Oleh, Dalem Tehang
“MASYAALLAH, bunda bikin ayah kaget aja. Untung ayah nggak punya penyakit jantung, jadi nggak langsung pingsan tadi,” kataku sambil menarik hidung istriku, saat kami sudah duduk di bangku panjang yang ada di pos penjagaan.
“Tadi pas bunda sampai, ada pak Rudy. Kami ngobrol sebentar. Terus beliau bilang; ibu mau ngeliat kamar bapak nggak. Bunda jawab; kalau diizinkan. Eh, beliau langsung minta petugas piket nganter ke kamar ayah dan disuruh diem-diem aja,” kata istriku, sambil tertawa.
“Jadi sudah lama ya bunda di depan jeruji besi tadi?” tanyaku.
“Lumayan lama juga. Ayah kan lagi serius bener ngobrol sama pak Reza ya, yang tadi itu. Kawan-kawan yang lain asyik sama kegiatannya sendiri-sendiri. Jadi nggak perhati kalau bunda dan petugas piket berdiri di depan kamar,” lanjut istriku. Masih dengan tertawa.
“Ya, itulah kamar ayah, bunda. Namanya juga di tahanan,” ucapku. Dengan nada kecut.
“Ngenes sih emang lihatnya. Tapi tetep disyukuri aja ya, ayah. Besok bunda bawain sajadah yang lebih tebel ya. Biar kalau dijadiin alas tidur, lebih nahan dinginnya keramik. Kalau kena dingin terus punggungnya, bunda takut ayah kena sakit tulang nanti,” kata istriku.
Spontan, tangannya memegang erat bahuku. Seakan ingin menyatukan jiwa raganya pada kondisi yang aku alami. Ada kegamangan yang mendalam.
“O iya, tadi juga bunda sudah bilang ke pak Rudy soal nazarnya Bulan. Mau berbagi alat-alat mandi itu. Alhamdulillah, nduk ayah dapet ranking I dan dia mau secepetnya lakuin nazarnya waktu itu,” sambung istriku, Laksmi.
“Alhamdulillah, nduk dapet ranking I ya. Terimakasih ya Allah. Terimakasih ya, bunda. Terus memotivasi anak-anak untuk tetep survive. Luar biasa memang karunia Allah. Di saat ayah terpuruk begini, adek kepilih jadi ketua OSIS, dan nduk bisa ranking I di kelasnya. Bunda bener-bener hebat,” kataku dengan penuh haru sekaligus bangga. Ku peluk istriku dengan sepenuh jiwa.
“Doa ayah kan nggak pernah putus buat kami, jadi Allah juga kasih kemudahan. Dan pak Rudy sudah ngizinin buat nduk kasih alat-alat mandi itu. Cuma beliau minta ngasihinnya pas hari Minggu aja,” ujar istriku lagi.
“Alhamdulillah. Pak Rudy memang orang baik. Beliau baru dua bulan lebih sedikit tugas disini. Atau sekitar dua minggu sebelum ayah masuk. Kalau komandan sebelumnya, kata kawan-kawan, galak dan nggak ada toleransi sama sekali. Ya, Allah sudah ngaturnya begini,” kataku lagi.
Keasyikan kami berbincang dengan lebih bebas, karena bisa bertemu di pos penjagaan, terpotong dengan terdengarnya suara mengaji dari masjid. Pertanda sebentar lagi waktunya adzan dan solat Maghrib.
“Bunda pamit dulu ya, ayah. Tetep jaga kesehatan. Kalau memungkinkan, nanti malem telepon ya. Sudah lama kita nggak ngobrol-ngobrol santai,” kata istriku, dan berpamitan.
Ku peluk istriku penuh kehangatan sebagai ekspresi sayang berbalut kebanggaan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata.
Ia cium tanganku penuh takdhim sebelum berjalan meninggalkan pos penjagaan menuju parkiran mapolres, dan pulang.
Setelah solat Maghrib jamaahan dilanjutkan dengan membaca surah yasin, kami sambung dengan solat Isya. Di saat rokaat terakhir, petugas jaga melakukan absen penghuni kamar. Pepen yang melayani mereka.
“Semua sehat ya. Nggak ada kendala soal air dan sebagainya kan. O iya, sampaikan dengan pak Aris, ada keluarganya di pos penjagaan. Nanti tamping kesini,” kata seorang petugas piket menjaga tahanan.
“Siap, Dan. Syukur pada Tuhan, semua kami disini sehat dan nggak ada masalah. Nanti saya sampaikan dengan Aris pesannya,” ucap Pepen.
Begitu solat selesai, Aris langsung berdiri. Melipat kain sarungnya kembali. Tidak lagi berdoa seperti biasanya.
Pun yang lain-lain, melipat kain sarung yang dipakainya dan memasukkan ke kantong plastik yang memang disediakan khusus untuk tempat kain sarung. Sehingga bila mendadak ada razia, bisa segera diamankan di pos penjagaan.
Kecuali kain sarungku. Selalu aku taruh menjadi pelapis bantal dari botol air mineral. Dan selama ini, aman-aman saja dari beberapa kali razia provos.
Aris duduk di sampingku yang masih melanjutkan doa selepas solat Isya. Ia tidak berani mengganggu prosesi kekhusu’anku “menyentuh” tangan Sang Pencipta. Ia hanya duduk. Termangu. Menunggu.
“Kenapa, Ris?” tanyaku, begitu selesai doa.
“Tadi kata petugas ada keluargaku di pos penjagaan, siapa ya, Be?” kata dia. Aku gelengkan kepala.
“Hatiku kok jadi deg-degan kayak gini ya?” ucap Aris lagi.
“Nggak usah ngeduga-duga, Ris. Apalagi kepikiran yang nggak baik. Mikir aja yang positif, jadi tetep enjoy siapa pun yang nunggu kamu di pos penjagaan,” kataku. Mencoba menenangkan Aris.
“Iya juga ya, Be. Kenapa-lah aku kok jadi parno gini,” sahutnya dengan cepat.
Deni tamping membuka pintu sel. Memanggil Aris. Pria yang selalu berpenampilan perlente dan wangi itu berjalan ke arah pintu sel, setelah meminta izin padaku.
“Bismillah aja, Ris,” kataku sambil mengacungkan jempol ke arah Aris yang berjalan keluar kamar.
Aku tahu, ada kegelisahan tersendiri pada diri Aris. Apalagi, ada tamu yang akan menemuinya pada malam hari. Dan ini untuk pertamakalinya ia kedatangan tamu malam hari.
Bisa dipastikan, orang tersebut memiliki hubungan tersendiri dengan penguasa kompleks rumah tahanan, karena ketentuannya tidak diperbolehkan tahanan menerima tamu pada malam hari.
“Makan sekarang apa gimana, Be?” Ijal tiba-tiba bertanya. Membuyarkan anganku pada langkah Aris yang tampak setengah hati.
Mataku menyapa semua penghuni kamar. Yang kembali duduk di tempatnya masing-masing. Meminta pendapat.
“Nanti aja kali ya, Be. Nunggu Aris,” kata Doni yang memahami tatapanku.
Asnawi, Iyos, Reza, Irfan, juga Tomy menganggukkan kepalanya. Seide dengan apa yang disampaikan Doni.
“Gimana yang lain?” tanya Ijal lagi.
“Memang baiknya nunggu Aris dulu. Jadi nggak ada yang merasa ditinggalin,” kata Arya.
Karena telah sepakat makan malam ditunda sampai Aris kembali ke kamar, aku keluarkan buku dan pulpen dari tas kecilku. Ingin mencoba menulis pengalaman selama ini.
Namun, belum lagi memulai untuk menulis, Reza mendekat dan duduk di depanku.
“Be, aku besok harus kayak mana kalau ketemu anak-anakku lagi,” tanya Reza.
“Allah, masak gitu aja kamu nanya sih, Reza. Coba kamu pikir dulu sendiri, apa yang mau kamu lakuin dan omongin besok,” tanggapku dengan nada kesal.
“Maaf, Be. Jangan kesel gitu dong. Otakku nggak bisa diajak mikir nih. Babe-lah satu-satunya tempatku minta pendapat,” kata Reza. Menundukkan wajahnya.
Suaranya merendah. Sadar jika kali ini ia mengganggu aktivitas yang akan aku lakukan. Sebenarnya, aku ingin membantu bertukar pandangan. Namun aku tidak mau penghuni kamar menjadi sangat tergantung padaku. Yang akhirnya akan menyulitkan aku sendiri ke depannya.
“Coba Doni dan Asnawi. Sini dulu,” kataku memanggil Doni dan Asnawi yang tengah berbaring sambil melamun.
Bergegas mereka bangun dan duduk bersebelahan di dekatku dan Reza.
“Ada perintah, Be?” tanya Doni begitu duduk.
“Coba kasih masukan sama Reza. Dia lagi ada masalah. Ngobrol-lah kalian di tempatmu sana, Doni,” ujarku kemudian.
Doni, Asnawi dan Reza bergerak. Pindah ke tempat Doni, tepat di samping jeruji besi pemisah kamar dengan selasar kompleks rumah tahanan.
Ku sapa kawan-kawan lain dengan mataku. Semua tengah asyik dengan kegiatannya. Hanya Pepen yang duduk santai dan tampak memandangiku.
“Kenapa, Pen?” tanyaku pada Pepen.
“Nggak apa-apa, Be. Saya bisa pijat akupuntur kalau Babe mau,” kata Pepen.
“Beneran kamu bisa akupuntur. Bisa beneran apa asal bisa mijit aja,” sahutku. Masih dengan nada bernuansa kesal.
“Bisa beneran-lah, Be. Saya pernah kursus spesialis akupuntur di Shenzhen Tiongkok selama lima tahun,” aku Pepen.
“Kalau kamu punya keahlian, coba praktekin sekarang,” lanjutku dan memintanya ke tempatku.
Buku dan pulpen yang sudah ada di tempat tidur, terpaksa aku masukkan kembali ke tas kecil. Tertunda lagi keinginan menuangkan pengalaman selama di tahanan. (bersambung)