Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 58)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 27 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

PEPEN memulai pijatannya pada telapak kakiku. Tanpa alat bantu. Hanya jari-jarinya saja yang bekerja. 


“Waduh, sakit bener itu, Pen. Pelan aja kamu mijitnya,” kataku. 


Aku sampai mengerang kesakitan begitu jari-jarinya mulai beraksi di telapak kaki.


“Tahan dong, Be. Ini pijatnya biasa aja. Belum saya kasih tekanan tenaga. Istilahnya baru pemanasan,” ujar Pepen sambil terus memainkan jari-jarinya di telapak kakiku. 


“Sakitnya nggak ketulungan itu, Pen,” ujarku, dengan terus menggerakkan badan ke kiri-kanan akibat menahan sakit. Blingsatan.  


Pijatan Pepen sebenarnya cukup enak, namun karena konsentrasinya pada titik-titik urat yang ditengarai bermasalah, rasa sakit yang dominan. Dan memang, pria yang tersandung kasus lakalantas ini mempunyai keahlian di bidang akupuntur. Tidak membual.


Baru sekitar 15 menit saja, aku sudah tidak kuat lagi menjalani pijat akupuntur itu. Ku minta Pepen menghentikannya.


“Sudah dulu, Pen. Nggak kuat aku. Ketimbang lanjut nggak tahunya malah pingsan karena nahan sakit,” ucapku, yang terus mengaduh selama dipijat.


Pepen tertawa seraya menghentikan pijatan di telapak kakiku. Ia minta izin untuk memijat bagian leher belakangku. Aku menolak. Sakitnya sentuhan jari-jari Pepen sangat luar biasa. Trauma aku dibuatnya.


“Babe ini sukanya dipijit yang enak-enak aja, Pen. Bukan yang ngebuat dia kesakitan,” kata Ijal.


“Namanya pijit akupuntur itu kalau pas kena yang bermasalah, pasti sakit, Jal. Kalau yang nggak ada masalah, ya biasa aja. Kayak pijit enak juga,” jelas Pepen.


“Jadi Babe ini ada penyakit nggak?” tanya Ijal lagi.


“Nggak ada sih. Cuma beban pikiran dan jiwanya aja yang sangat-sangat berat. Khawatirnya, itu bisa ngejalar ke badan juga,” ujar Pepen.


“Salah kali kamu, Pen. Babe gini anteng dan tetep senyum, kok kamu bilang punya beban pikiran dan jiwa yang sangat berat,” kata Tomy, menyela.


“Ya bisa saja saya salah menilai juga sih. Tapi kalau dari urat yang saya pegang dan reaksi Babe, ya itulah yang dirasanya sekarang ini. Kan bisa aja kita nyimpen pikiran dan jiwa yang tidak karuan dengan tampilan tenang. Gitu kan, Be,” kata Pepen. Memandangku dan tersenyum.


Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Diagnosis Pepen memang benar. Lewat sentuhan jarinya ke urat halus tersembunyi di telapak kaki, ia bisa mengetahui sesuatu yang tengah aku rasakan. 


“Aku aja yang pijit, Be. Pijit enak ini mah,” kata Ijal, dan langsung meminta aku menjulurkan kaki.


Ijal memang memijat enak. Pijatan yang sekadar ngemek-ngemek. Pijatan meninabobokan. Membuatku mengantuk.


“Jal, nanti bangunin kalau Aris balik ya? Aku mau pinjem hp-nya. Mau telepon nyonya,” ucapku pelan pada Ijal.


“Pakai aja sih, Be. Tinggal ku ambil dari ember. Nggak usah nunggu Aris balik ke kamar,” sahut Ijal. Dan akan bergerak ke kamar mandi, mengambil hp.


“Nggak enak, aku izin dulu nanti sama Aris. Walau dia sudah bilang kapan aja aku perlu tinggal pakai, tapi lebih elok kalau ngomong dulu,” kataku, menahan Ijal berdiri. 


“Babe mah orangnya nggak enakan sih. Padahal Aris juga pasti nggak bakal masalahin kalau Babe yang pakai,” ketus Ijal.


“Jal, justru karena kita dihargai, maka kita wajib menghargai. Bukan malah seenaknya. Emang Aris nggak bakal marah kalau aku pakai hp-nya, tapi aku nggak sreg kalau belum izin dia,” lanjutku. 


Ijal terus memijat telapak kakiku dengan lembut. Perlahan, aku pun terbuai. Dan akhirnya, lelap dalam tidur. 


Sampai kemudian, ada tepukan pelan di kaki, membangunkan aku dari tidur. 


“Maaf, Be. Ini Aris sudah dateng. Kita makan dulu ya,” kata Ijal setelah menyadarkan aku dari lelap tidur.


Sambil menuju kamar mandi untuk mencuci muka, aku arahkan pandangan. Semua penghuni sel 10 sudah duduk melingkar dengan rapih. Di lantai atas. Tempat kami biasa berkumpul.


Dan makanan yang dibawakan istriku, Laksmi, pilihan cah ragil, Halilintar, tertata apik di tengah lingkaran. Kali ini menunya cumi goreng dilengkapi tahu tempe dan lalapan.


“Ayo kita makan. Bismillah,” kataku, setelah duduk bersama kawan-kawan. 


Sambil menikmati makan malam, ku tengok Aris yang duduk di sebelah kiriku. Wajahnya berbinar. Aura kewibawaannya kembali muncul. Diam-diam aku bersyukur dalam hati.


“Alhamdulillah pertemuan tadi, Be. Tapi nanti aja ceritanya. Abis ini Babe telepon Ayuk aja dulu. Kata Ijal, tadi Babe bilang mau telepon. Lain kali ambil dan pakai aja hp itu, Be. Nggak usah segen-segen. Aku ini adik Babe sekarang,” ucap Aris dengan pelan. 


Aku menganggukkan kepala. Memahami benar apa yang disampaikannya. Setelah aku membersihkan tangan, Ijal masuk kamar mandi. 


Diambilnya hp yang disimpan dalam kantong plastik kecil di dalam ember penuh dengan rendaman pakaian.


“Assalamualaikum,” sapaku, begitu sambungan telepon diangkat.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah ayah bisa telepon. Bunda lagi jemur pakaian, ayah. Sebentar ya, mbak bawa hp-nya ke tempat bunda di belakang,” kata anak gadisku, Bulan, yang mengangkat telepon.


Sontak pikiranku melayang ke rumah. Biasanya, istriku memang malam hari memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci. Sambil kami mengobrol di teras belakang, kerja mesin cuci pun selesai. 


Akulah yang rutin menjemur pakaian di tempat jemuran yang ada di garasi belakang. Sambil terus berbincang dengan istriku. Kebersamaan mengurus rumah, memang sudah menjadi kebiasaan kami. 


Pun anak-anak yang berbagi tugas sendiri untuk menyapu, mengepel maupun mencuci piring, dan alat makan lainnya. Yang mereka lakukan tanpa meninggalkan tugasnya sebagai pelajar. 


Sesekali saja aku atau istriku mengambilalih kegiatan mereka, bila anak-anak sedang ada kegiatan di luar rumah.


Namun kini, satu bulan lebih ini, aku tidak lagi bisa membantu apa pun kegiatan di rumah. 


“Assalamualaikum, ayah. Seneng bunda malem ini ayah bisa telepon,” ucap istriku begitu telepon ditangannya.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah, ayah juga seneng bisa menyapa kesayangan ayah malem ini. Lagi ngejemur pakaian ya, bunda,” sahutku.


“Iya, biasalah, ayah. Kan bunda sempet nyuci pakaiannya malem gini. Aktivitas di rumah tetep kayak dulu. Cuma sekarang, ayah nggak ikut langsung. Alhamdulillah adek dan mbak sesekali bantuin bunda,” lanjut istriku. Suaranya tetap ceria.  


Hatiku teriris mendengar perkataan istriku. Meski ia sampaikan dengan keceriaan, tapi aku menyadari jika sesungguhnya ia benar-benar kehilangan keberadaanku dan jiwanya terpuruk.


Istriku Laksmi memang memiliki mental yang tangguh dan teruji. Seberat apapun bebannya, ia tak kan pernah menunjukkan di muka umum. Ia akan tetap tersenyum dan hadir dengan sosoknya yang trengginas. 


Meski, ia bisa setiap saat menangis akibat tidak kuasa menahan beratnya beban batin, dan itu ia tumpahkan di saat sendirian.


“Maafin ayah ya, bunda. Nggak bisa lagi bantuin bunda kayak dulu,” kataku dengan suara tercekat.


“Nggak apa-apa, ayah. Kita sabar aja ya. Inshaallah, Allah selalu beri kita kekuatan, kesabaran, dan ketenangan,” kata istriku. Menenangkan jiwaku yang menangis.


“O iya, bunda mau tanya. Gimana jadi kelanjutan lawyer Rudolf itu?” ucap istriku.


“Dia nggak ada kabar sama sekali sampai saat ini. Katanya waktu itu butuh dua hari aja untuk matengin langkah yang mau dia ambil. Tapi sudah sekian puluh hari, nggak ada kabar-kabarnya juga. Baiknya kita ganti lawyer aja-lah,” tanggapku.


“Ya sudah kalau gitu. Nggak usah kita bahas lagi soal Rudolf. Nanti bunda bicara dengan adik-adik ayah. Kata mereka, ada kawan yang sudah kayak keluarga, profesinya pengacara. Siapa tahu dia bisa bantu kita,” lanjut istriku.   


“Oke, silahkan bunda ambil langkah ya. Ayah sepakat aja,” kataku. Menyerahkan sepenuhnya soal lawyer pada istriku. (bersambung)

LIPSUS