Maut adalah cahaya. Maut menyapa bekas
luka di punggung kita. Maut adalah pena dan puisi-puisi menanti pembaca. Maut adalah
jendela dan sepasang mata kumbangnya. Maut adalah senyum kecil di kuil air mata.
Maut adalah muara dari segala peniadaan.
Maut adalah kehidupan. Lampu padam.
PENGGALAN
puisi berjudul Fraktal Matahari itu
ada di buku Kumpulan Puisi 1994-2018, Hara
Semua Kata, (Halaman 32) karya Ahmad Yulden Erwin.
Di halaman depan buku itu, ada paraf dan tulisan tangan AYE, "untuk Endri".
Soal sastra, tidak ada yang mampu membantah, vokabuler dan diksi dalam puisi-puisi AYE, menjadi kekuatan dalam sastra modern.
Bahkan,
dalam banyak telaah, AYE sering membuat rumus-rumus kaktulus untuk memadu
padankan teori sastra sebagai fermentasi ilmu-ilmu eksak. Hal itu, terlihat
dalam kajianurai AYE saat mengulas buku puisi "Rekaman Terakhir Beckett". Yang secara khusus juga,
penyair sejawatnya itu diberi penanda “Secangkir Kopi untuk Ari Pahala” (hlm.61), berkisah aku lirik dengan kawannya yang membincang soal-soal "daulat negara" serta "budaya yang hilang"
Saya punya banyak kenangan bersama Pak Cik, sapaan akrab Ahmad Yulden Erwin. Namun secara pribadi, saya memanggil beliau Suhu.
Dulu, ketika masih sering ikut banyak pelatihan,
entah pada momentum apa, sekitar awal reformasi, salah satu pemateri utamanya
adalah AYE. Rambutnya masih gondrong, yang terkenang adalah materi
"sekolah gajah" dalam pendidikan popular. Juga game "angin
bertiup" yang sangat menghibur semua peserta pelatihan.
Cara beliau memaparkan materi dan
menyampaikan bahan kajian, sangat menghibur dan mudah dipahami. Pertemuan itu,
yang kemudian membekas, dan baru kemudian setelah bertemu banyak penyair di
Lampung, sering disebut, AYE adalah penyair Lampung papan atas. Padahal, saya
lebih mengenal beliau sebagai aktivis KOaK. Yang berdemo di barisan paling depan, foto di koran dia memanjat pagar.
Baru kemudian, era mulainya banyak pengguna
facebook, sekitar 2009, kami banyak berbincang di messengger. Sampai Pak Cik, mendirikan kelas atau Akademi Menulis
Sastra. Saya ikut kelas menulis esai. Dan terkenang, pertama yang dipertanyakan
adalah "apa ideologimu?"
Pertanyaan yang membuat saya bingung dan terkejut.
Sebab, dulu, awal-awal memakai aplikasi facebook, banyak kalangan sastrawan
yang mengisi kolom agama dengan sekadarnya. Misal, Mariana Amirudin mengisi, penyembah pohon, saya ikut-ikutan,
mengisi jawaban, agamamu sendiri apa?
Maka, pertanyaan apa ideologimu, membuat saya
kemudian menulis, "Agama Nasionalan". Seingat saya, opini itu dimuat
media, tapi entah, lupa.
Di dinding FB itu, oleh AYE kita sering dikejutkan
dengan banyak gagasan menarik dari beragam kajian sastra dunia, tentang
misalnya, bagaimana Pak Cik mengulas kehebatan pilihan kata dan struktur
kalimat dalam paragraf pembuka di Lelaki
Tua dan Laut karya Ernest Hemingway. Mengudari setiap diksi dari bahas
Inggris dan terjemahnya. Atau bagaimana dirinya mendedah secara rinci soal
pelajaran logika dan ambisi menerjemahkan karya-karya sastrawan dunia, bahwa
semua teks sastra harus logis. Termasuk bagaimana ketidaksepakatan Pak Cik pada
terminologi post truts.
Lalu, pasca orasi di HUT AJI, Pak Cik banyak menganalisa karya jurnalistik, membandingkan kualitas berita terbitan NYT
dengan media-media nasional. Tentu, era itu Pak Cik masih meledak-ledak. Banyak
kata-kata yang lazim digunakan sebagai caci maki, diproduksi melalui teks. Satu
yang tetap terangkat dalam puisi yakni, kata; "oon".
Hal itu terlihat pada Perawi Rempah, bait ke-19.
Bunyinya;
"...Begitu
kaucatat dalam suratmu ke Lisbon, usai perjanjian paling oon
membelah bumi
semata milik dua kerajaan –– seekor paus putih
resmi
melontarkan restu dari moncongnya menganga kelaparan."
Emosi atas ketololan raja, membuat perjanjian
paling oon, mengingatkan kita pada Pidato Kebudayaan Megatruh-nya WS Rendra.
Yaitu;
"Amangkurat
I lari terbirit-birit oleh pemberontakan Trunojoyo. Lalu pergi ke Tegal untuk
mengemis perlindungan kepada VOC. Raja yang tidak mau berbagi kekuasaan dengan
rakyat itu, malah mau berlindung dibawah ketiak orang asing yang bernama VOC.
Belum sampai ke Tegal ia sudah sekarat. Dalam keadaan sekarat, ia diracun oleh
anaknya yang punya sifat menjijikkan dipandang dari segi kemanusiaan yang
beradab, yang kemudian menggantikannya dan bergelar Amangkurat II. Dan raja
yang congkak, yang gila kekuasaan, si Amangkurat II ini menyebut komandan
militer lokal Belanda dengan sebutan "Romo". Lebih jauh lagi, nanti
salah satu keturunannya yang bernama Paku Buwono II, ternyata telah melecehkan
harga dirinya sendiri. Meskipun ia melecehkan daulat rakyat, ternyata ia tidak
segan menulis perjanjian dengan Kompeni Belanda pada tahun 1749 yang bunyinya
sebagai berikut: "Inilah surat perkara melepaskan serta menyerahkan
terhadap keraton Mataram, dari kanjeng Susushunan Paku Buwana Senapati
Panatagama, ialah dikarenakan oleh perintah Kanjeng Kumpeni yang agung itu,
keratuan ini diserahkan kepada Kanjeng Tuwan Gupernur serta direktur di tanah
Jawa Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana
Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama............" Begitu
dan seterusnya ia tanpa malu-malu merendahkan dirinya dan mengangkat-angkat
penguasa asing dengan cara yang berlebihan. Sungguh karikatural. Masa
pemerintahan Kartasura dan Surakarta adalah masa yang sangat memalukan bagi
sejarah Mataram dan sejarah orang Jawa."
Tidak bisa dipungkiri, puisi yang secara ketat
menukil sejarah penjajahan VOC akibat lemahnya daulat rakyat dan abainya raja
pada hak-hak warga negara, membuat sebuah bangsa mudah diadu domba. Kekayaan
referensi, kemarahan yang puitis, dan kematangan intelektual untuk berpihak
pada bangsa jajahan yang kaya sumber daya alam dengan penghasilan
rempah-rempah, apik direkam AYE, menariknya, tak berdampak pada
kesejahteraan penduduk. Lebih parah, tragedi penjajahan itu dilukis AYE dengan
keputusan "menjarah dan membantai
sepulau penduduk surga ini, meski Yesua mesti disalib dua kali."
Secara utuh, Perawi
Rempah mengisahkan pulau surga yang terus "Terayun dari moncong buaya ke taring singa, begini nasibmu...dikutuk
aroma rempah serupa kemaruk busuk mulut gurita. Tiada Yesua di pantai surga,
tiada Bapa, kecuali sepasang beruk keling memanjat sebatang pohon cockayne."
Sejarah kolonialisasi. Ideologi antipenjajah yang kuat mempengaruhi puisi AYE, tak membuatnya secara gamblang terseret pada kalimat-kalimat provokatif, diksinya tetap indah, penuh majas dan menurut dia, parafrasa yang secara cermat juga mempertimbangkan bagaimana merumuskan setiap teks. Lihat saja cara Pak Cik mengkritik peraih Nobel Sastra 2016;
"Menurut pendapat saya, bila tanpa aransemen musik, maka lirik lagu pop “Love Sick” karya Bob Dylan di atas hanya akan jadi “puisi” yang buruk. Cobalah tanya kepada para penyair peraih Nobel Sastra yang masih hidup apakah mereka mau menulis puisi dengan gaya lirik lagu pop ala Bob Dylan di atas? Saya yakin, mereka akan menjawab tidak. Kenapa? Karena lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan menjadi punya nilai estetika oleh sebab adanya faktor aransemen musik, bukan karena kekuatan medium bahasanya—seperti konvensi puisi sejak 4000 tahun lalu, sejak Epik Gilgamesh dituliskan pada tabula di Babilonia, hingga kini."
Pernyataan itu, secara kuat dan terstruktur
dibangun AYE dalam esai panjangnya "Seni
Avant Garde: Presensi dari Epifani dan Konsep Logis" yang mengulas
tentang “kebaruan ekspresi puitik dari lirik-lirik lagu pop karya Bob
Dylan" pasca dianugerahi Nobel Sastra.
Dengan kata lain, AYE selalu punya kekuatan argumen dan permenungan atas setiap puisi yang dilahirkannya. Pada buku "Perawi Tanpa Rumah" misalnya, kita justru menemukan apa yang didefenisikan sebagai puisi avant garde itu. Lihatlah puisi berjudul Yantra 1, Yantra 2, dan Yantra 3 (halaman 25-27). Tiga halaman dengan puisi, yang siapa saja jika melihat dan membacanya, pasti terhubung pada persepsi kedirian yang terus berusaha dipecahkan.
Hingga ke "Mazmur Gema" yang menurut
saya, pembuktian Pak Cik atas rumusannya tentang puisi. Kutipan esai panjang berjudul "Lompatan Kausalitas dalam Perspektif Logika Modalitas" itu;
"Puisi bukan cuma ketepatan soal semantik dalam diksi. Namun, hal itu terkait pula soal bagaimana seorang penyair meletakkan diksi dalam koherensinya dengan gita-puitik, lukisan-puitik, dan pendalaman-tematik pada satu sintaksis puitik secara presisif. Jika simetri dari empat unsur itu sudah terbentuk, barulah Anda mungkin mencipta “cacat artistik”, tanpa merusak simetrinya. Itulah maknanya invensi atau inovasi dalam puisi."
Lihatlah bagaimana cara melukis AYE dalam Mazmur Gema, di buku Perawi Tanpa Rumah (halaman 28).
Kau telah pergi
meninggalkan gema
ketukan pada pintu
yang tak pernah ada
Tidak
Kau tak pernah pergi
sebermula aku hanya sendiri
mencoba menafsir gema
yang tak pernah ada
Tidak
Kau hanya gema
yang terpantul di telinga
dan hanya hening
menangkap isaknya
Di sini, kita memahami apa itu invensi dan
inovasi. Lampung, benar-benar kehilangan tokoh sastra yang berwawasan dunia.
Pemikiran-pemikiran AYE soal seni, sastra, dan filsafat belum terdokumentasikan
secara utuh.
Seingat saya, AYE juga pernah menulis cerpen
panjang yang terus diubah dan diperbaharui, bahkan terkesan bakal jadi novel
sastra yang berkisah tentang orang Apache itu. Kita masih menemukan beberapa
teks karyanya dalam bentuk esai, puisi, dan makalah. Namun, cerpen yang dulu
diberi judul Menjaring Matahari itu,
entah sampai sekarang dimana, sudah terbit atau belum?
Yang lucu, soal kata korona, AYE sudah menulis
kata itu di tahun 2017 dalam puisi berjudul "Pasu Sigaraki" silahkan cek di sini.
Sebagai kalimat duka, berkabung dan bela sungkawa, saya kutipkan potongan pujian Pak Jauhari Zaelani;
"Sebagai seorang aktivis, ia sadar betul seorang cendekia harus berbasis 'ilmu yg ditularkan' akan jauh bermakna. Beberapa waktu lalu, ia memperkenalkan (setidaknya padaku) ilmu logika. Logika yang di terapkan dalam dunia sastra. Kadang-kadang menyentil 'wacana' politik. Aku terbatuk-batuk, kadang malu hati. Ngurut dada, betapa dalam dan luas ilmu anak ini."
Pak Jau adalah guru kita semua, doktor ilmu
politik dan begawan yang menjaga moralitas para aktivis. Tanpa segan memuji dan
memberikan pengakuan pada AYE.
Lihatlah sang Perawi Rempah ini, membuka puisinya dengan kalimat yang indah soal hari Minggu;
Minggu
pagi menggigil di sayap burung undan, seperti ratusan minggu
pagi lainnya, menyusun sesatu kenangan. Kau mencaribeberapa
onggok pulau di Timur dengan wangi cengkih tertiupangin
muson, dan kelasi itu berteriak, ‘Surga telah ditemukan!’
Semoga surga dan damai di alam barzah, Pak Cik. Minggu
ini, 13 Februari 2022. Engkau telah mangkat. Al Fatihah. (*)
ENDRI KALIANDA