Cari Berita

Breaking News

Yang Ada Jaminan Hari Telantar

INILAMPUNG
Minggu, 20 Februari 2022

Oleh Isbedy Stiawan ZS


DI negeri yang bukan Republik Indonesia, jaminan hari tua hanya impian muluk.

Yang ada justru jaminan hari telantar. Sejak zaman pramerdeka, awalproklamasi, masuk ke erarefresif, dan kini zaman UU ITE; nyaris tiada beda.

Kalau ada perbedaan, tanya seseorang. Sulit dicari; bahkan persamaan sekalipun! 

Di eraITE, setiap orang akan memainkan undang-undang itu untuk menjebak dan menjerat ke ranah bui. Meski ada CCTV? Bahkan, Tuhan pun bisa dengan dimudah dibohongi.

Buktinya? Biarpun kita tahu ada CCTV, alat canggih merekam situasi, waktu, dan likaliku serta gerak orang "di mata" CCTV masih berani beralibi: "Saya saat itu tak di TKP." atau "rekaman CCTV sudah terhapus secara otomatis karena sebulan." Dan lain-lain.

Nah, kini viral ihwal Jaminan Hari Tua (buat buruh). Katanya, boleh diambil setelah berusia 56 tahun (?). Itu keputusan Menteri Tenaga Kerja (yang bukan di negeri RI). Bayangkan, berapa tahun uang Jaminan Hari Tua (JHT) tertimbun di kas negara dan berapa pula jumlahnya jika dikalilan jutaan buruh yang ada? 

Agaknya memang, singkatan JHT itu bisa dipelesetkan menjadi Jaminan Hari Telantar. Atau Jaminan Harapan Terlempar. Sila pakai mana saja.

Betapa tidak, toewan dan poewan. Di negeri yang jauh dari RI kita tercinta ini, cukup beberapa tahun kekinian saja, kerap sampai di telinga jeritan masyarakat karena hidup yang miskin. Merasa menjadi manusia yang telantar. Padahal hidupnya amat dekat dengan jalan tol, namun tak merasakan manfaat untuk kehidupannya. Malah hanya merima tiap menit adalah terpaan debu dan deru kendaraan. 

Persoalan penggalian tambang, semisal di Kalimantan Selatan.  Yang kaya para cukong, yang kebanjiran masyarakat setempat. 

Begitulah. Nasib buruh seperti sudah tertoreh semenjak dalam rahim ibu. Tapi jangan pula salahkan ibu mengandung. Kutuk kenapa nasib menjadikan ia buruh. Tentu usah menuding Tuhan tak adil. Akan tetapi, tunjuklah hidung para toewan dan poewan yang berkuasa, yang tak bisa menjamin hidup sejahtera rakyat. 

Yang berkuasa seakan terus meroket jadi orang kaya. Sementara kaum buruh, sampai cucu-cucunya akan meneruskan langkahnya. 

Nyanyian "nenek moyangku seorang pelaut" apakah akan menurun ke anak cicit juga sebagai pelaut? Begitu pun kalau buruh.

Karena lagu ini pula, tak heran "dianuti" para keluarga penguasa. Jika bapak/ibu jadi gubernur, anak mesti -- setidaknya bupati/wali kota. Atau kalau suami sudah jadi wali kota, ya tahun berikut pindah ke istri.

Sekiranya ayah menjadi presiden? Ya anak mesti menerima trah itu. Ini sudah terbukti. Kalau bapak jadi presiden, ya anak memulai dari bupati/wali kota. 

Di era JHT ini, rasa-rasanya tak berlaku lagi "tongkat jadi tanaman". Masalahnya, lahan pertanian kian sempit, hutan belantara digunduli, tanah gembur diubah jadi bendungan atau area penggalian lain. 

Maka, apakah masih berharap JHT dapat diterima di waktu tua? Tentu berharap dan karena itu hak buruh.

Cuma lebih di bawah nasibnya dari buruh, juga banyak.  Mereka yang kerja serabutan, mereka yang berprofesi sebab talenta. Misalnya, para pewarta yang kini menjamur di era digital. Atau para seniman, yang "bersandar" dari karya jika ada yang berkenan menikmati. Apakah ada JHT? 

Kita bisa miris bagaimana hari tua seorang Hamsad Rangkuti, keberadaan Remi Sylado saat kini, dan banyak lagi seniman. 

Remi Sylado agak beruntung. Anies Bawesdan cum Gubernur DKI yang menangangi perawatan Remy seluruhnya. Bagaimana dengan nasib seniman lain? Apakah menerima "takdir" masa tua dan masa sakit sebagai kehendak yang telah tertulis?

Janganlah sampai terjadi, jaminan hari telantar itu datang pada kita. Kita, kelak menjadi "jompo" ini semestinya ditanggung dan dijamin negara. 

Seperti beberapa negara lain, yang pernah saya ketahui. 

Salam.

LIPSUS