Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 60)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 01 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH berdiam beberapa saat diselingi menghisap rokoknya, Aris memulai cerita. Kedua anak perempuannya yang lahir kembar, tadi datang ditemani kawannya yang anggota provos polda. Mereka mengobrol di pos penjagaan.


“Anak-anakku itu diem-diem ke sininya, Be. Pamit sama mamanya nonton bioskop. Mereka kontak kawanku dan minta dianter untuk bisa ketemu aku. Alhamdulillah, temenku ada senggang waktu, jadi bisa nganter,” lanjut Aris.


“O gitu, syukur masih ada temen yang tetep care ya, Ris. Terus ada obrolan apa yang penting, beneran istrimu mau ajuin cerai,” tanggapku. 


“Iya, soal itulah yang disampein anak-anak tadi, Be. Istriku didesek keluarganya untuk pisah sama aku. Makanya anak-anak pada stres sekarang ini. Mereka prinsipnya nggak setuju kami cerai, tapi istriku juga nggak berkutik sama keluarga besarnya,” urai Aris. Kini suaranya merendah. Penuh kesedihan.


Aku terdiam. Bisa ku bayangkan betapa keresahan maha dahsyat sekarang ini dirasakan oleh anak-anak Aris. Yang usianya masih remaja. Seumuran dengan anak gadisku, Bulan. 


Di saat ayahnya masuk penjara, harapan akan adanya perhatian dan kasih sayang hanya pada sang mama. Namun kini, mamanya pun terbelenggu untuk mengikuti alur kisah yang diatur oleh keluarga besarnya.


“Terus sikap anak-anakmu gimana?” tanyaku kemudian.


“Mereka minta aku nggak setujui pengajuan gugatan cerai mamanya,” sahut Aris. 


“Tapi kan bisa aja nanti pengajuan proses cerai tanpa persetujuanmu, Ris. Pinterlah pengacara ngatur semuanya,” kataku lagi.  


Aris termangu. Tampak ia baru tersadar adanya kemungkinan-kemungkinan yang dimainkan di belakangnya. Wajahnya yang semula berbinar ceria, perlahan berubah penuh kegundahan.


“Nggak usah jadi pikiran omonganku tadi, Ris. Kita kan disini emang belajar dengan segala kemungkinan itu. Santai ajalah. Soal jodoh, rejeki, dan maut itu kan emang sudah diatur sama Tuhan, nggak usah dipusingin,” ucapku.


Aku tepuk-tepuk bahu Aris. Meredakan kegalauan yang mendadak hadir pada jiwa dan pikirannya. 


Sesaat kami sama-sama diam. Bermain dengan pikiran masing-masing. Memang, lebih kompleks dan berat memikirkan urusan dunia luar dari dalam penjara.


Betapapun, keterkungkungan raga membawa pengaruh cukup besar bagi tetap terjaganya keseimbangan jiwa, apalagi kejernihan berpikir.


Di saat kami masih sama-sama diam, Ijal yang sedang bermain catur, melemparkan sebatang rokok ke arah kami, sambil memberi isyarat untuk melihat ke arah jeruji besi.   


Tanpa dikomando, aku dan Aris sama-sama melihat ke jeruji besi. Seorang petugas jaga tengah berdiri di sana.


“Malem, Be. Belum tidur ya?” sapa petugas itu dengan ramah.


“Belum, Dan. Lagi ngobrol sama Aris,” sahutku. Dan berdiri, melangkah mendekat ke arah jeruji besi.


“O iya, Pak Aris. Maaf tadi kami batasi waktunya ketemu anak-anak,” ucap petugas itu sambil memandang Aris.


“Nggak apa-apa, pak. Saya berterimakasih bener sudah memberi waktu dan tempat untuk saya bisa ngobrol dengan anak-anak. Baru malem ini mereka ke sini setelah dua bulan lebih saya ditahan,” sahut Aris. Juga mendekat ke arah jeruji besi.


“O gitu, jadi tadi itu baru pertama kalinya anak-anak ketemu pak Aris? Waduh, maaf bener ya, pak. Tadi waktunya terpaksa kami batasi. Besok malem saya piket lagi, kasih tahu anaknya kalau mau ke sini, saya beri waktu lebih lama. Saya tahu bagaimana kangennya pak Aris sama anak-anak, juga mereka sama pak Aris,” kata petugas itu panjang lebar. 


Tampak ada rasa bersalah di wajahnya. Rasa bersalah itu muncul spontanitas, ekspresi dari pengertiannya bagaimana perasaan seorang ayah yang sudah lama tidak bertemu dengan anaknya. Bukan dari seorang petugas jaga tahanan kepada tahanan yang dijaganya.  


“Terimakasih, pak. Saya coba hubungi kawan saya besok pagi. Kalau anak-anak bisa dateng, saya pasti lapor bapak,” ujar Aris sambil menghormat dan menepuk-nepuk kedua tangan petugas yang sedang memegang jeruji besi. Wujud penghargaan.


“Apa yang bisa kami bantu, Dan?” tanyaku kemudian. Mengapresiasi sikap petugas jaga yang ramah.


“Kalau ada rokok, apa makanan kecil, boleh juga, Be,”sahutnya setelah berdiam beberapa saat, dengan tersenyum malu.


Aku bangunkan Iyos dari tidurnya. Ku minta satu bungkus rokok. Pepen tiba-tiba mendekat. Memberi satu bungkus makanan ringan. Chiki Boolls. 


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Be. Tetep jaga kesehatan. Kalau ada perlu-perlu, bilang aja,” ujar petugas jaga itu. Dan setelah memberi hormat, ia beranjak pergi. Kembali ke pos penjagaan.


“Alhamdulillah. Seneng kalau ketemu petugas yang ramah gini ya, Be,” kata Aris sambil kembali menuju ke tempatnya.


“Pelan-pelan nanti kita buat semua petugas jaga disini bersikap ramah dan nguwongke, Ris. Tenang aja,” sahutku, tersenyum.


“Emang bisa gitu, Be?” tanya Tomy menyela. Menunda sesaat keseriusannya bermain catur dengan Ijal.


“Apa yang nggak mungkin kalau Allah berkehendak, Tom. Yang penting, kita sebagai tahanan juga harus patuh dengan aturan. Jangan nganeh-nganeh. Bersikap sopan dan yang lebih penting lagi adalah tahu diri,” kataku.


“Maksudnya tahu diri itu kayak mana?” lanjut Tomy. Penasaran.


“Ya tahu diri aja, status kita ini apa. Tahanan kan? Ya jadilah tahanan yang baik. Nggak usah dibawa-bawa lagi kemarin kita di luaran orang hebat, jagoan, preman, dan sebagainya. Sesuaiin aja dengan kondisi kita sekarang. Selesai itu,” sambungku.


“Tu om Doni, denger kata Babe. Jangan sok-sok-an mentang-mentang di luaran jadi preman dan ditakuti orang,” kata Ijal sambil memandang Doni yang sedang membuat kerajinan tangan berupa kapal dari bekas daleman bungkus rokok.


“Eh kamu, Jal. Anak kecil sok ngajarin orang. Guwe kepret mampus nanti,” sahut Doni.


Ia menjawab perkataan Ijal tanpa mengalihkan pandangannya pada kegiatan yang menjadi hobinya. Meningkahi kebosanan hidup dalam sel dengan menguak kenikmatan merajut hobi. 


“Sudah ngantuk belum, Be?” tiba-tiba Aris bertanya, saat aku baru merebahkan badan di atas sajadah yang merangkap sebagai pelapis tempat tidur.


“Belum, kenapa emang, Ris?” tanyaku balik.


“Mau ngelanjut cerita yang tadi kepotong,” kata dia, seraya bangun dari tempat tidurnya.


Aku pun bangun. Menyandarkan badan ke dinding kamar mandi. Melihat kami duduk kembali, Ijal buru-buru bergerak. Membuatkan kopi pahit buatku dan kopi manis buat Aris.


“Sekalian aku sama Doni ya, Jal. Itu Pepen kalau mau dibuatin teh juga,” kata Tomy. 


Setelah menyalakan rokoknya dan menghisap beberapa kali, Aris melanjutkan ceritanya. 


“Anak-anak ngancam mau ngontrak rumah sendiri kalau kami cerai, Be. Mereka nggak mau tinggal sama mamanya,” ujar Aris. Ada nada kekhawatiran dalam suaranya.


“Subhanallah, kok bisa kepikiran gitu ya anak-anakmu, Ris?” tanggapku. Terkejut.


“Aku juga kaget waktu dengernya, Be. Tapi aku paham betul karakter anak-anak. Kalau mereka sudah bersikap, berarti telah ditimbang dengan matang. Dan pasti dilakuin, nggak peduli gimana caranya,” lanjut Aris.


“Mereka kan masih anak-anak SMA, Ris. Belum matang berpikir dan bertindaknya. Bisa-bisa kamu-lah ajak mereka diskusi. Sebagai ayah, bukan kita nggak percaya anak-anak tinggal di kontrakan, tapi gimana pun juga, bakal nambah beban pikiranmu dalam ngejalanin proses hukum ini. Cobalah cari jalan keluar dan diskusiin sama mereka,” kataku panjang lebar.


Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia paham benar, betapa jiwa dan pikirannya akan terkacaukan bila anak-anaknya sampai berpisah rumah tinggal dengan mamanya, bila mereka bercerai. (bersambung)

LIPSUS