Gustav.
“Aku tahu kok abang ngobrol di pos penjagaan semaleman. Asyik bener kayaknya,” ujar Gustav, seraya tersenyum penuh arti.
“Sebenernya sih cuma ngobrol ngalor-ngidul aja, Gustav. Nggak ada yang penting-penting amat. Alhamdulillah bisa diajak ngobrol sama komandan-komandan,” kataku. Dengan suara kalem.
“Itu yang luar biasa, bang. Diajak ngobrol sama komandan-komandan. Apalagi posisi jadi tahanan gini. Lha, lagi bebas di luar aja nggak pernah ketemu, boro-boro bisa ngobrol semaleman,” tanggap Gustav.
“Itulah nikmat Allah, Gustav. Bersama kesulitan, ada kemudahan. Bersama kesusahan, ada kebahagiaan. Yang penting ikhlas dan terus mensyukuri yang ada,” ucapku. Terus mencoba membangun optimisme dalam keterpaksaan. Minimal untuk diri sendiri.
Aku dan Aris tahu persis apa yang akan dibicarakan Gustav sampai beberapa kali datang ke kamarku.
Tidak lain menyangkut nasib adik iparnya yang menjadi petugas jaga tahanan dan bermasalah denganku, sehingga harus menjalani pemeriksaan provos.
“Omongin aja yang mau kamu sampein, Gustav. Nggak usah basa-basi,” kata Aris.
Ada nada tidak sabar pada diri Aris. Karena ia sempat bersitegang dengan Gustav mengenai masalah adik iparnya itu.
“Nyantai aja sih. Biar abang melek beneran dulu. Jangan-jangan sekarang ini nyawanya baru separo,” balas Gustav. Setengah bercanda.
Kepala blok kompleks rumah tahanan ini berusaha untuk tetap santai. Meski tidak bisa menutupi, jika ada kekesalan di hatinya dengan pembicaraan Aris.
“Jadi gini, Gustav. Aku tahu yang mau kamu dengar. Perlu kamu tahu, aku sampein apa adanya dalam klarifikasi di provos soal iparmu itu. Aku nggak ada masalah pribadi apapun, kenal juga nggak dengan dia. Waktu aku ditanya, jadi dimana salahnya, ku bilang karena dia nggak ngamanin kebijakan pak Rudy. Soal saling ngehargai, jangan ngejajah, dan sebagainya itu. Gitu doang, nggak lebih, juga nggak kurang,” kataku. Mengurai apa yang ingin diketahui Gustav.
Tampak Gustav manggut-manggut. Mencoba memahami apa yang aku sampaikan. Sesuatu yang memang ia tunggu-tunggu.
“Kira-kira gimana kelanjutan masalahnya ya, bang?” tanya Gustav, beberapa saat kemudian.
“Nah, aku nggak paham kalau soal itu. Tapi kata pemeriksa, semua kembali ke komandan,” sahutku.
“Tolong dibantu sih, bang. Gimana caranya adik iparku itu nggak kena hukuman. Apalagi sampai masuk sel tikus selama 14 hari,” kata Gustav lagi.
“Gimana aku mau bantu, Gustav? Kita kan tahanan. Bisa diajak ngobrol sama komandan aja luar biasa, seperti kata kamu tadi. Berdoa ajalah. Aku optimis kok, nggak berat-berat amat hukumannya. Itu juga kalau ada hukuman. Bisa-bisa malah sekadar peringatan,” kataku mengurai.
Wajah Gustav tampak muram. Kelihatan ada kesedihan mendalam disana. Rasa sedih bukan karena memikirkan nasib dirinya yang terpenjara, namun membayangkan kesusahan yang bisa saja dialami adik kandungnya, istri petugas jaga yang bermasalah denganku.
Acapkali, kita memang secara sadar atau tidak, mengabaikan keperihan pada diri sendiri. Dan lebih memprihatinkan nasib orang lain, meski belum tentu hal tersebut menjadi kenyataan.
“Tolong-lah, bang. Bantu adik iparku itu,” lagi Gustav mengharap.
“Coba kasih tahu, gimana cara ngebantunya?” tanyaku.
“Cabut laporan abang ke provos itu,” ucapnya penuh penekanan. Ada nada benar-benar penuh pengharapan.
“Wah, kamu salah, Gustav. Aku nggak pernah ngelaporin iparmu. Aku cuma diminta klarifikasi. Tanya aja dengan anggota provos, kamu kan banyak kenal,” jelasku dengan serius.
“O gitu, jadi siapa dong yang ngelapor ke provos? Kalau sampai ketahuan, pasti aku hantem orangnya, bang. Sudah kepalang masuk sel ini,” lanjut Gustav dengan nada geram.
“Cari tahu aja sendiri, Gustav. Aku nggak tahu. Dan buatku, urusan ini sudah selesai dengan aku diminta klarifikasi,” tegasku.
“Oke kalau gitu, bang. Maaf kalau aku sudah menduga abang yang ngelaporin iparku,” ujar Gustav dan buru-buru menyalamiku dengan penuh hormat. Dilanjutkan beranjak keluar kamar.
Sepeninggal Gustav, aku dan Aris saling berpandangan. Kami sama-sama mempunyai penilaian sendiri dalam masalah ini.
“Aku kira, tadi Babe mau ceritain apa adanya soal ini,” kata Aris, memecah suasana yang terfokus pada pikiran masing-masing.
“Ya nggak mungkin-lah, Ris. Pak Rudy cerita semuanya ke aku kan karena faktor kepercayaan. Aku nggak mau ngerusak hubungan baik yang sudah terjalin,” sahutku sambil tersenyum.
“Aneh emang nasib kita ini ya, Be. Kawan-kawan diluaran yang dulu deket, sekarang ngejauh bahkan ngilang. Tapi disini, kita malah ketemu orang-orang baru yang inshaallah baik dan lebih care. Apalah hikmah dari perputaran nasib kita ini ya,” kata Aris.
Matanya menerawang. Menembus plafon ruangan sel. Seakan mencari sebuah jawaban.
“Nggak usah dipikirin soal hikmahnya, Ris. Lakoni aja yang ada ini dengan senang hati. Itu wujud penerimaan atas takdir. Enjoy-enjoy aja-lah,” sahutku.
Aku sadar benar, untuk tidak terbawa alam pikir Aris dalam menelusuri pencarian akan seberkas hikmah. Karena hal itu merupakan misteri kehidupan yang sepenuhnya hak Sang Maha Pengadil. Biarlah waktu yang akan mewujudkannya.
Ijal masuk kamar dengan terburu-buru. Memberitahu aku diminta ke pos penjagaan.
“Ada apa emangnya, Jal?” tanyaku. Agak heran.
“Kata petugas ada istri dan anak Babe,” sahut Ijal. Di tangannya ada dua kantong plastik berisi makanan. Bawaan istriku, Laksmi.
Spontan aku berdiri. Setelah menyemprotkan pewangi badan ke kaos yang ku pakai, buru-buru aku keluar kamar dengan wajah riang gembira. Sambil menenteng kantong plastik berisi pakaian kotor.
Ternyata benar. Istriku, Laksmi, dan anak bungsuku, Halilintar, ada di pos penjagaan. Duduk di kursi panjang sambil berbincang dengan petugas piket.
Begitu melihat aku datang, istriku dan cah ragil-ku, bergerak mendekat ke jeruji besi. Ku peluk mereka berdua dari sela-sela besi pemisah itu. Peluk penuh ungkapan kasih sayang.
Ada kerinduan yang sangat mendalam setelah beberapa hari tidak bertemu istriku karena ia dinas luar dari kantornya. Apalagi pada Halilintar, cah ragil-ku, yang baru pertamakalinya menengok sejak aku masuk bui. (bersambung)