Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 62)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 03 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


YANG terpikir olehku hanya ingin cepat-cepat mandi, karena nanti menjelang siang, istri dan anak gadisku akan datang untuk menengokku sekalian melunaskan nazar nduk-ku, Bulan, membagi alat-alat mandi untuk para tahanan.


Tepat selesai mandi dan masih mewangikan badan dengan menyemprot pewangi, ada tiga orang berdiri di depan pintu kamar dan menyapaku. Ternyata Bagus, kepala kamar 3, Rahmat, kepala kamar 8, dan Yosep kepala kamar 6.


“Ngeganggu nggak kalau kami masuk, Be,” kata Bagus. Aku menggelengkan kepala.


Setelah bersalaman, mereka duduk di depanku. Wajah mereka tampak serius.


“Ada apa pagi-pagi muka kalian seserius ini ya?” tanyaku. Mencoba mencandai.


Ijal yang semula ngangin dan berdiri di depan jeruji besi, masuk ke kamar. Mengambilkan air mineral gelas untuk tamu-tamuku.


“Jadi gini, Be. Gustav minta kami kasih dia uang Rp 250.000 per-orang. Dari mana-lah kami ini. Dia bilang paling lambat nanti malem,” kata Bagus. Memulai pembicaraan. 


“Buat apa uang itu?” tanyaku.


“Katanya, dia lagi ada keperluan, Be,” lanjut Bagus.


“Apa keperluannya?” tanyaku lagi.


“Dia nggak ngomong. Cuma bilang kami harus siapin uang segitu paling lambat nanti malem,” Yosep menyela.


“O gitu, terus kayak mana,” kataku.


“Maaf ini, Be. Tadi kan Gustav kesini juga. Apa dia minta uang juga ke Babe?” tanya Bagus. Aku menggeleng.


“Jadi ngomongin apa tadi dia kesini?” tanya Rahmat. 


“Kasih tahu kalau nanti sore ada enam tahanan baru masuk. Yang dua bakal masuk kamar 10. Cuma itu aja,” kataku. Polos. 


“Nggak bener juga Gustav ini. Katanya semua kepala kamar sudah sepakat masing-masing mau kasih uang Rp 250.000 ke dia,” kata Bagus. Ada nada geram dalam bicaranya.


“Emang sudah kamu cek ke kepala kamar yang lain? Bener nggak semua dimintain. Kalau ke aku sih nggak ngomong soal itu,” lanjutku.


“Belum semua sih, Be. Tapi kamar 3, 4, 7, dan 9 sempet ngobrol, katanya dimintain juga,” ujar Yosep.


“Terus yang jadi masalah itu apa? Kalian nggak ada uangnya, apa nggak mau kasih?” tanyaku kemudian.


“Yang jelas nggak uangnya, Be. Kas kamar kosong. Lagian kalau pun ada, ya apa urusannya ngasih-ngasih uang ke dia,” ketus Bagus. 


“Kenapa nggak kalian tanya detail, apa perlu dia? Coba tanya dulu baik-baik. Kan nggak mungkin aku yang tanya, karena dia nggak ngomong soal itu sama aku,” kataku lagi. 


Aku harus memutus upaya mereka untuk mendorongku menanyakan persoalan tersebut kepada Gustav.


Ketiga kepala kamar itu sesaat terdiam. Tak lama kemudian, mereka berpamitan. Tanpa kesimpulan dan kejelasan langkah yang akan diambil. 


Aku beranjak. Keluar kamar. Berbaur di selasar dengan para tahanan. Aku masuki satu demi satu sel yang ada. Sekaligus saling mengenalkan diri dan berbincang ringan. Kecuali kamar 1 dan 2, sel khusus tahanan perempuan.


Sampai akhirnya aku terhenti di samping pos penjagaan. Ingin menonton siaran televisi. Karena di kompleks rumah tahanan ini, televisi hanya ada di pos penjagaan. Itu pun ukuran 20 inc. 


Saat masih asyik mengikuti siaran berita pagi di televisi dari sela-sela jeruji besi , seorang petugas piket menyapaku dengan ramah.


“Babe, nanti istri dan anaknya mau kesini ya. Katanya mau membagi alat-alat mandi buat para tahanan,” kata petugas itu.


“Inshaallah. Rencananya begitu, pak,” sahutku. Juga menunjukkan keramahan.


“Tadi pagi pak Rudy telepon kami yang lagi piket. Memerintahkan kami untuk mengawal dan mengamankan kegiatan anak Babe nanti,” lanjut petugas dengan tersenyum.


“O gitu, Alhamdulillah. Terimakasih, pak. Inshaallah semua sesuai rencana,” ucapku.  


Tidak lama kemudian, aku kembali ke kamar. Menyiapkan kantong plastik berisi pakaian kotor yang nanti akan dibawa pulang oleh istriku. Hatiku gembira. Sesekali terlontar lewat siulan tembang. 


“Babe kayaknya happy bener pagi ini,” kata Reza, yang spontan membuatku menghentikan denting keceriaan di batin lewat siulan pelan.


“Alhamdulillah, Reza. Inshaallah pagi ini anak gadisku bisa penuhi nazarnya. Ngebagiin alat-alat mandi untuk tahanan disini. Sekalian aku bisa ketemu dia dan istriku tercinta pastinya,” ucapku, dengan wajah ceria.


“Syukur kalau gitu, Be. Nanti juga anak-anak sama menantuku mau kesini lagi. Berkat masukan Doni dan Asnawi yang Babe suruh, aku sudah nemuin caranya ngadepin anak-anakku. Terimakasih kesabaran dan kecerdikan Babe nyariin aku solusi ya,” kata Reza lagi. 


Reza mendekatiku. Menyalami dengan hangat sambil menundukkan wajahnya. Memberi hormat. Ada kelegaan pada wajahnya.


“Syukur kalau sudah ketemu solusinya, Reza. Aku ikut seneng. Nggak usah terimakasih sama aku. Kita disini sudah jadi keluarga, sewajarnya saling bantu,” sahutku.


Tiba-tiba Ijal masuk kamar. Membawa tiga kantong plastik besar berisi makanan. Dan satu kantong plastik kecil berisi minuman dan beberapa vitamin, juga rokok. 


“Istri dan anaknya sudah dateng, Be. Ini makanan kata bunda, untuk makan siang, malem dan sahur. Yang kantong plastik kecil, spesial buat Babe,” kata Ijal sambil menaruh kantong plastik kecil di tempatku dan mengambil kantong plastik berisi pakaian kotorku.


Aku bergegas ke pos penjagaan. Bulan langsung memelukku dari sela-sela jeruji besi. Begitu kuat pelukannya. Ekspresi keriduan yang begitu dalam. 


Matanya berkaca-kaca, dilingkupi suasana kesedihan. Namun, wajahnya tetap ceria. Menunjukkan tetap tegarnya ia punya jiwa.


“Ayah sehat kan?” sapa istriku begitu Bulan melepaskan pelukannya, sambil berganti memelukku erat.


“Alhamdulillah, ayah selalu sehat berkat doa bunda dan anak-anak,” kataku. 


Ku rengkuh kuat tubuh istriku. Begitu mengental kerinduan ini bersemayam di jiwaku.


Ku elus-elus wajah ayunya. Senyum istriku merekah. Indah. Membuyarkan semua derita jiwa dan kesunyian raga yang dialaminya selama ini.


“Jadi gimana polanya ini, pak?” tanya Bulan, pada petugas piket.


“Kita bagi langsung ke masing-masing sel aja. Mari saya dampingi,” kata petugas itu, dan membuka pintu besi yang menjadi pemisah ruang penjagaan dengan kompleks tahanan.


Istriku menjelaskan, Bulan membagi masing-masing sel tiga kantong plastik. Isinya sabun mandi, pasta gigi, sabun cuci, dan makanan-makanan kecil. Semuanya ada 30 kantong untuk 10 kamar sel.


Atas izin petugas jaga, istriku Laksmi diperbolehkan mendampingi Bulan mewujudkan nazarnya dengan membagikan alat-alat mandi langsung ke tangan para kepala kamar. 


Aku juga ikut berkeliling mengikuti langkah Bulan dan istriku serta petugas piket. Pun Ijal dan Adit tamping yang membantu membawakan kantong-kantong plastik berisi peralatan mandi dan makanan yang diserahkan Bulan. (bersambung)

LIPSUS