Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 56)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 25 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang 


LAMA kami terdiam. Ijal membawa secangkir teh pahit buat Reza. Juga menaruh sebatang rokok di dekat cangkir tehnya. 


Reza hanya menengokkan wajahnya sesaat pada Ijal. Sambil menganggukkan kepala. Ucapan terimakasih tanpa kata.


“Anak-anakku tadi langsung marah besar begitu ketemu. Dan mereka masih disini, Be. Nginep di hotel depan mapolres ini. Besok siang mereka mau kesini lagi. Ambil surat dari aku yang nyetujuin kalau mama mereka mau ajuin gugatan cerai,” kata Reza kemudian. 


Dua tegukan teh pahit dan beberapa kali sedotan rokok, mampu memecah buncahan keterdiamannya beberapa saat ini. Aku hanya diam. Bingung harus memberi komentar apa. 


Karena, di saat seseorang menumpahkan kekesalannya, kita harus menahan diri dari pernyataan yang menyingkap kebenaran, tapi menambah beban bagi yang tengah berada dalam putaran kekesalan. 


Namun, di sisi lain, kita juga tidak mesti memberi pernyataan yang sekadar untuk menyenangkan hati, seakan memahami adanya kekesalan itu, jika hal tersebut berpunggungan dengan kebenaran. 


Dan faktanya, penghargaan atas nama kemanusiaan, acapkali, memaksa kita untuk perlahan keluar dari fatsun; katakan kebenaran walau itu menyakitkan. 


Reza masih menatapku. Menunggu pandanganku atas apa yang tengah dihadapinya. Tanpa sadar, aku mengangkat bahu. Tidak tahu harus bicara apa.


“Nurut Babe, aku harus kayak mana?” tanya Reza, setelah cukup lama memandangiku. 


Ada nada paksaan aku harus menyampaikan pandangan. Ku tatap matanya. Memang ada harapan besar untuk aku bisa memberinya pencerahan. Memecah kekesalan hatinya.


“Maaf ini, Reza. Sebenernya, kamu nggak perlu saranku. Kamu mawas diri aja. Kenapa anak-anakmu begitu marah sama kamu. Temuin dulu jawabnya. Dan yang tahu persis soal itu, ya cuma kamu,” kataku kemudian.


“Aku kan dulu pernah cerita, gimana keluargaku. Karena ada masalah dalam bisnis, ku tinggal mereka pergi, dan sampai kejadian ini sudah delapan tahun aku ngilang dari mereka,” sahut Reza. Ada nada ketidakpuasan atas perkataanku.


“Emang sih, kamu pernah ceritain kisah rumah tanggamu. Tapi yang tahu persis detailnya kan kamu. Lagian, kita sama-sama paham, penjara itu tempatnya orang jual kisah. Nah, kisah yang sebenernya, ya cuma kita sendiri yang tahu,” kataku lanjut.  


Reza mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkali-kali. Sesekali ia menyeruput teh pahit di cangkir yang ada di depan tempat duduknya. 


Jari-jari tangan kirinya terus menjepit sebatang rokok, yang rutin ia hisap dan hembuskan asapnya kuat-kuat.


“Jadi apa yang nurut Babe harus aku lakuin?” tanyanya lagi. 


Pandangannya tajam ke arahku, yang duduk bersandar dinding kamar mandi.


“Mawas diri aja. Bedah dirimu sendiri,” ucapku. Pelan.


“Caranya kayak mana?” Reza menyela cepat.


“Coba posisiin kalau kamu jadi anakmu. Bakal marah nggak kamu sama ayah yang ninggalin kamu gitu aja selama delapan tahun. Nggak ada kabar, nggak ada berita. Sampai ada kasus lakalantas ini, terbuka peluang untuk bisa ketemuan,” ujarku. Mengurai. 


Ku pandangi Reza. Pria separuh baya itu menundukkan wajahnya. Sesekali ada gerakan pelan. Menganggukkan-anggukkan kepalanya. Memang, perkataanku penuh dengan penekanan-penekanan. 


“Gimana nurut kamu, kalau kamu jadi anakmu, Reza?” giliran aku yang bertanya. 


Setengah terkejut, Reza mengangkat wajahnya. Ia mengangguk. Pelan. Tanpa suara.


“Maksudnya ngangguk itu apa?” tanyaku lagi. Kejengkelan mulai merayap di pikiranku.


“Iya, bener, Be. Kalau aku jadi anakku, pastinya ya marah besar,” ucapnya, dengan suara tersendat.


“Nah, salah nggak kalau tadi anakmu marah besar sama kamu,” kataku. Reza menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Juga salah nggak anakmu minta kamu buat surat persetujuan kalau-kalau mama mereka mau minta cerai. Masih bagus istrimu bertahan selama delapan tahun ini, Reza. Lihat Aris, baru dua bulan dia di penjara, istrinya sudah mau ajuin gugatan cerai. Bandingin dengan yang kamu alami. Lagian, kan belum tentu juga istrimu beneran ngegugat cerai,” sambungku lagi. Dengan panjang lebar.


Tampak Reza menganggukkan kepalanya. Tersirat, ia memahami sikap anak-anaknya yang meminta surat persetujuan dari dirinya, bila mama mereka ingin mengajukan gugatan perceraian.


“Syukur kalau kamu sudah nyadarin, Reza. Emang kalau lagi di penjara gini, sensitifitas dan ego kita jadi naik, bahkan kadang nggak terkendali. Tapi teteplah belajar bisa ngendaliin diri. Terus sabar dan tenang. Nggak ada kejadian yang lepas dari skenario Tuhan, jadi ya jalani dan syukuri aja,” ujarku.


Aku dekatkan badanku, dan ku tepuk-tepuk pundak Reza. Mencoba menenangkan jiwa dan pikirannya yang tengah berkecamuk tidak karuan. 


Tiba-tiba, Doni yang tengah bermain catur dengan Aris di lantai bawah, memberi isyarat padaku untuk melihat ke arah jeruji besi. 


Terperangah aku. Betapa tidak. Dari balik jeruji besi itu ada istriku, Laksmi, didampingi seorang petugas piket. 


“Masyaallah, bunda,” kataku sambil buru-buru berdiri dan mendekat ke jeruji besi.


Ku peluk istriku melalui sela-sela jeruji besi dari dalam sel. Istriku tersenyum. Sontak hatiku terasa sejuk.


“Maaf, Babe. Ibu pengen lihat kamar Babe. Dan ibu bilang, diem-diem aja,” kata petugas piket yang mengantar istriku.


“Iya, saya paham, pak. Terus ini ngapain bunda kesini? Ayo kita ngobrol di pos jaga aja,” ucapku, dan meminta petugas piket membukakan pintu kamar.


Semua penghuni kamar 10 bangun dari tempatnya. Bergantian menyalami istriku dari sela-sela jeruji besi. Sambil menyebut nama masing-masing.


Istriku antusias menyalami kawan-kawan satu selku. Ia menganggukkan kepala ketika satu-persatu mereka menyebut namanya. Ia cukup familiar dengan nama mereka dari ceritaku. Dan senyum tidak pernah lepas dari bibirnya, saat bersalaman dengan kawan-kawan satu selku.


“Alhamdulillah, semua sehat-sehat ya. Tetep rukun dan terus jamaahan solatnya ya,” kata istriku pada kawan-kawanku.


“Iya, bunda. Inshaallah kami tetep rukun dan terus solat, terutama sejak Babe masuk sini. Terimakasih kiriman makanannya ya, bunda. Kami bener-bener berhutang budi pada bunda,” kata Iyos, mewakili kawan-kawan.


“Terimakasihnya sama Allah aja. Dia yang beri rejeki untuk kawan-kawan disini lewat bunda,” sahut istriku. Juga tetap dengan senyum sumringah.


Tiba-tiba Aris mendekati istriku. Ia cium tangan istriku. Buru-buru istriku menarik tangannya. Karena terkejut dengan perlakuan Aris.


“Saya Aris, bunda. Babe sudah saya anggap kakak sendiri, jadi bunda sekarang ayuk saya. Saya mencium tangan bunda sebagai wujud penghormatan,” kata Aris. Suaranya bergetar. Ada suasana kesedihan begitu dalam pada suaranya.


“Oh, pak Aris ya? Maaf, pak. Saya tadi kaget aja. Alhamdulillah. Terimakasih kalau sudah menganggap kami sebagai keluarga. Dan inshaallah, semua yang satu kamar disini, bisa jadi keluarga juga ya,” sahut istriku sambil menepuk-nepuk tangan Aris yang masih memegang jeruji besi.


Petugas piket memberi isyarat jika pintu sel telah dibuka. Setelah berpamitan dengan kawan-kawan di sel, istriku bergeser. Menunggu aku ke luar kamar dengan berdiri di depan pintu.


Ku gandeng istriku berjalan menuju pos penjagaan. Setiap melalui kamar tahanan, selalu ada yang menyapa kami. Istriku pun menyahuti sapaan mereka dengan senyuman atau anggukan.


Sesampai di pos penjagaan, aku terkejut begitu melihat pak Rudy ada disana. Aku khawatir akan terkena sanksi karena istriku masuk ke kompleks rumah tahanan.     


“Maaf, pak. Saya yang minta ibu masuk tadi. Biar tahu kamar pak Mario,” kata pak Rudy. Diiringi tawanya yang renyah.


“Alhamdulillah. Plong hati saya, pak Rudy. Saya kira bisa-bisaan istri saya saja minta izin petugas piket untuk melihat kamar,” sahutku dengan suara lepas, dan langsung menyalami pak Rudy dengan penuh hormat.


“Silahkan ngobrol di pos saja, pak. Saya izin, pamit ke ruangan dulu. Biar pak Mario dan ibu bisa ngobrol enak,” ucap pak Rudy dan meninggalkan kami.


“Terimakasih banyak, pak,” kataku, bersamaan dengan istriku. 


Pak Rudy menganggukkan kepalanya seraya tersenyum ramah. Dan meninggalkan kami melanjutkan pertemuan di pos penjagaan kompleks rumah tahanan. (bersambung)

LIPSUS