Oleh, Dalem Tehang
“AKU juga nggak ngerti, kenapa gitu di bui gini, masalah demi masalah terus berdatengan ya, Be. Kayak air mengalir nggak berhenti dari kucurannya. Ngebuat aku sering ngerasa nggak kuat lagi. Tapi ya mau kayak mana lagi?” ujar Aris dengan suara perlahan.
Ada pergolakan batin dan pikiran yang bersandar pada kepasrahan atas kenyataan. Suatu suasana yang amat sulit untuk dinafikkan begitu saja.
“Yakin aja, Ris. Yang penting kamu tetep sabar, tenang, dan ikhlas. Emang berat, bahkan amat sangat berat, tapi inilah kehidupan kita sebagai orang-orang terpilih. Emang nggak mudah jalaninya,” sahutku.
Aku terus mencoba membesarkan kembali hati Aris. Sosok pria yang pernah sukses sebagai pengusaha dan politisi yang kini di penjara menasbihkan dirinya sebagai adikku.
“Nggak mudah buat anak-anakku ngerubah sikapnya, Be. Mereka terbiasa bebas ekspresiin sikapnya. Sejak kecil, mereka sudah kami biasain hidup dalam suasana demokratis. Saling ngehargai pendapat masing-masing. Dan ngehormatin sikap yang sudah diambil,” kata Aris. Mengenalkan karater kehidupan rumah tangganya.
“Justru itu yang enak, Ris. Mereka yang terbiasa ngehargai pandangan orang lain itu, nggak bakal keukeuh sama maunya sendiri. Kalau kamu bisa ngeyakinin dengan argumentasi yang masuk akal, aku yakin mereka patuh dan ikut apa yang kamu mauin,” sambungku.
Aris mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyadari jika kebiasaan memberi kebebasan bagi anak dalam bersikap, sesungguhnya juga membuat mereka dengan mudah dapat menerima pendapat orang lain.
“Babe optimis aku bisa ngeyakinin anak-anak?” tanya Aris. Matanya menatapku, tajam.
“Yakin-lah, Ris. Kamu kan ayah mereka. Apalagi anak perempuan, secara psikologis, lebih deket dan ikut karakter ayahnya. Carilah kesempatan secepetnya ketemu lagi dengan anak-anakmu. Yakin, kamu bisa, Ris,” kataku dengan suara mantap.
Suara adzan Subuh menggema dari masjid. Kami bergegas bangun. Ke kamar mandi, berwudhu.
Ijal dan Tomy langsung menutup papan caturnya. Doni pun membereskan kertas-kertas dari kegiatan kerajinan tangannya.
Reza, Arya, Iyos, Irfan, dan Asnawi juga buru-buru bangkit dari tempat tidurnya masing-masing. Semua ikut solat jamaahan. Kecuali Pepen yang non muslim.
Baru saja aku selesai membaca surah yasin selepas solat, pintu kamar dibuka. Gustav masuk ke kamar.
“Ini mau lapor, bang,” kata dia sambil duduk di depanku.
Ijal yang sedang menyeduh kopi, sekalian membuatkan minuman hangat juga untuk Gustav sang kepala blok tahanan.
“Nanti sore ada tahanan baru yang masuk. Ada enam orang. Gimana kalau yang tiga orang masuk sini. Sebab cuma kamar 10 ini yang isinya 11 orang aja, bang,” kata Gustav, setelah menyeruput kopi buatan Ijal.
Aku arahkan pandangan ke kawan-kawan satu sel yang tengah duduk di tempatnya masing-masing. Meminta masukan. Semua memberi isyarat menyerahkan padaku untuk mengambil keputusan.
”Jangan tiga orang-lah, Gustav. Dua aja. Tapi nanti aku yang milih orangnya. Kalau soal kasusnya, kamu kan sudah tahu. Kami nggak mau nerima lagi kasus curanmor, apalagi cabul,” ucapku.
“Oke kalau gitu, bang. Nanti waktu mereka sampai pos penjagaan, ku kabari abang. Silahkan abang pilih mana yang sreg untuk bergabung disini,” sahut Gustav dan buru-buru menyalamiku. Pamitan.
Sambil keluar kamar, cangkir berisi kopi hangat tetap dibawa oleh Gustav. Yang langsung disambut Deni tamping saat kepala blok kompleks rumah tahanan itu keluar kamarku.
“Hebat emang Gustav itu. Anak buahnya nggak bolehin dia bawa cangkir kopi sendiri,” kata Tomy sambil tertawa.
“Namanya juga kepala blok, Tom. Masih bagus dia sama kita di kamar 10. Mau ada tahanan baru, ngajak ngobrol dulu. Coba kamar lain, dia masuk-masukin aja, nggak peduli setuju nggak setuju kepala kamarnya,” sahut Arya.
“O gitu ya? Jadi selama ini, dia masuk-masukin aja tahanan ke sel semau dia ya? Nggak ada obrolan sebelumnya sama kepala kamar,” ujar Reza. Arya menganggukkan kepalanya.
“Kenapa di kamar kita, dia ngajak ngobrol dulu?” sela Irfan.
“Karena dia segen sama Babe. Coba kemarin-kemarin, kan semau dia aja. Bahkan jangan-jangan si Pepen pindah kesini juga dimintain uang,” Ijal menyambung.
“Iya, Pen. Kemarin waktu kamu mau masuk sini, dimintain uang sama Gustav ya?” tanya Aris. Pepen mengangguk. Pelan.
“Berapa kamu bayar ke Gustav buat pindah kesini” kejar Aris. Dengan nada suara menekan.
“Nopek!” kata Pepen.
“Astaghfirullah. Sempet-sempetnya si Gustav itu ngerjain Pepen dengan minta uang Rp 200.000 buat pindah ke kamar ini. Kayak mana kita sikapi soal ginian, Be,” lanjut Aris.
Masih terlihat jelas ada nada ketidaksukaan pada Gustav yang melatarbelakangi perkataannya. Aris dan Gustav memang memendam persoalan tersendiri. Bak api dalam sekam.
Aku hanya tersenyum. Semakin memahami jika di penjara, begitu kentalnya alur permainan semua saling memanfaatkan.
Walau sesungguhnya, memang demikian itulah rona kehidupan. Tinggal kita menilai dari sudut mana makna pemanfaatan atau dimanfaatkan itu sendiri.
“Nurut aku sih, sepanjang Pepen nggak teriak keberatan, ya biar-biar aja. Toh, sudah kejadian,” ucapku, beberapa saat kemudian.
“Tapi kalau kebiasaan neken kayak gini kan nggak bagus juga, Be,” Aris melanjutkan.
“Ris, kita kan nggak lama disini. Paling juga tiga bulan. Jadi, waktu disini anggep-anggep aja masa pengenalan kampus yang sesungguhnya nanti, yaitu di rutan atau lapas. Ngapain nambah-nambah urusan ngopenin kayak ginian,” tanggapku. Dengan nada cuek.
“Tapi ini kan praktik penekanan dan penjajahan, Be. Yang nggak boleh terjadi disini. Seperti kata pak Rudy,” sambung Aris lagi.
“Yang harus kita sama-sama pahami, Gustav kan nggak bisa ngatur penempatan tahanan sendirian to. Dia harus kordinasi sama petugas tahti dan piket. Bisa aja Gustav mau kasih-kasih rokok sama yang lagi tugas, biar semuanya jalan baik. Nggak mungkin dia keluar uangnya sendiri. Ya, dengan cara gini-lah kali dia bisa jalani tugasnya sebagai kepala blok dengan baik,” uraiku panjang lebar.
“Wuih, Babe jadi bantuin si Gustav nih ya,” kata Doni, menyela sambil tertawa.
“Bukan soal bantuin Gustav atau nggak ini, Doni. Tapi aku ngajak kita berpikir lebih luas dan mahami posisi dia sebagai kepala blok. Yang harus ngejaga keharmonisan hubungan tahanan dengan petugas. Itu kan nggak gampang. Butuh daya dukung, ya itu tadi misalnya, uang pindah kamar dan sebagainya itu,” lanjutku. Masih panjang lebar.
Tiba-tiba gembok pintu kamar dibuka dengan cepat oleh Deni tamping. Ternyata ngangin. Iyos buru-buru mengambil uang untuk biaya kegiatan bebas keluar kamar itu. Dan memberikannya pada Deni.
Tanpa dikomando, semua penghuni kamar keluar. Menghirup udara segar di selasar. Aku masih melanjutkan menikmati kopi pahit di tempat tidurku, belum tergerak untuk keluar kamar. (bersambung)