Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 55)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 24 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


AYAH sehat-sehat aja kan? Kiriman makanan yang dibawa Rayhan tetap diterima juga kan?” tanya istriku sambil mengelus-elus pipiku. 


“Iya, semua kiriman bunda masuk kok. Alhamdulillah, ayah sehat dan tetep semangat. Terimakasih ya, cinta,” ucapku. Dan mencium keningnya.


“Bunda kemarin sore sampai rumah. Alhamdulillah, semuanya baik-baik aja. Tugas dinas luar juga mulus semuanya, tanpa kendala. Tadi nduk lagi ada kawannya, jadi sama adek aja ngebesuk ayah,” kata istriku lagi.


“Gimana kabarmu, le. Sang ketua OSIS kebanggaan ayah ini tetep semangat kan,” kataku, menyapa Halilintar yang biasa dipanggil Adek.


“Adek sehat dan tetep semangat dong, ayah. Kan ayah selalu doain adek,” kata Halilintar dengan suara mantap.


“Alhamdulillah, ayah bangga padamu, le. Jangan pernah padamkan semangatmu ya. Hidup ini penuh warna. Jalani aja dengan sabar, tenang, dan yakin akan adanya takdir baik buat kita,” kataku. Menyemangati Halilintar. 


Ku cium kepala cah ragil-ku dari sela-sela jeruji besi. Ada keharuan disana. Berbaur dengan rasa salah, karena tidak bisa selalu ada di sampingnya. Di saat ia menapaki dunia remajanya. Proses kehidupan seorang anak manusia dalam pencarian jati dirinya.


Halilintar menatapkan matanya ke sekeliling kamar tahanan. Ia pandangi puluhan orang dengan beragam latar belakang menyatu dalam satu suasana yang tidak biasa. Riuh-rendahnya percandaan mereka, tampak membuat ia tergerus kenyamanannya.


Berkali-kali aku lihat Halilintar mengernyitkan dahinya. Terutama saat ada tahanan yang berkata dengan kalimat-kalimat kasar atau merendahkan. 


Anak bungsuku memang memiliki perasaan yang halus, jauh dari kekasaran apalagi kekerasan. Ia sosok yang amat bersahaja. Merendah dan mengalah adalah perilaku kesehariannya.


“Nggak apa-apa mereka itu, le. Bercandaan aja ngomong kasar dan keras itu,” kataku. 


Mencoba memahami apa yang membuatnya tampak kehilangan kenyamanan.


“Emang pada di luar gini ya, ayah. Kapan di dalam selnya?” tanya Halilintar.


“Ini mereka pada di luar kamar karena ngangin, dek. Sehari semalem minimal dua kali bisa bebas keluar kamar kayak gini. Selebihnya ya harus di dalam sel masing-masing,” ucap istriku. Menjelaskan.  


“Kalau kamar ayah dimana?” tanya Halilintar lagi.


“Ayah di kamar 10. Paling ujung. Nggak kelihatan dari sini,” lanjut istriku.


Halilintar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba menerawang posisi kamarku yang berada paling ujung dari kompleks rumah tahanan tersebut.


Aku memahami, Halilintar hilang kenyamanannya melihat lingkungan rumah tahanan. 


Ada rasa ketidaktegaan, aku harus hidup dalam lingkungan yang penuh dengan nuansa kasar dan keras semacam itu. 


“Bunda, adek laper. Kita pulang yok,” kata Halilintar, tiba-tiba.


Istriku terhenyak mendengar perkataan Halilintar. Kami berpandangan. Dan sama-sama memahami ketidaknyamanan anak bungsu kami dengan situasi yang ada di hadapannya. 


“Tadi mau diajak sarapan, katanya ketemu ayah dulu yang penting. Ini baru ketemu, sudah ngajak pulang. Gimana to kamu ini, dek. Bunda belum sempet cerita-cerita sama ayah,” ujar istriku. 


“Ya sudah, kalau adek mau pulang, nggak apa-apa. Ayah seneng adek sudah ketemu ayah. Ya, disinilah ayah dan yakin ayah baik-baik aja. Jangan khawatirin ayah ya. Ayah pasti kuat,” kataku, sambil memeluk Halilintar. 


Anak bungsuku itu pun memelukku. Dengan sangat kencang. Ada getaran kuat saat kedua tangannya merengkuh badanku. 


Pergulatan di batinnya begitu luar biasa. Dan matanya pun memerah. Disusul, sebutir air menggantung disana.


“Adek harus kuat ya. Ayah nggak apa-apa kok. Doain semua baik-baik aja,” ucapku lagi. Ku usap airmatanya.


“Ya sudah kalau begitu, kami pamit ya, ayah. Nanti bunda usahain bisa kesini lagi. Itu tadi bunda bawa makanan untuk makan siang dan malem. Adek yang milihin makanannya,” ujar istriku, seraya mengambil kantong plastik berisi pakaian kotor dari tanganku.


“Oh ya, adek yang milihin makanan buat ayah ya? Terimakasih yo, le. Inget kan pesen ayah, jangan pernah tinggal solat. Cuma itu aja,” kataku. 


Seulas senyum sempat ditunjukkan Halilintar buatku. Ada damai menyusup relung hatiku. Senyum tulus seorang anak pada ayahnya yang tengah terkungkung kebebasannya, amat sangat begitu berarti. 


Ku perhatikan langkah istri dan anak bungsuku saat meninggalkan kompleks rumah tahanan. 


Dengan penuh kasih sayang, istriku merangkul Halilintar yang terus menundukkan wajahnya, sepanjang jalan. Sampai sosok mereka tidak tampak lagi saat memasuki parkiran mapolres.


Setelah pamitan pada petugas jaga, aku kembali ke kamar. Ku lihat Aris sedang menyusun kaos ke dalam kantong plastik yang menjadi bantalnya.


“Kok cepet, Be? Biasanya kalau nyonya dateng, lama ngobrolnya?” tanya dia, begitu melihat aku masuk kamar.


“Anak bungsuku kayaknya kurang nyaman lama-lama disini, Ris. Ngeliat lingkungan tahanan dan kebetulan lagi ngangin gini, buat dia nggak tega ayahnya ada disini,” ucapku. Sambil tersenyum kecut.


“Siapa juga yang tega ngeliat ayahnya di tahanan kayak gini-lah, Be. Apalagi anak-anak kita. Cuma orang-orang yang punya kelebihan dalam mental dan psikologisnya aja yang bisa ngadepin suasana kayak gini dengan nyantai,” ujar Aris. 


Tiba-tiba Reza masuk kamar. Wajahnya tampak penuh kegusaran. Dan langsung merebahkan badannya di tempat biasa ia tidur.


“Kamu kenapa, Reza?” tanya Aris. 


Reza hanya menggelengkan kepalanya sambil menutupi wajahnya dengan kaos. 


Aku beri isyarat pada Aris untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. Ruang tahanan sering kali melahirkan suasana yang jauh dari yang kita perkirakan. Hal-hal yang kita sangka baik-baik saja, bisa berubah dengan mendadak tanpa bisa dikontrol. 


Suara adzan Dhuhur terdengar dari masjid di dekat mapolres. Semua tahanan diperintahkan masuk kembali ke selnya masing-masing. 


Seusai solat berjamaah, kami makan siang. Menikmati makanan yang dibawa istriku, Laksmi, pilihan cah ragil-ku, Halilintar. Ayam goreng spesial Mas Yanto Lamongan.


Siang itu, angin merayapi ruang tahanan dengan kencangnya. Menghapus suasana panas dan sedikit pengap. Aku rebahkan badan. Tidur. Pun Aris yang ada di sebelahku. Sampai suara adzan Ashar menggema, baru aku bangun.


Mandi sore kali ini terasa sangat segar dan membuat badan fresh. Akibat panas terik dan angin kencang pada siang hari tadi.


Ijal baru saja menaruhkan cangkir kopi di depanku, saat Reza duduk. Berhadapan dengan posisiku.


“Kamu kenapa?” tanyaku. Melihat wajah Reza yang tampak sangat tegang.


“Tadi anak-anakku sama menantu dateng kesini, Be. Aku di-bond penyidik waktu kita lagi ngangin. Kami ngobrol di ruangan penyidik. Tapi malah ngebuat aku makin ngerasa kayak nggak dihargai sama sekali,” ucap Reza dengan suara tertahan. Ada kekesalan nan menggelegak pada jiwanya.


“Alhamdulillah. Syukur kalau kamu ketemu lagi sama anak-anakmu, Reza. Berarti silaturahmi kalian terjalin lagi. Nggak usah ngebahas yang nggak enaknya-lah. Kalau nggak ada kejadian ini kan belum tentu kamu bisa ketemu anak-anakmu lagi. Inilah misteri kehidupan yang diskenariokan Tuhan,” kataku dengan panjang lebar, menanggapi pembicaraan Reza, sambil menikmati kopi pahit di sore hari.


“Bersyukur sih emang, Be. Tapi, omongan anak-anakku itu nggak pantes disampein pada ayah mereka. Apalagi mereka maksa aku buat surat nyetujuin cerai sama mama mereka. Kan kelewatan itu anak-anak. Dateng bukannya bawa seneng, malah buat senep aja,” lanjut Reza. Kekesalannya masih menggumpal.


“Aku paham perasaanmu, Reza. Tapi coba, kita sama-sama mawas diri ya. Seringkali kita sebagai ayah, sadar nggak sadar, nyepelein anak-anak kita sendiri. Kita egois dengan sikap kita sendiri. Keegoisan yang tumbuh subur atas nama status sebagai ayah. Ini fakta lo, Reza. Bukan cuma di kamu, tapi juga di aku, dan ku kira juga banyak ayah-ayah lain yang berperilaku kayak gini,” kataku dengan nada pelan.


Reza terdiam. Wajahnya menunduk. Sesekali tangannya memukul lantai. Ekspresi dari adanya kekesalan yang menyelimuti jiwanya. Kekesalan yang hadir begitu kencang saat badan sedang terpenjara. (bersambung)

LIPSUS