Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 59)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 28 Februari 2022


Oleh, Dalem Tehang


AYAH, ini ndukmu mau ngomong,” ujar istriku lagi, dan memberikan telepon genggamnya ke Bulan. 


“Ayah, mbak dapet ranking I. Sesuai nazar, mbak mau kasih alat-alat mandi buat tahanan di tempat ayah sekarang. Kata bunda, bolehnya hari Minggu. Berarti besok pagi mbak sama bunda ke tempat ayah ya,” kata Bulan dengan suara penuh keceriaan.


“O iya, bunda sudah cerita. Selamet yo, nduk. Ayah bangga sama kamu. Dulu-dulu nggak pernah ranking I, sekarang pas ayah ditahan, malahane dapet juara. Hebat kamu, nduk,” ucapku dengan haru sekaligus bangga.


“Kadang ternyata emang kita harus dipaksa sama keadaan buat nunjukin kalau kita mampu ya, ayah. Mbak bersyukur ada bunda yang terus memotivasi dan ayah yang bermental tangguh dan netes ke mbak,” sambung Bulan dengan polos.


Sesaat aku terdiam. Begitu dewasanya Bulan dalam menyiapkan dirinya untuk menapaki tangga kehidupannya. Padahal, ia baru masuk ke tingkat pendidikan menengah atas. Perubahan kehidupan kami seiring masuknya aku ke penjara, telah membuatnya hadir dengan kedewasaan dan kekukuhan mentalnya. 


“Kok diem, ayah. Kasih mbak motivasi lagi ya, biar bisa terus survive. Kan keberhasilan ini bagian dari ibadah,” lanjut Bulan kemudian. 


“Pesen ayah, terus pertahanin mental petarungmu, nduk. Imbangi dengan kekuatan fisik dan terus asah kemampuan otakmu. Karena otak itu salah satu otot terkuat untuk memenangi pertempuran di kehidupan ini,” kataku dengan penuh semangat.  


“Siap, ayah. Mbak bakal terus berjuang untuk masa depan yang gemilang. Ayah nggak perlu khawatirin mbak dan anak-anak ayah. Kami semua tetep bangga dengan ayah, apapun kata orang tentang ayah,” tegas Bulan.


“Alhamdulillah. Terimakasih yo, nduk. Allah memberkahimu dan kita semua,” sahutku lagi. 


Aku kian kagum dengan ketegasan sebagai ekspresi jiwanya. Kematangan jiwa yang dipaksa oleh keadaan, tentu makin mengukuhkan kesadaran akan begitu besarnya peran Tuhan, Sang Pengatur Kehidupan.   


Tidak lama kemudian, telepon kembali ke tangan istriku. Agak lama istriku baru bicara lagi. 


“Nduk ayah emang luar biasa semangatnya. Alhamdulillah juga, temen-temen deketnya terus besarin hati dia. Nggak ada yang nge-bully. Ini semua Allah yang ngaturnya. Kita terus bersyukur ya, ayah. Dalam kondisi apapun, bersyukur aja. Nggak usah mikirin yang lain-lain,” kata istriku, Laksmi. Dengan suara datar.


“Iya, bunda. Kita memang harus terus bersyukur. Karena Allah pasti beri hikmah baik di balik semua ini,” ucapku dengan suara pelan. 


Terasa ada yang menyesak di dada, karena situasiku saat ini, terpaksa jauh dari kebersamaan dengan istri dan anak-anakku. Dalam keterbatasan kebebasan raga itulah kian terbukakan fakta, betapa dunia kita sesungguhnya adalah keluarga.


“Bunda minta, ayah baca Alhamdulillah sebanyak-banyaknya. Nggak usah dihitung-hitung. Jadiin itu wirid khusus. Biar hati kita terus diberi kelapangan sama Allah atas semua takdir ini,” kata istriku lagi.


Tiba-tiba istriku menyela. Ada cah ragilku, Halilintar, dan mau bicara denganku.


“Hallo, ayah. Adek baru abis main games. Nggak tahu kalau ayah lagi telepon bunda,” kata Halilintar.


“Iyo ora opo-opo, le. Bunda emang bilang kalau adek lagi main di kamar. Sehat-sehat yo. Gimana kegiatan ekstra kurikulernya?” sahutku.


“Adek sehat kok, ayah. Ayah juga sehat-sehat ya. Jangan sampai sakit ya, ayah. Kata orang, kalau sakit di tahanan itu rasanya sampai berlipet-lipet. Jadi ayah harus bener-bener jaga kesehatan. Dibawa enjoy aja, ayah,” kata Halilintar lagi.


“Wah, hebat kamu, le. Tahu bener gimana rasanya kalau sakit di penjara. Doain ayah baik-baik terus ya. Ayah pasti jaga kondisi kok. Tenang aja,” sahutku dengan suara ceria.


“Adek tahu soal kehidupan di penjara itu dari internet, ayah. Tapi bedanya, penjaga di tempat ayah baik-baik, nggak kasar dan nganiaya tahanan. Kalau yang adek baca, di tempat lain petugasnya kayak hantu. Berbuat semaunya sama tahanan. Kayak mereka bukan manusia aja, sama dengan tahanan,” lanjut Halilintar dengan suara bergetar. 


Ada kekhawatiran dan kemarahan dalam ucapannya. Ada ketidaktenangan yang mengendap di jiwanya, karena aku sedang dalam kurungan penjara. Ia khawatirkan aku akan mengalami kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan.


“Alhamdulillah, semua petugas di tempat ayah ditahan, baik-baik, le. Semua tetep ngerasa kalau kami juga manusia, sama dengan mereka. Jadi kalau kami nggak macem-macem, ya nggak bakal disanksi apapun,” kataku. Menenangkan Halilintar.


“Syukur kalau gitu, ayah. Adek takut ayah kenapa-kenapa aja kalau ketemu petugas yang jahat. Ayah yang sabar ya. Jangan gampang marah-marah ya,” ucap anak bungsuku lagi. Ada derai tawanya, walau sesaat. 


“Iyo, ayah nikmati semuanya dengan sabar dan terus coba ikhlas kok, le. Mau kayak mana lagi. Yang penting kan bunda dan anak-anak terus support ayah, itu yang sangat berarti buat ayah,” kataku lanjut.


“O iya, tadi ayah tanya kegiatan ekstra kurikuler ya? Adek lagi bentuk tim futsal dan sepakbola di sekolah sekarang ini. Adek sudah kerja sama dengan klub bagus disini. Pelatihnya dari mereka. Doain semuanya lancar ya, ayah,” sambung Halilintar.


“Wah, hebat itu. Terus kembangin kemampuan timnya. Biar nanti bisa tampil di berbagai open turnament dan banggain sekolahmu, le. Ayah terus bantu doa. Gitu aja dulu ya, nanti kelamaan nggak enak kalau sampai ada petugas yang tahu. Kasih hp-nya ke bunda yo, le,” ujarku panjang lebar.


“Oke, ayah. Sehat terus,” kata Halilintar dan menyerahkan telepon genggam ke istriku.


“Alhamdulillah, anak-anak tetep bisa berbagi cerita sama ayah. Cuma abang aja yang nggak sempet ngobrol, karena dia lagi banyak kerjaan sama temen-temennya di luar. Inshaallah besok pagi bunda dan nduk ke tempat ayah ya. Mau ngasihin apa yang jadi nazar nduk waktu itu,” kata istriku begitu hp di tangannya lagi.


“Besok ayah tunggu ya, bunda. Gitu aja dulu ya. Tadi pak Aris mau cerita, tapi dia minta ayah telepon bunda dulu. Itu yang lebih penting,” sahutku.


“Emang ada apalagi dengan pak Aris?” tanya istriku. Menyela.


“Malem ini tadi ada yang ketemu dia. Tapi belum tahu siapa. Pas dia masuk kamar lagi, kami langsung makan malem dan ayah lanjut telepon bunda ini,” jelasku.


“O gitu, moga-moga aja ceritanya baik ya. Kasihan juga sama pak Aris itu. Lagi ditahan, malah istrinya mau ngajuin gugat cerai. Ada-ada aja dunia ini,” sambung istriku. Dan hubungan telepon pun kami sudahi.


Setelah aku duduk kembali di tempatku, Aris mendekat. Wajahnya penuh keceriaan.


“Babe, tadi anak-anakku yang dateng. Alhamdulillah,” kata Aris sambil menebar senyum.


“Oh ya. Alhamdulillah. Kesabaranmu dapet ganjaran yang luar biasa, Ris,” sahutku dan mengacungkan jempol.


“Bener-bener nggak aku duga, Be. Anak-anak dianter sama kawanku yang anggota provos polda itu. Makanya malem-malem bisa nemuin aku,” lanjut dia.


“Syukur kalau gitu, Ris. Emang terkadang kita khawatirin sesuatu yang melintas dalam pikiran. Padahal kenyataan nggak gitu. Sebaliknya, kita sering bayangin sesuatu yang indah, ternyata sebaliknya. Ya inilah dunia, Ris. Penuh dengan misteri,” kataku lagi.


“Kenapa-lah setelah kita disini baru bisa nemuin hakekat kehidupan itu ya, Be. Kenapa nggak dulu-dulu waktu kita lagi di luar, lagi gagah,” sambung Aris.


“Yah, ini cara Tuhan untuk buka mata hati kita, Ris. Bahwa hidup itu nggak boleh sombong, nggak boleh ngerasa paling gagah, dan paling hebat. Karena kita cuma makhluk, yang sepenuhnya tergantung pada Sang Khaliq,” lanjutku. 


“Bener juga ya, Be. Emang baru disini aku bisa banyak ngerenung. Begitu banyak sikap sok-sok-an, kesalahan dan dosa yang ku perbuat selama ini. Dan inilah ganjaranku buat nebus semuanya dan inshaallah nanti bangkit lagi dengan jati diri yang baru,” kata Aris. Ada semangat begitu menyala pada tatapannya.


“Aamiin, aamiin ya robbal alamin. Kita lakoni aja sebaik mungkin hidup disini, Ris. Nggak usah neko-neko. Terus apa cerita anakmu tadi, kenapa kita jadi bernasihat kayak orang bijak aja ya,” ucapku sambil tertawa.


“Iya juga ya, kok jadi ngelantur gini ya. Kayak kita sudah jadi manusia bener aja. Padahal kita ini lagi di bengkel, di las sana-sini, di-amplas sana-sini,” sahut Aris, juga sambil tertawa. (bersambung)

LIPSUS